Jerat UU ITE bagi Jurnalis dan Jalan Memutar Penyelesaian Sengketa Pers
Undang-undang ITE semakin kukuh menjadi dalih untuk membungkam kebebasan pers. Sepanjang 2021, pasal-pasal karet UU ITE banyak dipakai mempidana jurnalis.
Penulis Delpedro Marhaen27 Desember 2021
BandungBergerak.id -Polemik tak berkesudahan terus mewarnai implementasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Dalam tiga tahun terakhir, korban praktik kriminalisasi terhadap jurnalis dengan menggunakan UU ITE terus meningkat. Dua pasal langganan dalam UU ITE yang kerap jadi pola kriminalisasi terhadap jurnalis: pencemaran nama baik dan ujaran kebencian.
Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Sasmito Madrim menilai UU ITE masih jadi ancaman serius bagi jurnalis. Sepanjang tahun 2020 hingga 2021, AJI mencatat setidaknya ada 4 jurnalis yang dilaporkan menggunakan UU ITE terkait pemberitaan. Angka tersebut jauh lebih kecil dibandingkan catatan Dewan Pers yang menyebut ada 44 kasus jurnalis terjerat UU ITE yang dikoordinasikan kepolisian kepada Dewan Pers.
“Artinya memang masih banyak kasus yang belum tercatat di organisasi-organisasi profesi jurnalis. Tapi begitu melihat data di Dewan Pers itu ada 44 kasus. Jadi memang ancaman UU ITE cukup luar biasa karena dalam waktu satu tahun ada 44 kasus yang dikoordinasikan ke Dewan Pers,” ungkap Sasmito dalam diskusi Dewan Pers, Rabu (23/12).
Sasmito mengungkap dari 4 kasus jurnalis yang dilaporkan menggunakan UU ITE sepanjang tahun 2020 hingga 2021, 3 kasus di antaranya telah dijatuhi vonis bersalah oleh pengadilan. Kasus termutakhir menjerat jurnalis media lokal di Sulawesi Tenggara yang kini perkaranya masih dalam tahap penyelidikan. Ia dilaporkan setelah menulis sejumlah artikel tentang dugaan illegal mining yang dilakukan Anton Timbang dan PT Masempo Dale.
Kemudian kasus selanjutnya, jurnalis Medan, Ismail Marzuki yang dilaporkan dengan menggunakan UU ITE. Dalam catatan AJI, Ismail dilaporkan karena dianggap menyebarkan kebencian dan fitnah kepada istri Gubernur Sumatera Utara, Nawal Lubis. Nawal merasa difitnah dengan pemberitaan Ismail yang menyebutkan keberadaan Taman Edukasi Buah Chakra sebagai kediaman pribadinya.
Di tahun 2020, Direktur Utama PT Imza Rizky Jaya, Rizayati melalui penerima kuasa Rizaldi melaporkan Pimpinan Redaksi Metro Aceh, Bahrul Walidin ke Polda Aceh pada 24 Agustus lalu. Bahrul dilaporkan atas dugaan pencemaran nama baik. Tudingan tersebut bermula dari pemberitaan Metro Aceh yang berjudul Hj Rizayati Dituding Wanita Penipu Ulung pada 20 Agustus 2020 yang berisi tentang keterangan para korban yang diduga menjadi korban penipuan Rizayati.
Di tahun yang sama, jurnalis Kontra.id, Tuah Aulia Fuadi dilaporkan oleh Bupati Batubara Zahir ke polisi dengan sangkaan Pasal 27 ayat 3 Jo Pasal 45 ayat 3 UU ITE. Tuah dilaporkan karena pemberitaannya yang berjudul Bupati Batubara Berubah Bengis Seperti Bandit. Ia membagikan tautan artikel berita tersebut ke akun Facebook Warta Batubara, unggahan itulah yang kemudian dijadikan dasar bagi Zahir untuk melaporkan Tuah ke Polres Batubara pada 21 Agustus 2020.
“Dari empat kasus ini, saya ingin menggarisbawahi bahwa seluruh kasus ini baru terjadi,” tandas Sasmito.
Sasmito menyebut ada tiga pasal yang sering dipakai untuk menjerat jurnalis yakni pasal 27 dan pasal 45 terkait pencemaran nama baik, serta pasal 28 terkait ujaran kebencian. Ia mengatakan tiga pasal itu bersifat karet dan bisa menerabas kuil kebebasan pers. Kata Sasmito, alih-alih menggunakan Undang-Undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) dalam menyelesaikan sengketa pers, para pelapor justru kerap menggunakan UU ITE sebagai jalan pintas memenjarakan jurnalis.
Berdasarkan kasus-kasus yang telah terjadi, pasal di UU ITE tersebut bisa menerabas keberadaan dari Dewan Pers yang telah ditetapkan konstitusi dan UU Pers, serta nota kesepahaman (MOU) antara Dewan Pers dengan berbagai pihak. Ia mengatakan pada praktiknya, banyak karya yang telah ditetapkan sebagai karya jurnalistik tetap diseret ke pidana. Padahal, penyelesaian masalah karya jurnalistik seharusnya dilakukan di Dewan Pers.
“Seharusnya kasus-kasus yang sudah dinyatakan sebagai karya jurnalistik itu selesai di Dewan Pers tidak perlu ditindaklanjuti ke proses hukum selanjutnya,” kata Sasmito.
Sasmito lantas mencontohkan kasus yang menimpa jurnalis Metroaceh.com, Bahrul Walidin. Kasus ini tetap masuk tahap penyidikan meskipun sebelumnya Dewan Pers melalui pernyataan penilaian dan rekomendasi (PPR) nomor 41/PPR-DP/X 2020 telah menilai dan menegaskan bahwa berita yang ditulis Bahrul merupakan produk jurnalistik. Ia menilai Polda Aceh telah mengabaikan kedudukan hukum yang dikeluarkan oleh Dewan Pers.
“Kita mempertanyakan waktu itu kenapa kasus yang sudah ada PPR dari Dewan Pers yang menyatakan [berita tersebut] sebagai karya jurnalistik tapi kemudian proses hukum tetap diteruskan oleh Polda Aceh,” ungkap Sasmito.
AJI mendorong pemerintah dan DPR untuk mencabut pasal-pasal karet dalam UU ITE yang selama ini menjadi ancaman bagi jurnalis. AJI juga mendorong adanya profesionalisme dari aparat penegak hukum agar menghormati keputusan hukum yang dikeluarkan oleh Dewan Pers mengenai penyelesaian masalah karya jurnalistik. Terakhir, AJI mendesak adanya perbaikan nota kesepahaman (MOU) antara Dewan Pers dengan berbagai pihak.
“Untuk catatan internalnya, para jurnalis dan perusahaan media untuk memberikan pendidikan dan kampanye mengenai etika jurnalistik perlu dilakukan secara terus menerus,” pungkas Sasmito.
Sayup-sayup Perlindungan dari Dewan Pers
Ketua LBH Pers Jakarta, Ade Wahyudin menegaskan bahwa perlindungan terhadap jurnalis tertuang dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Merujuk pada UU Pers tersebut, jurnalis bekerja untuk tujuan kepentingan umum dengan demikian ia perlu mendapatkan perlindungan. Berdasarkan UU itu pula diamanatkan upaya untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers dengan dibentuknya Dewan Pers.
“Dalam konsep tata negara, Dewan Pers berkedudukan sama dengan lembaga-lembaga negara lainnya karena dibentuk berdasarkan amanat undang-undang. Namun dalam praktiknya, seolah-seolah Dewan Pers adalah lembaga yang lebih rendah dari lembaga penegak hukum lainnya.” ungkap Ade dalam diskusi Dewan Pers, Kamis (23/12).
Ade mengungkap Dewan Pers sebagai lembaga negara yang memiliki kedudukan hukum yang sama dengan lembaga negara lain acap kali diabaikan keberadaanya dalam penyelesaian sengketa pers. Dalam hal pemberian nilai dan rekomendasi pada kasus Pimpinan Redaksi Banjarhits, Diananta Putra Sumedi, misalnya, bahwa rekomendasi pernyataan Penilaian dan Rekomendasi Dewan Pers (PPR) terkait Pengaduan PT Jhonlin Agro Raya terhadap media siber Kumparan.com yang isinya mengingatkan pihak-pihak terkait tentang pentingnya melindungi prinsip-prinsip kemerdekaan pers dalam penyelesaian kasus yang dihadapi Diananta, tidak dipertimbangkan, dan proses hukum terhadap Diananta tetap berlanjut.
Ade menilai pemidanaan dalam sengketa pers merupakan preseden buruk bagi kemerdekaan pers di Indonesia. Ia mengatakan hal ini tidak terlepas dari eksistensi UU ITE yang menggiring persoalan sengketa pers menjadi ranah pidana. Ia menegaskan bahwa dari banyaknya kasus yang masuk diawali dugaan pelanggaran kode etik, meskipun demikian seharusnya mekanisme yang digunakan adalah sengketa pers, bukan pidana.
Contoh lain, dalam kasus Pimpinan Redaksi Liputanpersada.com, Sadli Saleh di Pengadilan Negeri Pasarwajo Buton, hakim dan jaksa tidak menghiraukan keterangan yang disampaikan ahli Dewan Pers terkait kasus tersebut. Hakim tetap menjatuhkan vonis dua tahun penjara terhadap Sadli yang dinilai telah melanggar UU ITE.
“Kasus Asrul di Makassar juga sama, bahwa Dewan Pers sudah mengeluarkan surat bahwa kasus ini harus segera diselesaikan melalui mekanisme Dewan Pers, namun dalam putusnya Asrul tetap dinyatakan bersalah. Dalam tiga kasus ini kita bisa lihat bahwa kekuatan sebuah penilaian dan rekomendasi dari Dewan Pers masih dianggap lemah oleh penegak hukum,” ungkap Ade.
Dampak lain dari UU ITE terhadap jurnalis, kata Ade, adalah digunakan sebagai alat mengintimidasi terhadap jurnalis. Ia mengungkap pola intimidasi seperti somasi kerap digunakan untuk menekan jurnalis terkait pemberitaannya. Belum lagi proses di polisi yang bisa panjang dan melelahkan sehingga menyebabkan tekanan psikologis tersendiri.
Dampak lainnya adalah chilling effect atau efek jera. Artinya, memproses jurnalis ke pengadilan bisa menimbulkan efek jera yang tak semua jurnalis, juga perusahaan media, siap menghadapi hal itu. Bagi jurnalis, proses di polisi dan berperkara di pengadilan itu berongkos tidak murah. Bagi perusahaan, kasus hukum juga jadi catatan buruk yang itu punya dampak terhadap bisnis.
“Ketika wartawannya sudah takut dan tidak bisa mengolah informasi secara baik bagi masyarakat, artinya yang rugi adalah masyarakat karena tidak mendapatkan informasi,” ujar Ade.
Ade juga menerangkan bahwa pers tidak dapat dikenakan pasal pidana pencemaran nama baik dalam KUHP maupun UU ITE. Menurutnya, pers bekerja untuk kepentingan publik, jadi ketika bisa dibuktikan bekerja untuk publik, ia harus dilindungi oleh hukum.
“Bahkan sekarang sudah ada Surat Keputusan Bersama (SKB) Implementasi UU ITE yang ditandatangani Jaksa Agung, Menkominfo, dan Kapolri. SKB ini jelas menyebutkan bahwa UU Pers adalah lex specialis dan UU ITE tidak bisa dikenakan kepada jurnalis. Tapi SKB ini juga tidak dilihat,” ujar Ade.
Ade mencatat dari banyaknya pengaduan yang masuk, kebanyakan pelapornya adalah pejabat publik yang seharusnya menjadi contoh penerapan mekanisme sengketa pers. Hal itu tidak terlepas dari sistem hukum di Indonesia yang mendukung untuk melakukan kriminalisasi terhadap jurnalis. Dengan demikian, nota kesepahaman dengan Kapolri perlu diperpanjang dan mencantumkan poin UU Pers sebagai lex specialis seperti tertuang dalam SKB.
Di sisi lain, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Sasmito Madrim juga mengungkapkan ketidaksetujuannya terhadap pendekatan restorative justice atau penyelesaian perkara di luar jalur pengadilan dalam penyelesaian sengketa pers. Menurutnya, pendekatan restorative justice memaksa seorang jurnalis yang berperkara untuk mengakui kesalahan terlebih dahulu. Padahal, dalam beberapa kasus sengketa pers yang terjadi, jurnalis kerap tidak bersalah: karyanya dinyatakan sebagai karya jurnalistik dan memberikan hak jawab kepada pelapor.
“Jadi posisinya tidak ideal jika sengketa pers harus diselesaikan dengan pendekatan restorative justice. AJI berharap kasus-kasus seperti itu bisa di-SP3 atau ditutup sesuai dengan MOU Kapolri dan Dewan Pers, seharusnya kasus-kasus sengketa pers ini cukup diselesaikan di Dewan Pers,” ungkap Sasmito.