BUKU BANDUNG (17): Perusakan Bangunan Cagar Budaya dalam Catatan Haryoto Kunto
Lewat kumpulan artikel yang dibukukan dalam Nasib Bangunan Bersejarah di Kota Bandung (2000), Haryoto Kunto menyoroti lenyapnya banyaknya bangunan bersejarah.
Penulis Sarah Ashilah3 Oktober 2021
BandungBergerak.id - “City without old buildings is like a man without memory (Kota tanpa bangunan lawas ibarat manusia tanpa ingatan).”
Apa yang dikatakan Konrad Smiglisky berabad-abad lampau rupanya masih relevan untuk menggambarkan bagaimana kota-kota modern di Indonesia, termasuk Bandung, mulai kehilangan jati dirinya. Gerusan arus pembangunan bisnis mengoyak setiap penjuru kota dengan bangunan-bangunan lawasnya. Bangunan-bangunan yang bukan hanya dinilai dari bobot keindahan, tapi juga nilai kesejarahannya.
Meski tipis, buku karya Haryoto Kunto Nasib Bangunan Bersejarah di Kota Bandung (2000) berhasil membuat pembaca seperti saya tergugah untuk menyadari pentingnya bangunan-bangunan cagar budaya (heritage). Kita akan diayun menyelami keindahan Bandung tempoe doeloe, yang sempat menyandang julukan Parisj van Java atau Kota Parisnya Pulau Jawa.
Foto-foto lawas Kota Bandung biasanya membuat orang bergumam “Oh, dulu Bandung seperti ini.” Namun tidak dengan buku ini. Selain menyajikan foto-foto suasana dan bangunan klasik Kota Bandung di awal abad ke-20, buku terbitan PT Granesia ini menyuarakan juga kesedihan yang mendalam akibat lenyapnya sebagian dari mereka.
Tuntas membaca buku ini, saya jadi dapat meraba perasaan nenek dan kakek ketika bercerita tentang Bandung di awal abad ke-20. Dunia yang dikenalnya semasa muda itu, berikut semua kenangan yang menjadi bagian dari kehidupan mereka, hilang digantikan oleh bangunan-bangunan modern berlantai banyak.
Perusakan demi Perusakan
Ketika Pemerintah Republik Indonesia mengambil alih kedaulatan secara penuh pada tahun 1949, keadaan Kota Bandung relatif utuh dan baik. Puing-puing bangunan bersejarah setelah perang, terutama peristiwa Bandung Lautan Api, sudah tidak tampak.
Pada tahun 1970, bangunan bersejarah yang masih tersisa tercatat sebanyak 2.500 unit. Namun, memasuki tahun 1990-an, jumlahnya semakin susut. Tersisa 495 unit bangunan lama dan 206 unit bangunan arsitektur kolonial yang masih utuh.
Haryoto Kunto mencatat, selama dasa warsa terakhir, hingga buku diterbitkan pada tahun 2000, ada sekitar 60 bangunan bersejarah yang harus tergusur oleh pembangunan. Bangunan-bangunan itu antara lain Markas KAPI di Jalan Lembong, rumah pelukis Payen, Toko Buku Ganaco, 9 rumah karya arsitektur Sukarno, Gedung Singer (1930) karya arsitek F.W. Brinkman, Gedung Perkebunan (1912) di simpang Jalan Aceh-Sumatra karya arsitek P.A.J. Moojen, dan sejumlah Villa Huis di sekitar Jalan Dipatiukur karya A.F. Aalbers.
Ada pula Laboratorium PTT di Tegalega, Penjara Banceuy, bangunan Oud Holland, serta delapan bangunan bioskop seperti Elita, Varia, Oriental, Luxor, Capitol, dan Rex. Bangunan lainnya yang ikut tergusur adalah bangunan gerbang Pasar Baru, Andir, Kosambi, dan Cicadas, Loji “Sint Jan” di Jalan Wastukencana, serta sejumlah bangunan gaya Indo Europeesche Architectuur Stijl di kawasan Dago, Cihampelas, Cipaganti, dan sekitar Gedung Sate.
Bangunan-bangunan tersebut harus dikorbankan akibat maraknya pembangunan untuk kepentingan bisnis di Kota Bandung. Banyak bermunculan supermarket, pusat-pusat bisnis, kondominium, mal, dan kompleks bangunan luas di dalam kota lainnya, menggantikan bangunan-bangunan lawas bersejarah.
“Kehadiran Undang-undang RI Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, selain sebagai pengganti dan penyempurnaan Monumenten Ordonantie Staatsblad No. 238 Tahun 1931 yang telah diberlakukan sejak zaman kolonial dulu, ternyata bukan jaminan bahwa gedung-gedung bangunan monumen bersejarah telah aman terlindungi,” tulis Haryoto Kunto yang menyandang julukan Kuncen Bandung.
Baca Juga: BUKU BANDUNG (15): Perjalanan Panjang Villa Isola Melintasi Zaman
BUKU BANDUNG (14): Yang tidak Penting bagi Matdon, (Mungkin) Penting bagi Kita
BUKU BANDUNG (13): C. P. Wolff Schoemaker sebagai Arsitek dan Seniman, serta Keterlibatannya dalam Partai Sempalan
Sebelum Kemerdekaan
Pieter Andrisan Jacobus Moojen, seorang arsitek, pelukis, dan penulis, merancang banyak bangunan arsitektur penting di kota-kota besar Hindia Belanda, seperti Bandung, Jakarta, dan Surabaya. Moojen jugalah yang membawa seni bangunan Art Noveau. Pada 1904, ia menginjakkan kaki di Kota Bandung.
Selain menjadi arsitek, Moojen juga mendirikan organisasi Gebouw Nederlandsch Indische Kunstkring (Perkumpulan Seni dan Bangunan Hindia Belanda). Perkumpulan tersebut bukan hanya menjadi wadah pengembangan seni, namun juga secara aktif melakukan usaha-usaha penyelamatan dan pelestarian monument dan bangunan bersejarah yang sudah ada dan berdiri sejak abad ke-18 dan ke-19.
Rekomendasi mengenai upaya perlindungan dan penyelamatan objek bangunan bersejarah yang diusulkan perkumpulan ini, mendapat perhatian khusus dari pemerintah Belanda sehingga dibuatlah peraturan yang dituangkan dalam Monumenten Ordontie Staatsblad No. 238 Tahun 1931. Peraturan inilah yang juga menjadi dasar Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1992.
Jika Moojen bergerak dalam bidang arsitektur, lain halnya dengan Dr. W Docters van Leeuwen yang mempimpin Komite bagi Perlindungan Alam Bandung. Yang ikut jadi pengurus komite ini di antaranya K.A.R Bosscha, F.W.R Diemont, P. Holten, dan wartawan W.H. Hoogland. Ketika itu fokus mereka adalah menyelamatkan hutan perawan di perbukitan Dago yang digunduli oleh penduduk untuk dijadikan lahan sawah akibat kelaparan yang melanda. Komite pun menyediakan dana sebesar 3.000 gulden untuk membebaskan kawasan hutan tersebut.
Kebijakan pembebasan hutan ini amatlah penting. Dr. Isaac Groneman pada 1864 mengungkapkan bahwa hutan di Bandung bagian utara itu menyimpan berbagai flora dan fauna langka. Ada meong congkok atau kucing hutan yang menyerupai harimau, kancil, ular, badak, dan lutung yang menjadi penghuni hutan. Sementara itu, flora yang menempati wilayah perbukitan Dago adalah anggrek mungil yang harum (Microstylis Bandongensis dan Nervillea Aragona).
Dalam kurun 1935-1936, upaya yang dilakukan Komite Bagi Perlindungan Alam Bandung dilanjutkan oleh Bandoeng Vooruit sebuah organisasi masyarakat di bawah pimpinan Ir. Pooldevart. Organisasi inilah yang mengadakan penghijauan di daerah aliran sungai Cikapundung dari Jalan Tamansari hingga Ciumbuleuit, lalu ke Maribaya di Lembang dengan menanam tanaman pinus merkusi dan cemara gunung.
Kita masih bisa melihat sisa-sisa penghijauan tersebut di masa kini dengan berjalan-jalan di tepian Sungai Cikapundung. Dari upaya-upaya yang dilakukan itulah, entah dalam bidang arsitektur maupun lingkungan hidup, Kota Bandung tertata dengan begitu rapi dan baik di awal abad ke-20. Tidak heran jika H.F Tillema, seorang ahli kesehatan dari Semarang mengusulkan agar ibu kota Hindia Belanda dipindahkan dari Batavia Bandung.
Rupanya, wajah Kota Bandung semacam inilah yang menjadi tempat tinggal nenek, kakek, serta para pendahulu kita. Keindahan suatu kota seharusnya tidak terlepas dari keindahan masa lalu yang mencakup juga bangunan-bangunan bersejarah dan kawasan hijau yang terlindungi.
Haryoto Kunto, yang kesohor sebagai penulis Semerbak Bunga di Bandung Raya (1986), secara tidak langsung membuat pembaca memahami apa alasan pemerintah-pemerintah di benua Eropa bersikeras merawat bangunan-bangunan lawas mereka. Di sana, bangunan-bangunan bersejarah tetap berdiri kokoh, meski mengalami pebaikan berkali-kali dan telah digunakan dengan peruntukan yang berbeda-beda.
Bukan Lagi Tujuan Wisata Utama
Pada tanggal 14 Oktober 1995, The Jakarta Post menerbitkan sebuah editorial yang menyebut Kota Bandung sudah bukan lagi Parisj Van Java. Editorial itu pun memancig banyak perhatian orang. C. Rukmana, MM, misalnya, menulis ulasan berisi tanggapan terhadap editorial tersebut di harian Pikiran Rakyat (PR) dengan judul “Kota Bandung Bakal Lenyap dari Paket Wisata?”. Masyarakat pun menimpali isu ini lewat beberapa siaran dari studio radio swasta.
Sebenarnya jika ditarik ke belakang, sebagaimana termuat dalam buku Nasib Bangunan Bersejarah di Kota Bandung, Kota Bandung sudah mulai kehilangan daya tariknya sejak tahun 1989. Banyak pers asing, yang terbit di Tokyo, Jerman, Belanda, Inggris, Amerika Serikat, dan Hongkong memuat berita yang menyebut Bandung tidak lagi aman untuk turis asing. Pemicunya, rentetan penjambretan yang menimpa turis Belanda, Jerman, dan Jepang di akhir tahun 1980-an.
Pada 2 Desember 1984, warta Buana Minggu menuliskan pemberitaan miring terkait Nyonya Elisabeth de Zwart, manajer Unitravel Holland yang mengadu pada Joop Ave, Direktur Jenderal Parawisata pada masa itu, tentang buruknya kebersihan hotel-hotel dan restoran yang menyebabkan turis-turis Belanda menderita penyakit tipus dan disentri.
Ada juga pemberitaan tentang ulah para sopir taksi oleh Vijay Verghese, seorang wartawan dari majalah Business Traveller, dalam edisi Maret 1991. Selain menunjuk lokasi sopir-sopir paling brengsek di Bandung, Vijay juga menyebut kalau para sopir taksi ini menguasai seni menyopir kendaraan sambil tertidur.
Kota Bandung di masa itu merupakan tujuan utama pemburu nostalgia dari negeri Belanda. Namun, akibat terpaan isu tidak sedap mulai dari ketidakamanan kota hingga lenyapnya banyak bangunan cagar budaya, jumlah kunjungan wisatawan aing terus anjlok. Editorial yang dimuat The Jakarta Post rupanya tidak berlebihan. Kota Bandung memang sudah tidak lagi mirip Paris.
“Sebagai warga kota, kita cuma berharap semoga Kota Bandung tidak sampai kehilangan ciri visual, nuansa tempo doeloe, kenangan indah masa lalu dalam kalbu, berbentuk bangunan lama yang antik dan langka,” tulis Haryoto.
Informasi Buku
Judul: Nasib Bangunan Bersejarah di Kota Bandung
Penulis: Haryoto Kunto
Penerbit: PT Granesia Bandung
Cetakan: I, Juni 2000
Tebal: 64 Halaman
ISBN: 9-798-115