BUKU BANDUNG (11): Proklamasi, Sebulan kemudian di Bandung Anarki
Setelah Proklamasi, revolusi baru akan dimulai. Kedatangan pasukan Inggris ke Bandung memicu ledakan revolusi yang disumbui anarki pemuda revolusioner.
Penulis Iman Herdiana15 Agustus 2021
BandungBergerak.id - Berita Proklamasi yang dilakukan Sukarno dan Hatta tiba di kantor kantor berita Jepang, Domei di Bandung, lewat radio pada 17 Agustus 1945 siang. Selanjutnya, berita merambat ke seluruh kota, sejam kemudian dibantah Jepang.
Surat kabar Bandung, Tjahaja, tidak mungkin mempublikasikan berita Proklamasi itu karena masih dalam pengawasan ketat tentara Jepang. Para editornya enggan mengambil risiko memberitakan peristiwa besar itu.
Perlu diketahui, walau Jepang sudah menyerah kepada Sekutu yang dipimpin Inggris, secara praktis kekuatan mereka masih mencengkeram Bandung. Di Hindia Belanda, khususnya pulau Jawa, Jepang masih memiliki personel dan senjata lengkap.
John R.W. Smail dalam buku Bandung Awal Revolusi 1945-1946 (2011), menganalisa terjadinya revolusi di Hindia Belanda yang menjadi negara merdeka Indonesia. Smail tidak memotret revolusi secara nasional, melainkan lebih tajam menelaah perubahan radikal tersebut di Bandung.
Begitu mendapat kabar Sukarno dan Hatta telah memproklamirkan Indonesia sebagai negara merdeka, lanjut John R.W. Smail, para jurnalis Tjahaja kemudian memilih mencetak pamflet dan menyebarkannya kepada warga Bandung. Hari itu juga berita Proklamasi menyebar sangat cepat.
“Orang pulang kerja di sore hari, telah mendengar berita proklamasi di kantornya atau melihat pamflet dalam perjalanan pulang, sesampainya di rumah menemukan bahwa istri dan tetangga mereka telah terlebih dulu mengetahui berita itu. Ketika malam tiba, hampir semua orang di Bandung telah mendengar berita itu, dan dalam waktu satu atau dua hari berita itu telah menjangkau seluruh kawasan Bandung kecuali desa-desa yang paling terpencil di luar kota,” ungkap Smail.
Berita Proklamasi memang menyebar cepat. Tapi menurut Smail makna Proklamasi sendiri hanya dipahami kalangan elit atau tokoh-tokoh pergerakan dan revolusioner, itu pun tidak semuanya. Berita Proklamasi, bahwa Indonesia telah merdeka, malah terasa asing di telinga kebanyakan orang.
“Kesan yang ada adalah signifikansi proklamasi dapat langsung dimengerti begitu didengar oleh penduduk. Namun, terdapat alasan bagus mengapa hal ini dapat diragukan,” lanjut Smail.
Penyebab utama berita Proklamasi tidak berdampak signifikan karena tak dibarengi dengan informasi penyerahan Jepang terhadap Sekutu. Pada 17 Agustus 1945 kebanyakan orang belum mendengar rumor mengenai menyerahnya Jepang, apalagi memperoleh kepastian mengenai kebenaran hal itu.
“Tanpa informasi penting itu, orang biasa tidak dapat menilai makna signifikan dari Proklamasi,” kata Smail, menyimpulkan.
John R.W. Smail lantas menghimpun sejumlah narasumber yang mengatakan tentang makna Proklamasi. Salah satunya, seorang tukang cukup mengatakan bahwa ia mendengar mengenai kemerdekaan dari tetangganya. Pada awalnya, ia tidak mengeri apa yang dimaksud dengan kemerdekaan dan baru memahaminya ketika beberapa orang mengatakan bahwa sekarang Indonesia tidak lagi dikuasi oleh Jepang, karena Jepang telah menyerah kepada Sekutu.
Narasumber lainnya, seorang anak perempuan dari seorang buruh juga mendengar berita dari tetangganya.ia berkata bahwa ia tentu saja merasa senang namun baru merasa seperti itu satu hari setelah mendengar bajwa kemerdekaan berarti Indonesia tidak lagi dikuasai oleh Jepang.
Keterlambatan informasi tentang menyerahnya Jepang tak hanya terjadi di Bandung, melainkan di seluruh pelosok Hindia Belanda. Hal ini juga tak lepas dari propaganda yang genjar dilakukan Jepang.
Seorang pemuda terpelajar yang mengajar di sebuah sekolah di Solo, ungkap Smail, memberitahu saya bahwa berita menyerahnya Jepang sampai kepadanya lewat jaringan bawah tanah dan ia tahu bahwa proklamasi akan segera disiarkan.
Guru muda tersebut kemudian mendatangi kepala sekolah untuk menunjukkan teks proklamasi dan meyakinkannya bahwa kemerdekaan yang baru didapat adalah kemerdekaan yang direncanakan oleh Jepang.
“Namun sang kepala sekolah kemudian memanggil seluruh staf dan murid, dan setelah membacakan teks proklamasi kemudian memimpin semua yang hadir untuk melakukan penghormatan ala Jepang. Si guru muda adalah satu-satunya yang menolak melakukan hal itu,” tutur Smail.
Lima hari berikutnya, Smail menceritakan bahwa masyarakat mulai menangkap gambaran cukup baik menganai apa yang terjadi tentang peristiwa Proklamasi 76 tahun lalu itu, walaupun maknanya tetap masih belum signifikan.
Berita menyebar di dalam dan sekitar Bandung lewat Tjahaja. Edisi 17 Agustus terbit setelah berita proklamasi telah banyak diketahui. Tjahaja sendiri adalah koran sore. Hadirnya berita yang “terlambat” ini semakin menambah ketidakastian yang ada.
Smail mencatat, sebuat editorial dan dua artikel berita merujuk secara implisit kepada kemerdekaan pemberian Jepang sementara proklamasi tidak disebut sama sekali. Sedangkan dalam edisi 18 Agustus 1945, berita dari Jakarta juga singkat dan sama ambigunya, tapi setidaknya berita ini muncul dengan kepala berita besar. Lalu pada 19 Agustus, muncul berita Undang-undang Dasar.
Semua berita-berita tersebut bagi masyarakat Bandung, kata Smail, masih sama-sama membingungkannya. Barulah pada tanggal 22 Agustus muncul pengumuman resmi mengenai menyerahnya Jepang, yang menegaskan dan menghilangkan keraguan mengenai konteks dari semua hal yang terjadi saat itu. Sehingga konteks dan makna Proklamasi pun menjadi utuh.
“Rezim lama telah runtuh dan era baru sedang dimulai,” tulis Smail.
Kejutan, kebingungan, bahkan ketakutan, pun disampaikan Sukarno lewat pidato 23 Agustus 1945. Smail mengutip pernyataan Bung Besar bahwa, “Saat ketika perubahan datang tiba-tiba seperti langit jatuh dari bumi.”
Smail mengutip seorang penulis Belanda yang tinggal diam-diam di Bandung selama pendudukan Jepang.
“Minggu, 19 Agustus... Proklamasi kemerdekaan “Republik” menghasilkan lebih banyak ketakutan, keterkejutan dan kecemasan daripada rasa gembira dan ansusiasme bagi warga lokal. Seperti para orang Eropa, merek gelisah. Mereka tidak tahu di mana posisi mereka, atau siapa penguasa mereka sekarang yang mereka sebut “pemimpin”, Jepang atau Belanda,” tulis penulis Belanda tersebut.
Kesaksian tersebut memang datang dari penulis Belanda yang menurut Smail bias. Maka a pun mengutip pernyataan salah seorang pemuda revolusioner:
“Seorang warga kelas bawah yang merupakan bagian dari gerakan revolusioner militan memulai dengan memberi gambaran atmosfer yang dirasakan tepat setelah menyerahnya Jepang. Orang-orang merasa gembira, namun juga bimbang. Mereka bimbang karena mereka tahu Indonesia telah meredeka tapi mereka belum tahu apakah arti kemerdekaan itu. Hal ini bisa dianalogikan seperti bangun pagi saat masih mengantuk, melihat ke sekeliling, dan mencoba mengumpulkan kesadaran, atau seperti mimpi,” kata pemuda tersebut, sebagaimana dikutip Smail.
Baca Juga: BUKU BANDUNG (10): Ketika Wabah Mengubah Budaya Masyarakat Priangan
MEMORABILIA BUKU (4): Bekerja Sama dengan Grasindo Bermodal Status ‘Mahasiswa’
BUKU BANDUNG (9): Seorang Petapa dan 10 Malamnya di Kota Bandung
BUKU BANDUNG (8): Kesaksian Otentik nan Sentimental 22 Jurnalis Pikiran Rakyat
MEMORABILIA BUKU (2): Menyaksikan Akhir Perjalanan Penerbit Pustaka
Penantian, lalu Anarki
Buku yang ditulis John R.W. Smail adalah tentang revolusi suatu bangsa, yaitu Indonesia, tepatnya revolusi dalam bingkai “kecil” di Bandung, antara 1945-1946. Smail membedah kedalaman dari fase proklamasi dan kemerdekaan sebuah bangsa yang lama dijajah Belanda, kemudian beralih ke cengkeraman Jepang.
Lewat buku Bandung Awal Revolusi 1945-1946, Smail berusaha membedah peristiwa besar secara objektif dan kritis, tanpa terjebak pada heroisme subjektif yang mungkin saja terjadi pada buku sejarah yang ditulis penulis lokal. Smail menegaskan gambaran bahwa setelah Proklamasi, peristiwa besar belumlah selesai. Ketika bangsa yang berjuang dan berhasil mencapai kemerdekaannya, maka kemerdekaan yang diraih itu berarti selesai.
Babak baru justru segera terjadi dengan segala kemungkinannya. Faktanya, pasca-proklamasi rezim lama memang telah tumbang, yaitu Jepang. Sedangkan penguasa baru, yaitu Republik, bisa dibilang masih berupa konsep. Banyak tatanan yang harus direbut dan dibentuk. Bahkan saat Proklamasi, Indonesia belum punya tentara! Tentara resmi Indonesia justru terbentuk belakangan setelah muncul gerakan rakyat terutama para pemuda revolusioner di mana-mana.
“Terdapat dua elemen penting dalam sebuah revolusi sejati: perubahan fundamental pada struktur politik masyarakat yang disebabkan oleh munculnya kekuatan yang muncul dari dalam masyarakat itu sendiri dan suatu bentuk anarki yang memfasilitasi dan mewarnai perubahan itu,” kata Smail.
Smail menulis, pasca-Proklamasi hingga akhir September 2021, Bandung berada dalam penantian sebelum sebuah ledakan revolusi terjadi. Pada masa itu, ketika muncul informasi utuh bahwa Jepang sudah bertekuk lutut tanpa syarat kepada Sekutu, dan kemerdekaan RI bukanlah hasil pemberian Jepang, maka rakyat mulai bergerak.
Partisipasi rakyat dalam gerakan revolusioner ini pertama-tama pemasangan atribut-atribut merah putih. Selanjutnya mulai terjadi pendudukan-pendudukan pada institusi-institusi pemerintah yang didiuduki Jepang. Institusi pemerintah selalu menjadi sasaran revolusi.
Puncaknya, Smail menulis, pada 29 September 1945 kedatangan pasukan Inggris menjadi salah satu pemicu menandai berakhirnya fase pertama revolusi, yaitu penantian. Selama hampir sepanjang Agustus – September, kecuali minggu terakhir, inisiatif bertindak ada pada pemimpin Republik di Jakarta dan elemen lainnya yang berkaitan di tempat lain di Jawa. Di akhir September, dengan cepat inisiatif lepas dari tangan mereka.
“Dari luar muncul Inggris, wakil dari Sekutu yang memenangi perang dan pemlik kekuatan milliter yang jauh lebih besar daripada apayang dimiliki pemerintah Indonsia,” ungkap Smail.
Di bawah, catat Smail, muncul semangat revolusi yang tiba-tiba berkembang, menjalar dan tidak kasar mata namun paling jelas nampak pada kaum pemuda. “Kekuatan semangat revolusi ini tidak dapat diukur tapi tetap memiliki kekuatan yang sama besarnya dengan Inggris,” tulis Smail.
Periode selanjutnya pasca-September, Smail melukiskan anarki yang terjadi di Bandung di mana gerakan rakyat, para pemuda revolusioner, mengalami bentrokan dengan tentara Jepang, pelucutan senjata, pertempuran-pertempuran sporadis dan tidak seimbang, penjarahan, pembunuhan, dan penculikan-penculikan.
Periode ini disebut anarki karena, di satu sisi penguasa Republik menahan diri untuk tidak memicu anarki lebih luas dan mereka memilih jalur diplomasi. Di sisi lain, kedatangan Inggris juga tak mampu meredam gerakan rakyat. Pada masa ini, gerakan dari bawah bergerak tanpa sanggup dikontrol oleh para penguasa.
Penculikan tokoh-tokoh Paguyuban Pasundan, salah satunya Oto Iskandar Dinata, ada di periode ini. Pembentukan tentara juga terjadi dalam periode yang sama.
Smail memotret anarki di Bandung ada kalanya gerakan dipukul mundur oleh tentara Jepang, mereka juga dijegal tentara Inggris yang membawa psaukan Gurkha, serta NICA. Pada periode ini pula Bandung dibagi dua, utara dan selatan atas ultimatum Inggris.
Pembagian wilayah dengan batas rel kereta api muncul karena terus menjalarnya gerakan revolusioner para pemuda yang tak sanggup dibendung Inggris. Bagian utara menjadi daerah dikuasai Inggris sebagai tempat tinggal warga-warga Eropa. Sedangkan di selatan menjadi pusat kekuatan para pemuda yang siap perang, walau dengan senjata hasil rampasan dan seadanya.
Informasi tentang Buku:
Penulis: John R.W. Smail
Judul: Bandung Awal Revolusi 1945-1946 (2011)
Penerbit: Ka Bandung (Mei 2011)