• Buku
  • BUKU BANDUNG (20): Pengalaman 25 Alumni Jurnalistik Fikom Unpad Menggeluti Dunia Pers

BUKU BANDUNG (20): Pengalaman 25 Alumni Jurnalistik Fikom Unpad Menggeluti Dunia Pers

Buku Jurnalis, Jurnalisme, dan Saya mengandung banyak kisah inspiratif terkait dunia jurnalistik. Seperti dongeng atau panduan bagi jurnalis pemula maupun mahasiswa.

Buku Jurnalis Jurnalisme dan Saya, penerbit: Keluarga Alumni Jurnalistik Fikom Unpad, Cetakan 2011. (Foto: Bani Hakiki/BandungBergerak.id)

Penulis Bani Hakiki31 Oktober 2021


BandungBergerak.idRasanya buku Jurnalis, Jurnalisme, dan Saya rasanya terdengar oldschool di ranah pendidikan jurnalistik atau pun di kalangan profesi wartawan. Buku ini barangkali lebih dekat dengan mereka yang pernah menempuh pendidikannya di Kaki Gunung Manglayang, Jatinangor. Ya karena para penulisnya terdiri dari sederet nama alumni Jurnalistik Fikom Unpad.

Bagi saya, buku berisikan sekantong curhatan dan pengalaman para alumni itu tidaklah asing. Saya terakhir kali membaca buku ini lebih dari setengah dekade yang lalu. Rasanya seperti de javu ke masa-masa perkuliahan. Waktu di mana kami, mahasiswa jurnalistik dengan almamater yang sama pertama kali mempelajari cara merangkum dan mengapresiasi sebuah buku pada semester awal.

Buku Jurnalis, Jurnalisme, dan Saya merupakan antologi atau kumpulan artikel yang terbagi ke dalam enam bagian bab utama yang dikategorikan sesuai tema tulisannya masing-masing. Ada 25 penulis di dalamnya, beberapa nama mungkin sudah dikenal di kalangan wartawan secara umum, di antaranya Hagi Hagoromo, Adi Marseila, Nursyawal dan sedet nama lainnya. Untuk merangkum 25 kisah ini, mari kita telaah beberapa babnya dan mencari kisah-kisah yang menurut saya paling menarik dan punya keterkaitan kuat dengan kondisi hari ini.

Kemerdekaan Pers Indonesia

Bagian pertama, dibuka dengan sebuah tulisan berjudul Negara, Istana, dan Wartawan oleh Arys Hilman. Kisahnya menceritakan tentang pengalaman si penulis bertandang ke istana negara Singapura untuk sebuah peliputan bersama sembilan wartawan lainnya dari wilayah ASEAN. Target utamanya, menemui Perdana Menteri Singapura, Lee Hsien Loong yang menjabat ketika itu.

Dari pengalamannya itu, ia bercermin soal kondisi kemerdekaan pers di Indonesia dengan beberapa negara Asia Tenggara lainnya. Di Singapura, hampir seluruh kepala keluarga di sana berlangganan koran meski isu politik dianggap bukan suatu hal yang seksi untuk dibaca. Masyarakat Singapura hari itu dikenal hanya tertarik pada 5 C: “cash, car, credit card, condominium, country club” disusul 1 F: “family” kemudian.

Banyak hal tabu dalam dunia politik di negara itu, hal ini serupa dengan kondisinya di Malaysia. Seandainya isu politik beken, kemungkinan para pegiat persnya bakal condong ke pihak negara mengingat doktrin pemerintahannya yang cukup kuat. Berbeda dengan keadaan di Indonesia, di mana isu politik dijadikan barang dagang dengan kualitas informasi rendah namun menguntungkan bagi kalangan tertentu, khususnya pihak oligarki.

Padahal ilmu kerja jurnalistik paling mendasar yaitu voicing the voiceless. Artinya, pegiat pers dan media seharusnya memberikan informasi yang justru jarang tersorot oleh perbincangan umum. Dalam hal ini konteksnya dari rakyat untuk rakyat seperti yang seharusnya diusung setiap negara demokrasi. Seperti yang dibicarakan lebih spesifik dalam artikel Jurnalis, Keberpihakan, dan Keselamatan oleh Sri Lestari dan mayoritas tulisan lainnya.

Bagian pertama buku juga banyak membahas tentang kondisi gerakan media literacy atau literasi media kala itu. Seperti yang secara spesifik dibahas dalam tulisan berjudul "Media Literacy: The Unknown Area" oleh Santi Indra Astuti. Penulis beranggapan bahwa seharusnya instantsi pendidikan punya andil dan tanggung jawab lebih untuk mencetak kualitas pegiat media yang lebih baik. Kritik ini merupakan hasil pengamatannya sendiri melihat konten media yang semakin banal ketika itu.

Kondisinya hampir serupa dengan hari ini, hanya saja platform penayangan kontennya telah bertransformasi ke gawai-gawai yang lebih fleksibel. Mungkin perubahan teknologi ini cenderung berjalan ke arah yang semakin buruk. Malah justru semakin sering kembali terdengar media yang dibungkam oleh oknum instansi kenegaraan di era digital. Contohnya, peretasan yang terjadi pada situs dan beberapa akun media sosial Project Multatuli beberap waktu lalu.

Pembahasan ke ranah teoritis dan praktik juga dapat kita baca pada bagian keenam, Wartawan, Humas, dan LSM. Dalam sebuah tulisan penutup buku ini, penulisnya, Beni Antono, memaparkan bagaimana jurnalis diharapkan menyusup laporan peliputan yang tidak ‘kering’, tetapi menyajikan laporan yang ‘bunyi’ dari peristiwa yang pantaunya menggunakan setiap indera. Tulisan berjudul Another (style of) Journalism Is Possible… itu membahas kualitas hasil peliputan secara komperhensif dari sudit pandang penulis dan ahli.

Ada beberapa hal yang terkadang terlupakan bahwa wartawan seharusnya tidak hanya sekedar menulis laporan, mereka juga memeriksa dan memastikan pekerjaan orang lain, rekan sesama redaksinya. Tujuannya agar data hasil peliputan dapat terverifikasi dan divalidasi.

Beni melihat semakin jauhnya kualitas laporan di sejumlah media ketika itu yang hanya mengandalkan kecepatan pengirimannya saja. Padahal pemikiran wartawan seharusnya tidak selalu sejalan dengan wartawan atau pihak lainnya yang bertujuan menyajikan informasi dalam satu isu yang serupa. Ada kondisi ketika para pegiat media cenderung lebih sibuk dengan agenda setting masing-masing. Hal ini membuat kerja wartawan semakin tidak peka akan pada ruang hidup masyarakat, saling bersiasat, dan saling berebut panggung wacana publik.

Baca Juga: BUKU BANDUNG (14): Yang tidak Penting bagi Matdon, (Mungkin) Penting bagi Kita
BUKU BANDUNG (15): Perjalanan Panjang Villa Isola Melintasi Zaman
BUKU BANDUNG (17): Perusakan Bangunan Cagar Budaya dalam Catatan Haryoto Kunto
BUKU BANDUNG (18): Gedung Bank Indonesia Bandung dari Masa ke Masa
BUKU BANDUNG (19): Geotrek, Perjalanan Menafsir Bumi

Integritas Pers, Kondisi Media, dan Jurnalis

Pada bab kedua, buku ini secara spesifik membahas bagaimana geliat integritas wartawan pada masa itu. Banyak dimensi waktu yang dapat kita temukan di dalamnya, ada sederet kisah tentang pengalaman menjadi koresponden luas dengan potensi berita yang beragam dengan sedikit bantuan. Sebagai pembuka bab, tulisan Jurnalisme si Kaning oleh Yayu Yuniar punya beragam kisah menarik yang dapat menginspirasi wartawan muda. Penulis punya pengalaman kerja yang luar biasa, salah satunya menjadi wartawan untuk surat kabar terbitan Amerika Serikat, The Washington Post.

Pembahasan dunia kewartawanan serupa juga kemudian dibahas secara luas dalam tulisan berjudul Bertahan Sebagai Koresponden oleh Adi Marseila. Kemajuan teknologi telah memberi peluang lebih cepat dan luas untuk para koresponden. Ketika itu, berbagai media mulai bersaing untuk melengkapi diri dengan layanan berita secara daring. Kemajuan itu semakin terlihat mencolok dengan kondisinya hari ini.

Dalam sistem kerja media daring, wartawan berusaha mendapatkan berita sebanyak-banyaknya, terutama mereka yang bekerja dengan status korespinden atau kontributor. Tidak sedikit wartawan yang dituntut 10 berita sehari.

Kondisi ini secara tidak langsung berdampak pada proses peliputan. Akhirnya melahirkan ritme tidak sehat antarkontributor dan koresponden. Tidak jarang sesama koresponden dan kontributor melakukan kloning berita.

Dilanjut ke bagian ketiga tentang Manajemen Media, ada beberapa kisah yang menurut saya paling menarik di dalamnya. Salah satunya tulisan berjudul Alhamdulillah I’ts Friday oleh Hagi Hagoromo. Penulis menceritakan kembali kisan dan pengalamannya membangun sebuah majalah baru berkonsep Islam dan berhenti di tengah perjalanan meski medianya terus langgeng.

Hagi mencoba mengevaluasi dirinya terhadap kerja dan karyanya di media tersebut. Ia menilai bahwa pengakuan atas karya redaksi yang baik tak cukup untuk menjalankan sebuah penerbitan. Perlu diimbangi dengan strategi yang tepat pada divisi usaha, agar semuanya bisa terjamin.

Wartawan Investigasi

Pada bab selanjutnya, ada sederet kisah lainnya seputar integritas dan kerja wartawan di medan peliputan dapat kita baca di bagian keempat tentang Meliput Konflik. Sebuah tulisan berjudul Minus Rencana Ke Jalur Gaza oleh Ismail Fahmi menyodorkan pengalaman luar biasa dan menarik bagi pembaca, khususnya bagi yang menaruh ketertarikan pada isu konflik.

Penulis membagi pengalamannya saat meliput keadaan di jalur Gaza, Palestina. Stasiun televisi berita tempat penulis bernaung merupakan stasiun televisi berita yang masih sangat muda. Keputusan memberangkatkan penulis tersebut terbilang sangat revolusioner saat itu.

Keadaan lapangan begitu buruk, bahkan dia kehabisan padanan kata untuk menggambarkan dahsyatnya situasi konflik yang ia saksikan secara langsung. Penulis sempat mengira ketinggalan rombongan karena tidak melihat jurnalis lain. Hal ini membuat penulis kebingungan mencari cara jalan melewati sebuah perbatasan,

Akhirnya penulis memilih menumpang angkutan pembawa bantuan medis. Ternyata penulis merupakan jurnalis pertama yang sampai ke lapangan. Jurnalis lain masih ada di pos pemeriksaan dan tertahan di sana. Selama berada di Gaza, penulis tinggal nomaden tanpa tempat menetap. Dari sanalah pengalamannya bertemu dan mewawancarai Fauzi Barhoum, orang ketiga terpenting di Hamas di mana letak kisah menariknya terjadi.

Secara umum, seluruh tulisan yang terdapat di dalam buku Jurnalis, Jurnalisme, Dan Saya mengandung kisah-kisah inspiratif. Bisa dikatakan, buku ini merupakan sebuah dongeng yang bisa menjadi panduan bagi wartawan pemula maupun mahasiswa jurnalistik yang sedang mengemban ilmunya. Meskipun masanya sudah cukup berbeda dengan kondisi dewasa ini, beberapa pembahasannya tetap bisa membuat kita bercermin tentang geliat pers dalam negeri.

Informasi tentang Buku

Judul : Jurnalis, Jurnalisme, dan Saya

Penulis : Arys Hilman, Sri Lestari, Rieska Wulandari, Nursyawal, Santi Indra Astuti, Siska Widyawati, Media Sucahya, Hawe Setiawan, Hagi Hagoromo, Nigar Pandrianto, Irfan Juniadi, Adi Marseila, Ismail Fahmi, Galuh Pangestu, Bobby Batubara, Yudhanti Budi, Sarnapi, Resi Fahma Gitiningsih, Ahmad Setiyaji, Budi Suwarna, Chrysanti Tarigan, Riniwaty Makmur, Dani Hamdan, dan Beni Antono

Penyunting: Feby Indirani, Priyantono Oemar, Tri Irwanda, dan Wahyu Handoyo

Penerbit : Keluarga Alumni Jurnalistik Fikom Unpad

Cetakan : 2011

Tebal : 244 halaman, 15 x 21 cm

ISBN : 978-602-9142-32-7.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//