BUKU BANDUNG (21): Jurnalis Juga Manusia
Dalam buku Pistol dan Pembalut Wanita, kita diyakinkan bahwa jurnalis adalah juga manusia. Mereka bisa berbuat salah, merasa takut dan marah, serta menjadi konyol.
Penulis Sarah Ashilah7 November 2021
BandungBergerak.id - Ada bermacam-macam persepsi yang beredar di tengah masyarakat terkait profesi jurnalis. Ada yang beranggapan seorang jurnalis harus selalu kuat mentalnya menghadapi realitas apapun yang ia temui. Yang lain meyakini, seorang jurnalis harus selalu siap memburu dan menulis berita, tanpa peduli konsekuensi yang menanti di depannya.
Hal-hal seperti itu rupanya bukan melulu menjadi anggapan orang kebanyakan yang mungkin awam dengan dunia kewartawanan. Di suatu titik kariernya, para jurnalis pun akan bergulat dengan anggapan-anggapan seperti itu. Mereka cenderung mengabaikan keselamatan dan kesehatan dirinya sendiri agar dapur redaksi terus mengepul.
Sebenarnya, tidak ada yang salah ketika seseorang menekuni profesinya sedemikian rupa. Namun, ketika kita sudah terlalu terobsesi akan pekerjaan yang kita lakukan, itulah momen bagi kita untuk mundur sejenak, mereka ulang dan mengukur apakah porsi yang kita lakukan dalam pekerjaan kita sudah sesuai. Jangan-jangan, kita jadi lupa bahwa pada dasarnya kita hanyalah manusia biasa yang sebatas menjalani sebuah pekerjaan.
Buku Pistol dan Pembalut Wanita: Trik dan Pengalaman Liputan yang diterbitkan oleh Forum Diskusi Wartawan Bandung (FDWB) secara gamblang memperlihatkan pengalaman-pengalaman para wartawan Bandung dalam menghadapi dinamika di lapangan saat meliput suatu berita. Ada 76 cerita yang secara tersirat amat memanusiawikan profesi jurnalis.
“Meskipun wartawan terlihat begitu serius berbicara dengan narasumber, sibuk tidak kenal waktu saat mencari dan menuliskan liputannya, cermat dalam mengolah fakta-fakta, namun tetap saja mereka hanyalah manusia biasa. Manusia yang secara fitrah memiliki sisi manusiawi yang bisa konyol, takut, marah, dan berbagai warna emosi yang mengiringi pekerjaannya sebagai wartawan,” demikian termuat di halaman pengantar yang ditulis oleh Enton Supriyatna Sind dan Taufik Abriansyah yang berperan sebagai editor buku.
Dari ke-76 cerita dalam buku Pistol dan Pembalut Wanita, kita akan menemukan sejumlah kesalahan para jurnalis dalam proses peliputan atau penulisan. Kita juga menjumpai reaksi emosional mereka ketika dihadapkan pada situasi-situasi yang pelik.
Buku Pistol dan Pembalut Wanita dibagi ke dalam beberapa bab, sesuai tema cerita yang diungkapkan para jurnalis. Bab pertama berisi tentang kisah-kisah ringan dari pengalaman liputan. Bab kedua berisi pengalaman yang menegangkan selama menekuni profesi jurnalis. Bab ketiga, memuat kisah-kisah yang lebih manusiawi, baik itu tentang wartawan maupun subjek yang diberitakan. Lalu di bab keempat, termuat tulisan-tulisan dari mereka yang pernah berurusan atau bersentuhan dengan dunia pers.
Isi bab keempat niscaya membuat jurnalis memperluas sudut pandangnya terhadap narasumber, karena sering kali para jurnalis pun lupa bahwa subjek berita mereka adalah manusia biasa juga.
Lupa Verifikasi, Bertemu Jin
Banyak kisah menarik dialami jurnalis saat mereka menjalani profesinya. Dari kesalahan tidak mengonfirmasi dan memverifikasi sebuah fakta, melakukan hal yang memalukan saat liputan, meliput ditemani jin, hingga kiriman pembalut yang tak ditunggu. Setidaknya itulah cerita-cerita di bab pertama yang paling menarik perhatian saya sebagai pembaca.
Konfirmasi ulang sebuah fakta dan disiplin verifikasi merupakan dua hal yang hukumnya wajib dilakukan oleh jurnalis. Bukan saja bagi jurnalis pendatang baru, namun juga bagi jurnalis dengan jam terbang tinggi tanpa kecuali. Terkesan sepele, namun fakta yang tidak didukung konfirmasi atau verifikasi dapat berakibat fatal dan merugikan banyak pihak.
Di dalam buku Pistol dan Pembalut Wanita ini, Matdon, seorang wartawan Radio Cosmo, pernah dua kali melakukan kesalahan. Di cerita pertama, ia tidak mengonfirmasi ulang identitas sesosok mayat yang terbakar, sebelum menuliskannya menjadi berita.
Saat itu, suatu hari di tahun 1995, Matdon meliput sebuah kebakaran besar di Jalan Sastra, Kota Bandung, untuk harian umum Gala. Api yang berkobar melumat ratusan rumah dan bangunan. Teman-teman jurnalisnya sudah kembali ke kantor medianya masing-masing. Tinggal Matdon dan rekannya Cevi Muttaqin di tempat kejadian perkara hingga azan magrib terdengar.
Tiba-tiba, Matdon melihat sesosok mayat gosong diangkut dari reruntuhan bangunan yang masih sedikit menyala. Sosok itu dimasukkan ke dalam ambulans dan dilarikan ke kamar mayat RSHS Bandung. Ia merasa bahwa hal ini akan menjadi berita eksklusif bagi medianya, karena wartawan lain tidak menyaksikan kejadian ini. Hanya berbekal keterangan polisi yang menyatakan bahwa mayat tersebut baru bisa diidentifikasi keesokan harinya, Matdon pun langsung membuat berita berjudul “Api Melalap Ratusan Rumah, Seorang Warga Gosong.”
Keesokan harinya, ktika hendak memberitakan lagi dan mengonfirmasi identitas mayat tersebut ke Polsek Andir, Matdon kena semprot Kapolsek Iptu Iron. Ia dimaki karena membuat pemberitaan yang masih belum jelas kebenarannya. Ternyata, sesosok mayat gosong itu adalah anak kerbau yang terbakar hingga tewas.
Ada yang tak kalah menggelikan dari cerita Matdon berikutnya. Ia pernah menuliskan berita kecelakaan dan menyebut korban sudah meninggal dunia. Padahal, korban kecelakaan tersebut belum meninggal ketika berita tersebut ia tulis. Korban baru meninggal dunia ketika berita yang dituliskan Matdon sudah tercetak dan tersebar dalam bentuk surat kabar.
Kesalahan ini tentunya amat fatal. Jika korban benar-benar masih hidup, Matdon dapat dituntut oleh keluarganya. Dalam hati, ia mensyukuri takdir orang tersebut.
“Alhamdulillah meninggal dunia. Kalau tidak, pasti saya dituntut oleh keluarganya,” tulis Matdon.
Selain dari Matdon, ada juga cerita-cerita yang tidak kalah unik. Salah satunya, kisah meliput ditemani jin yang dialami oleh Memmy Chewi, seorang wartawan majalah Forum Keadilan.
Saat itu di tahun 1995, Memmy sedang meliput pembukaan program ABRI Masuk Desa (AMD). Karena jadi perempuan satu-satunya, dia harus tidur seorang diri dalam kamar yang disediakan secara khusus. Ketika hendak mandi, Memmy melihat sosok putih yang lama-lama berwujud menjadi seorang laki-laki. Tentu saja Memmy ketakutan, namun sosok tersebut menenangkannya agar tidak takut.
“Jangan takut, saya tidak akan mengganggu, saya mau jadi sahabat kamu. Saya mau menolong kamu. Saya sudah lama tinggal di sini. Ini kamar saya. Dulu waktu mau ke Pangandaran, saya mengalami kecelakaan. Saya sudah meninggal,” ujar sosok lelaki dalam tulisan Memmy itu.
Ketika sudah mulai tenang, Memmy pun berbincang-bincang dengan sosok yang mengaku sudah meninggal itu. Tidak hanya berbincang, keduanya berkeliling hotel dan melanjutkan percakapan di teras masjid. Setelah itu, mereka berjalan-jalan ke sekitar proyek pembangunan jalan yang sedang dikerjakan oleh AMD. Tiba-tiba drum berisi aspal menggelinding, dan nyaris menghantam Memmy jika sosok ini tidak melindunginya.
Sekonyong-konyong Memmy terbangun. Ternyata, dia bermimpi. Memmy pun merasa lega karena kejadian tak biasa itu hanya mimpi.
Namun ketika bergegas meliput pembukaan program AMD, Memmy mendapati hal-hal yang ganjil. Berjalan berkeliling hotel, dia terkesiap menyadari apa yang dilihatnya sama persis seperti di dalam mimpi. Begitu pun teras masjid, tempat ia bercakap-cakap dengan sosok astral tersebut.
Ingin membuktikan pada diri sendiri, jika semuanya memang terlihat sama seperti dalam mimpi, Memmy meminta Kapendam Letkol Herman Ibrahim untuk mengizinkannya masuk ke dalam lokasi AMD. Ketika memasuki area tersebut, dia berada di kawasan pembangunan jalan yang dia susuri dalam mimpi semalam. Bukan hanya itu, ketika upacara pembukaan berlangsung, dari kejauhan Memmy melihat sosok putih menyelinap di antara tentara yang sedang berbaris di lapangan. Kisah itu menjadi kisah liputan yang tak terlupakan sepanjang hidup Memmy.
Baca Juga: BUKU BANDUNG (20): Pengalaman 25 Alumni Jurnalistik Fikom Unpad Menggeluti Dunia Pers
BUKU BANDUNG (19): Geotrek, Perjalanan Menafsir Bumi
Salah Kirim Bantuan
Beda lagi cerita yang ditorehkan Zaky Yamani, wartawan Pikiran Rakyat. Kisah uniknya terjadi saat ia sedang meliput peristiwa Tsunami Aceh pada tahun 2004. Sudah hampir seminggu, ia bersama rekannya, Gelora Sapta, kekurangan asupan nutrisi. Bukan soal kekurangan uang, namun saat itu tidak ada bahan makanan apapun yang bisa dibeli di sana.
Setiap harinya mereka mengandalkan makan siang dari pihak Pendopo yang memang menyediakan makan siang untuk umum. Semua wartawan, dari dalam dan luar negeri, ikut antre makan siang. Selain makan dari pendopo, Zaky juga bergantung pada ibu pemilik rumah yang ia tinggali. Lama-kelamaan ia merasa tidak enak karena bahan makanan ibu pemilik rumah pun semakin menipis.
Tepat saat ponselnya mendapatkan sinyal, ia segera mengirimkan layanan pesan pendek (SMS) ke kantor Pikiran Rakyat agar dikirimkan makanan, baterai, beberapa keping CD kosong, dan rokok. Koordinator liputan Pikiran Rakyat, Enton Supriyatna Sind pun membalasnya dan mengatakan bantuan akan segera datang. Redaksi Pikiran Rakyat lalu menugaskan Muhtar Ibn Thalab dan Anton Ramadhan untuk mengirimkan bantuan itu.
"Tenang, Bu. Ada kiriman dari Bandung," demikian Zaky menyampaikan kegembiraannya kepada ibu pemilik rumah tempat ia menginap.
Namun, ketika bingkisan yang dibawa Muhtar dan Anton tiba, Zaky tercengang melihat isinya. Di dalamnya hanya ada obat-obatan, peralatan P3K (Pertolongan Pertama pada Kecelakaan), masker penutup hidung, dan berlusin-lusin pembalut wanita. Ternyata pihak redaksi salah memberikan bingkisan.
Zaky langsung kembali menghubungi pihak redaksi dan memprotesnya. Enton lalu menjelaskan bahwa pihak redaksi ternyata memang salah mengirimkan barang.
"Tapi kan Ky, lumayan pembalutnya bisa digunakan menutup hidung dari bau tak sedap di sana," ucap Enton.
"Wah, gila!" pikir Zaky.
Selain empat cerita tersebut, ada juga cerita memalukan berbicara ungkapan kasar Bahasa Sunda “Heuh” yang dilakukan seorang wartawan saat mewawancarai Yogie S.M, yang ketika itu menjabat Menteri Dalam Negeri. Beberapa kali sang wartawan ditegur oleh sang pejabat. Yang lain lagi, cerita lucu tentang ketidakberdayaan memenuhi 'panggilan alam' di dalam semak belukar saat peliputan berlangsung.
Dilempar Pistol, Tertahan di Bandara Kuwait
Cerita dilempar pistol dialami oleh Aam Permana Sutarwan, seorang wartawan harian Pikiran Rakyat. Saat itu ia merasa kinerja Reserse Kriminal di Polda Jabar terlihat kurang maksimal semenjak Direktur Reserse Kriminal Polda Jabar Komber Drs. Dikdik M. Arief Mansoer, mendapat promosi menjadi Kakoorspripim Mabes Polri.
Aam lalu menulis berita berjudul “Setelah Dikdik Pindah, Reserse Kriminal Polda bagai Anak Ayam Kehilangan Induk.” Dalam berita itu, ada beberapa anggota reserse yang ia wawancarai. Ketika dimintai keterangan, mereka memang merasa kehilangan arah dalam menjalankan tugas. Karena itu, mereka berharap pengganti Dikdik segera datang dan bertugas.
Tujuan pemberitaan ini bukanlah untuk mencemooh kinerja Polda Jabar, melainkan agar pengganti Dikdik segera datang. Namun, Aam mengakui ada yang kurang dari tulisannya, yaitu konfirmasi langsung dari Pjs. Direktur Reserse Kriminal AKBP Drs. Dade Achmad. Akibatnya, ia dicari-cari oleh sang polisi.
Dade marah besar ketika akhirnya bisa bertemu langsung dengan Aam. Ia memaki-maki Aam karena merasa dizalimi oleh berita yang Aam tulis. Emosi yang memuncak membuat Dade mengambil pistol dan menodongkannya pada Aam.
“Ia mengatakan, pistol yang dipegangnya bisa saja digunakan untuk membunuh saya, karena berita yang saya buat itu telah merugikan dirinya. Ia juga mengatakan sudah mengetahui rumah saya sehingga leluasa melakukan sesuatu yang diinginkannya,” demikian ditulis Aam dalam buku Pistol dan Pembalut Wanita ini.
Beruntung, pistol tersebut masih terkunci saat Dade melemparkan pistol itu ke arah Aam, dan mendarat di dekat kakinya. Ipda Dedi dari Unit III Satuan Operasional I Direktorat Reserse Kriminal Polda Jabar yang saat itu ada juga di ruangan, buru-buru mengambil pistol itu dan melucuti pelurunya.
Aam pun diantar keluar oleh Ipda Dedi dan diberi segelas air putih. Sang jurnalis mengaku saat keluar ruangan, kaki rasanya mau copot. Jika mengingat kejadian ini, ia selalu bergidik membayangkan kemungkinan pistol itu tiba-tiba menyalak mengenai tubuhnya.
Lain lagi, dengan H.A.M Ruslan, mantan Pemimpin Redaksi Pikiran Rakyat yang menjabat ketua DPRD Jabar. Sekitar tahun 80-an ia mendapatkan tugas untuk meliput konferensi wartawan olahraga sedunia di Kuwait.
Ketika itu di Indonesia belum ada perwakilan pemerintahan Kuwait. Ruslan pun harus mengurus visa di perwakilan pemerintahan Kuwait yang ada di Kuala Lumpur, Malaysia, agar bisa berkunjung ke Kuwait. Namun sayang ia tetap tidak bisa mendapatkan visanya. Nekat, Ruslan tetap membulatkan tekadnya untuk tetap berangkat tanpa visa.
Ketika tiba di Kuwait, Ruslan yang diketahui petugas bandara tidak memiliki visa lalu ditahan, tidak boleh keluar dari bandara. Ia terpaksa tidur semalaman di lobi bandara. Esoknya, Ruslan menghubungi Kedutaan Besar Repiblik Indonesia (KBRI) di Kuwait dan menjelaskan duduk perkaranya. Tidak lama, petugas KBRI datang dengan panitia konferensi. Mereka melakukan pembicaraan dengan petugas imigrasi dan menjamin segalanya tentang Ruslan. Akhirnya Ruslan diizinkan keluar dari bandara dan dapat meliput konferensi.
Pers yang Menghakimi
Di bab terakhir buku Pistol dan Pembalut Wanita, terkumpul keluh kesah terhadap awak media massa. Salah satunya adalah tulisan yang berjudul Media "Massa yang Menghakimi" oleh Drs. H. Eka Santosa, mantan ketua DPRD Jawa Barat dan anggota komisi III DPR RI.
“Kita sebagai masyarakat dunia, tidak bisa dilepaskan dari pers. Kita sadari semua, betapa pers berpengaruh dan memberi warna terhadap kehidupan bangsa. Pers sebagai pilar demokrasi. Namun demikian, ada satu kenyataan bahwa peran pers tidak bisa dilepaskan dengan nuansa kekuasaan. Tidak lepas dari sikap subjektif. Saya kritik, keterlambatan dan kemunduran kita dibanding bangsa lain di Asia Tenggara karena peran pers yang tidak mandiri,” tulis Eka.
Eka sangat menyayangkan proses menghakimi yang dipraktikkan banyak media, bahkan sebelum adanya proses pengadilan. Hal ini pernah menimpa dirinya di tahun awal menjabat sebagai ketua dewan. Eka diberitakan sebagai terduga korupsi, dan juga diberitakan memesan anggrek demikian banyak untuk keperluan pribadi dengan menggunakan uang kantor.
Kenyataannya, Eka dan istrinya tidak pernah memesan apalagi menemui penjual anggrek. Berita bombastis seperti ini tiba-tiba muncul ke permukaan. Ia pun bertanya-tanya, siapakah yang berada di balik semua ini?
Eka lalu menemukan sebuah kenyataan, bahwa wartawan dan redaksi dapat dijadikan alat kepentingan kelompok tertentu. Inilah yang mengerdilkan dunia pers itu sendiri. Ia menyayangkan bagaimana pers mengeksploitasi sebuah berita sedemikian rupa, sampai merusak karakter seseorang. Ketika dirinya terbukti tidak bersalah setelah melewati proses pengadilan formal, pers tampaknya tidak tertarik menjadikannya sebuah berita.
Menurut Eka, hal itu tidaklah adil, mengingat sejumlah media menyebutkannya sebagai terdakwa ketika statusnya masih tersangka. Ia usul, mungkin suatu saat wartawan beserta para awak redaksi harus merasakan hal yang dialami oleh dirinya.
“Cobalah sesekali ketidakberesan wartawan dan redaktur diungkap media. Media massa itu kan bukan milik kelompok atau perorangan, tapi milik masyarakat luas. Sehingga lebih fair. Jadi masyarakat tidak melulu sebagai objek tapi juga sebagai subjek,” tulis Eka.
Apa yang diungkapkan oleh Eka bisa menjadi bahan refleksi bagi siapa pun yang kini bekerja sebagai jurnalis. Juga semua pemangku kepentingan di dapur redaksi. Begitulah buku Pistol dan Pembalut Wanita ini bukan hanya menyoroti kinerja jurnalis dari kaca mata jurnalis, namun juga dari mereka yang memiliki kritik terhadap dunia pers.
Informasi Buku
Penulis: Wartawan Bandung
Editor: Enton Supriyatna Sind dan Taufik Abriansyah
Penerbit: Forum Diskusi Wartawan Bandung (FDWB)
Cetakan: I, April 2007
Halaman: 299 hlm.