• Kolom
  • Bangsa ini Lahir dari Kritik, Kenapa Kita Sekarang Hendak Menumpasnya?

Bangsa ini Lahir dari Kritik, Kenapa Kita Sekarang Hendak Menumpasnya?

Kalau setiap kritik disamaratakan dengan ujaran kebencian sehingga layak ditumpas dan para pembuatnya pantas diburu, orang akan takut bersuara kritis.

Tri Joko Her Riadi

Pemimpin Redaksi BandungBergerak.id

Anak-anak bermain di dekat papan reklame bertuliskan Mural is Dead di Taman Monumen Rakyat Perjuangan atau Monju, Bandung, Jumat (27/8/2021). Karya tersebut merupakan sindirian terhadap aparat yang melakukan penghapusan mural kritis. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

1 September 2021


BandungBergerak.id - Pada 13 Juni 1913, surat kabar De Express memuat tulisan Suwardi Suryaningrat alias Ki Hajar Dewantara yang berjudul “Kalau Saya Seorang Belanda”. Isinya: kritik tajam terhadap rencana pemerintah kolonial Hindia Belanda menggelar pesta besar memperingati kemerdekaan Belanda dari Prancis. Betapa ironisnya, sebuah pesta kemerdekaan dirayakan di sebuah tanah jajahan, dengan dana bersumber uang rakyat pula!

Pada September 1914, termuat dalam majalah Doenia Bergerak, giliran Mas Marco Kartodikromo memberikan komentar pedas atas perilaku para pemimpin Raad (Dewan) Negeri di Solo yang masih mengharuskan para pegawai rendahannya mengesot di lantai dalam setiap pertemuan. Sang jurnalis menulis dalam berang: “Kalau dhoro-dhoro itu tidak suka memperdulikan orang-orang kecil, siapakah yang mesti memikirkan nasibnya si kecil?”

Pada Desember 1930, di pengadilan kolonial di Kota Bandung, Sukarno muda membacakan sebuah pledoi yang memukau. Dalam pembelaan yang dijuduli “Indonesia Menggugat” itu, Si Bung Besar bukan hanya memprotes penangkapan dan pemenjaraannya yang dilakukan secara sewenang-wenang, tapi juga praktik kolonialisme dan imperialisme yang marak di seluruh kolong jagat.

Daftar kritik kaum muda terpelajar di bumi Hindia Belanda tentu saja bisa jauh lebih panjang. Kita tahu, merekalah motor lahir dan tumbuhnya sebuah kesadaran nasional yang diperjuangkan dengan jurus-jurus baru sejak awal abad ke-20. Bukan lagi mengangkat pedang, keris, atau tombak, tapi berorganisasi dan menggalang opini publik.

Kritik menunjukkan kematangan intelektual dalam menyikapi sesuatu yang tidak beres di tengah masyarakat. Tulisan, terutama yang tercetak dalam lembar-lembar koran pada masa itu, menjadi wadah paling memungkinkan agar suara kritis menjangkau lebih banyak orang.  

Kritik atas ketidakadilan, atas ketidaksetaraan, atas penindasan, dan akhirnya atas penjajahan inilah yang terus menggelinding dan membesar. Kritik mempertebal perasaan senasibsepenanggungan rakyat sebagai yang terjajah. Kritik menyadarkan hak mereka atas kebebasan, atas kedaulatan untuk menentukan nasib sendiri, yang harus direbut dari penguasa yang zalim.

Kritik-kritik yang terlontar oleh kaum muda terpelajar, tidak terbantahkan, memberikan sumbangan tak kecil dalam pencapaian kemerdekaan yang memuncak pada proklamasi 17 Agustus 1945. Kritik berperan penting dalam kelahiran bangsa ini.

Itulah kenapa para pendiri bangsa kita, yang adalah juga para penulis dan pengkritik jempolan, secara sadar memberikan payung kokoh bagi kekebasan berpendapat di dalam konstitusi Undang-undang Dasar 1945. Setiap warga negara berhak menyampaikan pendapatnya. Termasuk dalam wujud kritik.

Hakikat Kritik

Dalam tiga pekan terakhir, negeri ini dihebohkan dengan aksi penghapusan mural dan grafiti bermuatan kritik terhadap pemerintah. Tidak cukup sampai di situ, aparat juga mencari-cari si pembuat mural.

Bandung tidak luput dari aksi itu. Mural “Jokwi Tutup Mata” di dinding jalan layang Pasupati dihapus petugas Satpol PP. Alasannya, selain merusak estetika kota, mural itu juga dituding sebagai penghinaan terhadap lambang negara.

Kebebasan berpenpadat, kita tahu, bukanlah hak mutlak. Ada batasan, ada aturannya. Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 menyebut bahwa “dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang..." 

Kebebasan berpendapat dan beropini yang termuat dalam Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang disahkan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) pada 1976, dan telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia pada 2006 lalu, juga ada batasnya demi melindungi hak dan kebebasan perorangan atau bahkan keamanan nasional. Propaganda perang dan advokasi terhadap kebencian berbasis SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan), misalnya, menjadi dua ‘kebebasan’ yang terlarang.

Pertanyaan berikutnya, apakah kritik termasuk dalam kategori perampasan hak dan kebebasan orang lain, atau bahkan termasuk ancaman terhadap keamanan negara seperti propaganda perang atau advokasi terhadap kebencian berbasis SARA?

Menengok sejarah, kita tahu bagaimana penguasa kolonial sering memberi label pada para pemuda pengkritik sebagai penghasut rakyat atau pengganggu ketertiban umum. Itulah dalih yang digunakan untuk menyeret, mengadili, lalu memenjarakan mereka. Kritik disamaratakan dengan ujaran kebencian.  

Begitulah Tirto Adhi Soerjo berulang kali dijebloskan ke sel tahanan atau dibuang. Menyusul kemudian muridnya, Mas Marco Kartodikromo. Nasib serupa dialami Sukarno, Hatta, dan nama-nama lainnya.

Tabiat buruk membungkam pengkritik semacam ini, sayangnya, tidak lantas lenyap begitu negeri ini menyatakan diri merdeka. Setiap pemerintahan memiliki caranya sendiri untuk menumpas kritik. Dari kuasa tak tersentuh menjatuhkan godam bredel hingga kelicikan mengerahkan pasukan pendengung.

Untungnya, ini bukan satu-satunya cara memandang kritik. Adinegoro, tokoh pers terkemuka di Indonesia, pernah menulis Tata Kritik (1958), buku ukuran saku yang secara jernih melihat hakikat kritik. Ia membeberkan lima rukun kritik, yakni bertujuan memperbaiki, didasarkan pada pengetahuan yang selengkap mungkin dan menurut keadaan, dijalankan tanpa sentimen, memikirkan soal, serta memuji apa yang baik.

Panduan dari Adinegoro yang sudah ditulis lebih setengah abad lalu ini kiranya masih relevan. Kritik tidak bisa disamaratakan dengan ujaran kebencian. Seperti tulisan tajam para pendiri bangsa kita memprotes praktik penjajahan, kritik lahir dari niat memperbaiki keadaan. Bukan memperkeruh, apalagi mengeksploitasinya.

Baca Juga: Penghapusan Mural dan Persekusi Penciptanya di Mata Seniman dan Aktivis Bandung: Berlebihan dan Lucu
Mural “Jokowi Tutup Mata” di Bandung Dihapus, AJI Bandung: Kebebasan Berekspresi dalam Ancaman
Aksi Mural Kamisan Bandung Jelang September Hitam

Takut Bersuara Kritis

Mural dan grafiti berisi kritik sebaiknya dilihat dengan teropong lima rukun Adinegoro itu. Bukan dengan main gebuk ala pemerintahan era kolonial. Tanggapan terhadap kritik harus dibedakan dari tanggapan terhadap ujaran kebencian atau penghinaan penguasa. Kritik membahas kinerja (atau “soal” dalam istilah Adinegoro), sementara ujaran kebencian menyasar identitas pribadi.

Kalau mural dilihat sebagai kritik yang betul-betul kritik, tanggapan terbaik adalah dengan menyediakan ruang dialog. Bukan dengan memburu pelakunya dengan ancaman pidana. Hasil dialog itulah yang akan menentukan tanggapan terbaik untuk setiap kritik.

Kalau peraturan daerah memberikan perlindungan terhadap estetika kota, dan keberadaan sebuah mural disepakati sebagai pelanggaran, ya silakan saja aparat menghapusnya. Penghapusan seperti ini tentu harus berlaku juga terhadap mural yang memuat pujian bagi pemerintah atau presiden jika sekali waktu ditemukan.

Namun sebaliknya, karena kebebasan menyampaikan pendapat, dalam hal ini kritik, dijamin oleh konstitusi, ya jangan melakukan persekusi terhadap pencipta mural. Aksi berlebihan ini justru kontraproduktif. Ia mengesankan bahwa pemerintah sekarang antikritik sehingga semua kritik adalah barang terlarang.

Setelah menghapus mural, para aparat pemerintah, yang bekerja dengan biaya ditanggung oleh uang rakyat, bisa merenung. Sudah cukup luaskah ruang ekspresi yang disediakan bagi warganya, termasuk bagi para seniman mural? Jangan-jangan ada penyumbatan di sana-sini.

Terhadap isi kritik dalam mural itu, atau dalam segala jenis wadah apa pun itu, sebaiknya pemerintah mendengarkannya. Kritik, apalagi yang dilontarkan di jalanan, tentu berangkat dari permasalahan nyata yang hidup di tengah masyarakat. Mendengarkan kritik berarti mendengarkan suara rakyat, mereka yang memberi mandat untuk berkuasa.

Kalau setiap kritik disamaratakan dengan ujaran kebencian sehingga layak ditumpas dan para pembuatnya pantas diburu, orang akan takut bersuara kritis. Dan betapa menakutkannya sebuah dunia tanpa kritik itu!

Editor: Redaksi

COMMENTS

//