BUKU BANDUNG (18): Gedung Bank Indonesia Bandung dari Masa ke Masa
Penulis buku Gedung Bank Indonesia Bandung menyayangkan renovasi yang dilakukan dengan tidak memperhatikan kelestarian cagar budaya.
Penulis Hernadi Tanzil17 Oktober 2021
BandungBergerak.id - Gedung Bank Indonesia Bandung adalah bangunan cagar budaya yang menjadi salah satu ikon Kota Bandung. Selain Gedung Sate, gedung Bank Indonesia Bandung sebagai bangunan indah dari era kolonial yang dibuat dengan gaya arsitektur neo classic (Electcism) yang dipadupadankan dengan arstektur khas nusantara. Gedung ini juga merupakan bangunan dengan konstruksi beton bertulang pertama yang dibangun di Kota Bandung.
Sayangnya tidak banyak yang mengetahui sejarah dan asal usul bangunan indah ini dibanding bangunan-bangunan cagar budaya lainnya di Bandung. Sebenarnya Bank Indonesia Bandung pada tahun 2007 telah membuat buku berjudul The Old Bank Indonesia, Bandung Regional Office Building, Preserving an Acrhitectural Heritage yang disusun oleh tim dari Bank Indonesia Bandung yang juga melibatkan Sudarsono Katam (penulis buku Gedung Bank Indonesia Bandung, yang dibahas dalam tulisan ini).
Buku The Old Bank Indonesia, Bandung Regional Office Building, Preserving an Acrhitectural Heritage menjelaskan tentang upaya reservasi gedung, kondisi fisik gedung, latar belakang pendirian, dll. Sayangnya buku tersebut tidak diedarkan untuk umum melainkan hanya sebagai cendera mata oleh Bank Indonesia dan untuk keperluan intern lainnya.
Bersyukur akhirnya hadir sebuah buku tentang Gedung Bank Indonesia Bandung yang dapat dibaca oleh masyarakat umum. Buku ini berisi tentang sejarah dan latar belakang berdirinya gedung De Javasche Bank yang terletak di ujung Jalan Braga. Gedung ini selesai dibangun pada 1918.
Di masa pendudukan Jepang, ada satu hal yang menarik yang terungkap di buku ini: mengenai keberadaan cadangan emas yang tersimpan di De Javasche Bank senilai f.120.000.000 pada saat Perang Dunia II. Di saat Jepang mulai memasuki Indonesia, maka direksi memutuskan untuk mengungsikan cadangan emas tersebut segera diungsikan dalam 7 kali pengiriman ke Australia dan Afika Selatan.
Tanggal 6 Maret 1942 tentara Jepang menggeledah khazanah (ruang rahasia tempat menyimpan emas dan benda-benda berharga) di seluruh De Javasche Bank di Hindia termasuk di Bandung, tentu saja tentara Jepang harus kecewa karena tidak terdapat sepotong emas pun dalam seluruh khazanah De Javasche Bank. Namun tentara Jepang tidak menyerah begitu saja dan berusaha menginterogasi para direksi dan mencoba mencari cadangan emas yang diperkirakan disembunyikan De Javasche Bank.
"Tentara Jepang menyelidiki keberadaan cadangan emas Hindia Belanda ke mana-mana sampai ke pelosok Pulau Jawa. Vila peristirahatan De Javasche Bank di Megamendung Cianjur turut digeledah bahkan kebun di sekitar vila digali sampai enam meter dalamnya. Tentara Jepang juga meneliti kemungkinan adanya kapal pengangkutan emas tersebut yang karam terkena torpedo kapal selam Angkatan Laut Jepang di Laut Jawa atau samudra Hindia, sehingga masih dapat diambil kembali dengan bantuan penyelam" (halaman 20).
Baca Juga: BUKU BANDUNG (17): Perusakan Bangunan Cagar Budaya dalam Catatan Haryoto Kunto
BUKU BANDUNG (15): Perjalanan Panjang Villa Isola Melintasi Zaman
BUKU BANDUNG (14): Yang tidak Penting bagi Matdon, (Mungkin) Penting bagi Kita
BUKU BANDUNG (13): C. P. Wolff Schoemaker sebagai Arsitek dan Seniman, serta Keterlibatannya dalam Partai Sempalan
Renovasi Menghilangkan Ornamen Asli
Selain tentang sejarah De Javasche Bank, buku ini memaparkan pula tentang renovasi gedung De Javasche Bank Bandung yang telah beberapa kali mengalami renovasi sejak zaman Hindia Belanda hingga kini. Selain itu ada juga bab khusus tentang interior dan eksterior gedung yang dilengkapi dengan foto-foto yang tajam dan detail tentang hal-hal yang unik dan patut mendapat perhatian kita semua.
Merestorasi bangunan bersejarah memang diperlukan agar cerita, nilai-nilai bersejarah, dan ciri khas arsitektur masa lampau yang digunakan dapat dipertahankan dan dinikmati oleh generasi-generasi selanjutnya.
Gedung Bank Indonesia cabang Bandung memang telah direstorasi dan direnovasi, namun sayangnya ada beberapa elemen asli gedung yang hilang. Ketika membahas mengenai renovasi gedung, penulis mengungkapkan kekecewaannya karena ada beberapa bagian interior gedung seperti bahan lantai yang tidak rusak, kaca etsa pintu putar gerbang masuk dan ornamen kaca patri yang asli yang ternyata dibawa pihak pelaksana renovasi.
"Sungguh sangat disayangkan mengapa benda-benda tersebut harus diganti sehingga interior gedung menjadi tidak orisinal atau tidak menjadi sesuai lagi dengan rancang awal bangun gedung" (halaman 30).
Penambahan luas dan perubahan bentuk yang dilakukan berkali-kali pada Gedung Bank Indonesia Bandung juga membuat gedung ini tidak asli lagi sehingga penulis mempertanyakan:
"Apakah Gedung Bank Indonesia Bandung masih dapat dikategorikan sebagai gedung cagar budaya, mengingat perubahan yang terjadi cukup fundamental dilihat dari kriteria penetapan sebuah gedung sebagai cagar budaya" (halaman 30).
Secara keseluruhan buku ini sangat baik dalam membahas Gedung Bank Indonesia dari Masa ke Masa. Penulis menggambarkannya dengan cukup detail, terlebih dalam membahas interior dan eksterior gedung yang merupakan gabungan dari gaya Eropa dan tradisional nusantara yang tampak dari beberapa elemen dekoratif antara lain pilar-pilar kokoh seperti yang terdapat di istana-istana Eropa yang dipadukan dengan ornamen candi di puncak bangunannya.
Adanya foto-foto yang tercetak secara tajam di atas kertas mat paper yang mengilap juga sangat membantu pembaca menyusuri sudut-sudut dekoratif dari gedung ini.
Yang sangat disayangkan dalam buku ini adalah kemasan covernya. Cover dengan latar belakang hitam dan foto De Javasche Bank cabang Bandung tahun 1930-an yang tampak buram membuat tampilan buku ini menjadi kurang sedap dipandang mata. Apakah cover hitam ini memang dibuat sebagai penanda atau ciri khas dari buku-buku karya Sudarsono Katam mengingat kedua buku karya beliau tentang Bandung dibuat dengan cover berwarna hitam? Kalaupun memang harus berwarna hitam, alangkah baiknya kalau foto covernya dipilih dari foto dengan resolusi yang lebih baik seperti di dua buku sebelumnya.
Terlepas dari tampilan covernya yang kurang menarik, kehadiran buku ini patut diapreasiasi baik oleh para pemerhati bangunan-bangunan bersejarah di Bandung maupun bagi masyarakat umum untuk lebih memahami seluk beluk gedung Bank Indonesia Bandung baik dari segi sejarah maupun dari segi estetika arsitekturnya.
Bagi pihak yang merenovasi gedung bersejarah, seperti telah diungkap di atas terkait kekecewaan penulis terhadap beberapa elemen yang hilang dan berubah, tentunya ini akan menjadi sebuah peringatan agar siapa pun pihak yang merestorasi atau merenovasi bangunan bersejarah sebisa mungkin tetap mempertahankan elemen-elemen yang masih bisa dipertahankan dari arsitektur masa lampau.
Selain itu, seperti yang dikatakan penulis dalam kata pengantarnya, buku ini disusun dengan tujuan untuk dapat memberikan pengetahuan atau informasi mengenai gedung De Javasche Bank Cabang Bandung yang merupakan sejarah kecil (petit histoire) Kota Bandung dan untuk memperkaya literatur tentang kota Bandung.
Informasi Buku
Judul : Gedung Bank Indonesia dari Masa ke Masa
Penulis : Sudarsono Katam
Penerbit : Kiblat Buku Utama
Cetakan : I, Maret 2013
Tebal : 53 halaman.