• Buku
  • BUKU BANDUNG (14): Yang tidak Penting bagi Matdon, (Mungkin) Penting bagi Kita

BUKU BANDUNG (14): Yang tidak Penting bagi Matdon, (Mungkin) Penting bagi Kita

Dalam buku Kisah-kisah tak Penting, Matdon menuliskan puluhan cerita tentang kewartawanan dan kesenimanan yang merentang sejak 30 tahun lalu. Banyak nama diseret.

Buku Kisah-kisah tak Penting (2021) karya Matdon, yang diterbitkan oleh Langgam Pustaka, Tasikmalaya, memuat 36 cerita atau anekdot tentang pengalaman sebagai wartawan dan seniman. (Sumber foto: sampul buku Kisah-kisah tak Penting)

Penulis Tri Joko Her Riadi6 September 2021


BandungBergerak.idDi suatu malam dengan udaranya yang dingin pada tahun 1996, wartawan Matdon bergabung ke dalam tim berisikan polisi dan petugas Dinas Sosial Kota Bandung yang sedang melakukan razia pekerja seks komersial (PSK). Mereka yang tertangkap, digiring ke aula Polrestabes (dulu Polwiltabes) di Jalan Merdeka. Matdon menjumpai satu perempuan yang mengaku sedang hamil.

Mulanya sang wartawan mengira itu hanya sandiwara si korban. Namun, setelah menyentuh langsung perut sang perempuan, percayalah Matdon bahwa PSK di hadapannya itu betul-betul sedang mengandung anak. Ia ikuti sang perempuan hingga ke penampungan di kantor Dinas Sosial di kawasan Caringin.

Sesudah percakapan yang panjang, Matdon tahu bahwa sang perempuan dengan kandungan berusia lima bulan itu terpaksa menjalani pekerjaan sebagai PSK. Sang suami yang memaksanya karena tak ada lagi uang di rumah untuk memberi makan anak pertama.

“Saya menjalani pekerjaan ini sebenarnya tidak mau, tidak rela…” begitu penggalan kata-kata sang perempuan malang yang berhasil diingat Matdon.

Di lain hari, lain tahun, Matdon, yang kali ini berperan sebagai seniman, tiba-tiba melontarkan ide gila untuk ikut menyemarakkan hajatan pemilihan wali kota ke Abah Opik, rekan sesama wartawan senior di lingkungan Polrestabes Bandung. Bermodal 75 ribu rupiah, keduanya menyewa dua ekor kuda di Jalan Ganesha lalu berjalan beriringan menuju tempat pendaftaran di Balai Kota.

“Bah, percuma pakai kuda saja mah, kurang menarik. Bagaimana kalau kita telanjang?” kata Matdon, diamine sobat kentalnya.

Begitulah hari itu kedua orang tersebut membuat heboh. Bukan saja panitia pendaftaran calon wali kota, tapi juga orang-orang yang menyaksikan. Belum lagi beritanya menyebar lewat pemberitaan keesokan harinya.

Ya Wartawan, Ya Seniman

Reportase razia PSK dan kegilaan melamar sebagai calon wali kota merupakan dua dari 36 cerita yang termuat dalam buku Kisah-kisah tak Penting (2021). Karena setiap cerita disajikan pendek-pendek, mirip anekdot, ketebalan buku ini 78 halaman saja.

Ada banyak cerita menarik lain yang dituliskan Matdon, yang mengawali karier jurnalistiknya pada tahun 1991. Beberapa ‘kekeliruan’ verifikasi pernah ia lakukan. Saat meliput bencana kebakaran di bulan pertamanya sebagai wartawan Gala (sekarang Galamedia), Matdon dengan meyakinkan menulis tentang seorang warga yang jadi korban setelah menyaksikan satu sosok yang hangus terbakar digotong oleh dua polisi dari TKP (tempat kejadian perkara). Ternyata, keesokan harinya diketahui bahwa sosok malang itu adalah seekor anak domba.

Di lain waktu, setelah empat tahun menjadi wartawan, Matdon memberitakan sebuah peristiwa tabrakan antara mobil dan sepeda motor. Ia yakin ada dua orang tewas dalam kecelakaan tersebut. Berita itu menjadi sajian utama di halaman pertama koran keesokan harinya, dan baru belakangan diketahui bahwa salah satu korban baru meninggal pukul lima subuh. Padahal, Matdon sudah tuntas menulis berita pada jam 8 malam!  

“Berarti saya mendahului takdir. Berkali-kali saya mengucap istigfar dan ucapan alhamdulillah,” kata Matdon.

Bukan melulu dunia wartawan, Matdon juga membagikan perca-perca kehidupannya sebagai seniman. Ia, misalnya, sedikit bercerita tentang pembentukan Majelis Sastra Bandung pada 25 Januari 2009. Di komunitas yang diperuntukkan bagi para penyair muda ini, ia menjabat Rois Am sampai hari ini, tanpa ada yang berani mengkudeta.

Kelindan antara dunia kewartawanan dan kesenimanan inilah yang mewarnai buku Kisah-kisah tak Penting. Bukan perkara mudah tentu saja, karena wartawan berurusan dengan fakta, sementara seniman banyak bermain di ruang imajinasi.

Cerita berjudul “Dari Wartawan Republika sampai Matdon Band” membuktikan bagaimana peran ganda ini sering membuat orang kebingungan melihat sosok Matdon. Dalam perayaan Laskar Panggung Bandung, selain penyair, ia disebut sebagai wartawan Republika. Di STSO, ia jadi wartawan Pikiran Rakyat. Di Unpas, Matdon dikenalkan sebagai wartawan The Jakarta Post. Di Universitas Adityawarwan lain lagi. Ia wartawan Sinar Harapan.

Baca Juga: BUKU BANDUNG (13): C. P. Wolff Schoemaker sebagai Arsitek dan Seniman, serta Keterlibatannya dalam Partai Sempalan
BUKU BANDUNG (12): Kibaran Merah Putih di Gedung DENIS
BUKU BANDUNG (11): Proklamasi, Sebulan kemudian di Bandung Anarki

Yang (tidak) Penting

Dalam Kisah-kisah tak Penting, Matdon banyak membagikan cerita yang menyangkut rekan-rekan wartawan dan senimannya. Kebanyakan tentu mereka yang ‘bermarkas’ bersama di Polrestabes. Lebih khusus lagi, Abah Opik. Oleh Matdon, banyak kisah dan aibnya ditampilkan. Abah Opik, yang dikisahkan gemar sekali mabuk, bisa seketika meninggalkan kebiasaan itu setelah dijanjikan naik haji oleh salah seorang pejabat polisi.  

Ada juga cerita-cerita tak biasa lain yang menyangkut nama wartawan-wartawan senior di Bandung. Ada pengggal kisah tentang wartawan yang salah ‘jajan’, wartawan dijadikan tukang ojek dalam reka kejadian kasus terorisme, wartawan yang selalu diganggu dalam pengiriman berita lewat email, juga wartawan yang gelagapan sendiri akibat tindakan isengnya ditanggapi serius.

Kisah-kisah yang menyangkut wartawan lain ini mungkin “tak penting” bagi Matdon. Tapi boleh jadi amat genting bagi pelakunya.

“Barangsiapa yang sudah menitipkan rahasianya kepada Matdon, sejak buku ini terbit dan tersebar luas ke mana-mana, maka sudah dapat dipastikan hatinya was-was,” demikian kata sastrawan Bode Riswandi dalam pengantar buku.

Lalu, bagi mereka yang nama-namanya tidak disebutkan, apa pentingnya buku yang oleh penulisnya sendiri disebut “tak penting” ini?

Sekonyol apa pun cerita-cerita dalam buku ini, mereka merupakan rekaman zaman. Wartawan generasi sekarang bisa menengok, meski hanya lewat kilatan-kilatan peristiwa, bagaimana nikmatnya ‘hidup’ sebagai wartawan old-school. Mereka yang terbiasa murung oleh tuntutan menulis 5-7 berita per hari, atau mengunggah 20-25 tulisan per hari, bakal dibuat iri oleh betapa ‘santai’ dan ‘enteng’-nya hidup wartawan-wartawan zaman baheula.

Bagi mereka yang serius, buku ini menyediakan bahan-bahan kajian, yang meski enteng dan ringan, bisa juga jadi pintu masuk. Misalnya, kajian tentang hubungan antara wartawan dan para narasumbernya.

Dalam Kisah-kisah tak Penting, kita menyaksikan bagaimana Matdon membeberkan kedekatan antara wartawan dan polisi. Mulai dari seenaknya melahap dua mangko mi bakso milik tamu hingga pemberian hadiah naik haji, meski di lain cerita kita mendapati kisah tentang polisi lalu lintas yang keukeuh memberikan surat tilang kepada wartawan.

Selebihnya, anggaplah buku ini sebagai hiburan karena sepertinya itulah juga yang dikehendaki oleh sang penulisnya. Karena jadi hiburan, yang barangkali sangat bermanfaat di tengah segala kemurungan akibat pandemi, kisah-kisahnya tak harus penting.

Informasi Buku

Judul: Kisah-kisah tak Penting

Penulis: Matdon

Penerbit: Tasikmalaya, Langgam Pustaka

Cetakan: I, 2021 

Editor: Redaksi

COMMENTS

//