• Buku
  • BUKU BANDUNG (10): Ketika Wabah Mengubah Budaya Masyarakat Priangan

BUKU BANDUNG (10): Ketika Wabah Mengubah Budaya Masyarakat Priangan

Wabah sampar di Priangan bukan hanya merenggut ribuan nyawa, tapi juga mengubah budaya masyarakat. Terutama terkait perombakan tradisi membangun rumah.

Sampul buku Jaman Woneng: Wabah Sampar di Priangan 1925-1937 (2020) karya Atep Kurnia. Terbit di tahun pagebluk Covid-19, buku yang berkisah tentang wabah sampar di Tanah Priangan hampir seabad silam ini bisa jadi cermin untuk berkaca. (Foto repro: Bani Hakiki)

Penulis Bani Hakiki8 Agustus 2021


BandungBergerak.id - Corona Virus Disease 2019 atau Covid-19 jelas bukan wabah penyakit pertama yang melanda tanah Sunda. Menulusuri sejumlah catatan sejarah, seperti buku dan makalah penelitian, kita tahu bahwa wilayah Jawa Barat, sejak era colonial Belanda, berulang kali digempur wabah, mulai dari cacar, kolera, hingga pes atau sampar.

Saat ini tidak banyak buku modern berbahasa lugas dan mudah dipahami yang menuliskan secara khusus sejarah tentang satu kasus pagebluk di Jawa Barat secara terperinci, menyebabkan rantai riwayatnya bagi generasi sekarang seakan terputus. Maka dari itu, rasanya tepat ketika buku berjudul Jaman Woneng: Wabah Sampar di Priangan, 1925-1937 (2020) karya Atep Kurnia terbit di tengah pagebluk yang sedang berlangsung.

Jaman Woneng bukan buku penelitian kesehatan atau pun analisis mendalam mengenai sampar. Isinya, serial tulisan sang penulis yang getol menggali setumpuk literatur tentang kronologi dan perkembangan wabah sampar yang dulu pernah menyerang Indonesia, terutama di Pulau Jawa dan wilayah Priangan.

Woneng merupakan istilah bahasa Sunda yang diambil dari kata bahasa Belanda, woningverbetering yang artinya perbaikan rumah. Priangan atau Preanger diambil dari kata Parahyangan yang bermakna tempat bersemayamnya para dewa (Ayatrohaedi, 1969). Secara geografis, letaknya berada di sepanjang Jawa Barat bagian selatan meliputi Ciamis, Pangandaran, Tasikmalaya, Garut, Sumedang, Cimahi, Bandung, Cianjur, Sukabumi, dan Bogor.

Namun, Priangan yang dimaksud oleh Atep dalam buku ini merujuk pada pengertian F. De Haan (1910-1912) yang meliputi seluruh wilayah Kerajaan Mataram yang kemudian diserahkan kepada VOC pada 1677 dan 1705. Artinya, wilayah adminisitratif Jawa Barat dan DKI Jakarta saat ini, kecuali Banten dan Cirebon.

Wabah sampar menyebar secara sporadis melalui kutu hewan, terutama tikus. Virusnya mengandung bakteri yersinia pestis mematikan yang menyerang jaringan pernafasan dan darah. Kala wabah itu menghantui Priangan, masyarakat diwajibkan mengganti bahan bangunan rumah yang mayoritas terbuat dari bambu agar tikus-tikus tidak mudah lagi menyelinap dan bersarang.

Bisa dibilang justru perubahan bangunan di permukiman warga itulah yang jadi pokok pikiran utama yang hendak disampaikan Atep dalam buku Jaman Woneng. Seperti yang tergambar dalam sampul depannya, berjajar rumah warga yang masih terbuat dari bahan bambu. Sayang sekali, kualitas gambar sampul depan buku yang mengisahkan dahsyatnya pagebluk pada zaman itu hampir tidak menarik seperti buku LKS sekolah. Bahkan, sekilas seperti gagal cetak.

Atep Kunia dikenal sebagai sejarawan Sunda, ensiklopedia berjalan yang tak perlu kita pertanyakan lagi kredibilitasnya. Melalui gaya tutur berkisah layaknya buku dongeng, Jaman Woneng menyodorkan dimensi berlapis bagi pembacanya dalam menyelami masa lalu. Seolah-olah kita sedang berada dalam situasi yang dipaparkannya melalui setiap bait kalimat dan paragraf, tapi sekaligus terasa kita sedang berkuliah atau melakukan penelitian sejarah.

Cikal Bakal Wabah Sampar di Pulau Jawa

Menjelang abad ke-20, tepatnya pada 1880-1890, Pulau Jawa mengalami guncangan besar lantaran sektor perkebunan terserang hama. Kualitas produksi gula dan kopi yang menjadi andalan di wilayah itu pun munikik drastis dan harganya anjlok di pasaran. Permasalahan ini barang tentu berimbas ke stabilitas perekonomian.

Disusul, sektor pertanian Keresidenan Surakarta mengalami gagal panen akibat hama mentek antara Oktober-November 1910. Masyarakat mulai meronta karena kebutuhan beras tak tergantikan posisinya sebagai salah satu makanan pokok di Jawa.

Demi menanggulangi permasalahan tersebut, pemerintah Hindia Belanda melakukan impor beras dari Tiongkok, India, Thailand, Singapura, dan dari Rangoon. Pada 3 November 1910, pasokan beras yang didatangkan dari Rangoon tiba di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya kemudian didistribusikan ke sejumlah daerah yang mengalami gagal panen melalui jalur kereta. Di sinilah awal mula mewabahnya sampar di Jawa.

Kasus positif pertama sampar muncul di Kota Malang pada 30 Maret 1911. Berawal dari jalur distribusi beras menuju Malang dan Wlingi yang sempat terputus akibat banjir. Disinyalir, ada tikus-tikus di dalam pasokan beras tersebut yang telah terinfeksi sampar dari Rangoon.

Diketahui, wabah sampah memang sedang menyeruak di berbagai belahan dunia kala itu. Di antaranya terjadi di Tiongkok, Manchuria, Jepang, Rusia, Belgian, dan di sejumlah negara lainnya.

Baca Juga: BUKU BANDUNG (9): Seorang Petapa dan 10 Malamnya di Kota Bandung
BUKU BANDUNG (8): Kesaksian Otentik nan Sentimental 22 Jurnalis Pikiran Rakyat
BUKU BANDUNG (7): Seorang Kapiten Tionghoa Bandung dan Surat-surat Bisnisnya

Riwayat Sampar di Tanah Priangan

Ancaman wabah sampar yang semakin mendekat ke Jawa Barat cukup telat disadari oleh masyarakat setempat. Padahal, seorang peneliti bernama L. Roeflsema menyatakan bahwa virus infeksius tersebut telah merenggut sebanyak 55 jiwa dalam kurun waktu 6-12 September 1925 di Kuningan. Sayangnya, data itu tidak digubris oleh pemerintah setempat dan belum ada penanganan apa pun.

Kesadaran pertama justru datang dari redaksi Sipatahoenan (1925) yang dengan cepat menyebarkan kabar tersebut melalui koran. Dalam berita yang diterbitkan pada 17 November 1925 itu tertulis, “Dina saminggu teu kurang ti 150 nu maot ku pest” yang maksudnya tidak kurang dari 150 kasus kematian akibat pes atau sampar di sekitaran wilayah Cirebon. Sementara, kasus pertama di tanah Priangan baru ditemukan pada pengujung tahun di Ciawi, Tasikmalaya.

Kasus-kasus penularan sampar terus berlanjut di kemudian harian hingga ke sejumlah pedalaman di Jawa Barat. Menyusul juga di kota-kota besar seperti di Ciamis pada 1926, Kota Bandung dan Sumedang pada 1929, dan Garut pada 1930. Lonjakan kasus sampar di Priangan (1932-1935) ini disebut juga sebagai gelombang ketiga, setelah sebelumnya wabah sampar merambat pesat di wilayah Jawa Timur (1910-1914) dan Jawa Tengah (1920-1927). Puncaknya terjadi pada 1933 hingga 1935.

Penanganan wabah dilakukan lewat penyuntikan vaksin dan suntik mayat (pengambilan darah jasad penyintas) yang menimbulkan gejolak penolakan dari sebagian besar masyarakat. Sejumlah kelompok muslim mempertanyakan kelayakan dan status halal dari vaksin yang digunakan. Penolakan vaksinasi terbesar selama pagebluk sampar menyergap Priangan terjadi di Sumedang pada 20 Mei 1937.

Jenis vaksin pertama yang digunakan untuk menangani wabah adalah vaksin Haffkine yang belum efektif dalam mengatasi tingginya angka penularan. Pada tahun 1934, muncullah jenis vaksin Otten yang berhasil menekan angka penularan sebesar 20 persen.

Sementara itu, di tengah pagebluk yang tak kunjung usai itu, Jawa Barat diserang wabah lainnya. Atep Kurnia menulis sebuah pepatah “sudah jatuh tertimpa tangga”. Pada sekitar tahun 1930, tanah Priangan diterjang wabah malaria yang belum Atep temukan secara spesifik kapan wabah itu mereda.

Kembali ke wabah sampar, ada pula sebuah penanganan lain yang dilakukan pihak pemerintah kolonial Belanda, yakni perbaikan rumah warga. Kebijakan itu berupa kewajiban masyarakat untuk mengganti bangunan bambu dengan bahan bangunan yang lebih padat seperti tembok yang terbuat dari semen dan beton. Gunanya menghindari tikus yang berpotensi besar bersarang di sejumlah permukiman warga seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.

Jumlah rumah yang diperbaiki di Jawa Barat antara tahun 1911-1935 ada sebanyak 85.404 unit. Tahun-tahun inilah yang dimaksud sebagai Jaman Woneng seperti judul buku ini. Hal ini menunjukkan bagaimana pagebluk berkepanjangan itu telah mengubah tatanan suatu budaya. Kekhasan rumah bambu di Priangan pun perlahan hilang hingga hari ini, digantikan rumah-rumah modern yang berdiri kokoh tapi tidak ramah lingkungan.

Menurut data dari sejumlah berita dalam media cetak yang dikumpulkan Atep, tercatat sebanyak 215.020 kasus kematian di Jawa Barat pada rentang waktu 1925 hingga 1937. Wabah sampar pun berangsur surut dan Priangan kembali normal secara perlahan sejak tahun 1939. Namun, virus tersebut telah bermutasi jadi penyakit endemik yang infeksinya masih mungkin terjadi di tengah populasi modern saat ini.

Melihat rangkuman singkat mengenai riwayat pagebluk dan penanggulangannya, ada beberapa kesamaan yang masih bisa kita lihat hari ini dalam kasus Covid-19. Misalnya, keterlambatan pemerintah dalam menangani lonjakan kasus. Padahal, saat ini kita memiliki akses informasi yang jauh lebih melimpah dibandingkan di masa lalu.

Dengan demikian, diakui dan disadari atau tidak, kita masih mengalami kesenjangan informasi di tengah masyarakat. Benarkah itu terjadi? Silakan direnungkan masing-masing.

Tokoh-tokoh Penting

Atep Kurnia tidak dalam Jaman Woneng lupa menyelipkan beberapa bab khusus yang membahas tentang tokoh-tokoh penting yang berjasa selama pagebluk sampar. Beberapa nama di antaranya barangkali sudah tak asing lagi bagi kita. Bahkan ada pula yang namanya awet dijadikan nama jalan.

Pada bab kelima, ada nama dr. Raden Djundjunan Setiakusumah (1888-1986). Tokoh ini juga dikenal sebagai pendiri Paguyuban Pasundan sekaligus ketua cabang Bandung. Dalam buku ini, ia diceritakan ikut serta membantu dalam upaya penanganan wabah virus menular, termasuk cacar, malaria, dan sampar antara 1918-1930.

Ada pula nama dr. Mas Slamet Atmosoediro (1891-1930) yang prestasinya cemerlang tapi nasibnya tak seberuntung namanya. Pada 1927, ia ditugaskan untuk memberantas wabah sampar dan menjadi kepala rumah sakit di Garut.

Pada awal Mei 1930, Dokter Slamet menangani seorang anak yang merupakan penyintas sampar tapi anak itu tak lagi tertolong. Ia pun mencoba untuk semakin memerhatikan gerak virus tersebut, namun ia meninggal oleh sampar, setelah tertular dari sejumah pasiennya. Begitulah ia disebut sebagai seorang martir.

Selanjutnya, Louis “Lou” Otten (1883-1946) atau dikenal dengan sebutan Dokter Otten. Ia adalah seorang penyelidik wabah sampar di Pulau Jawa antara tahun 1911-1935 yang juga dikenal sebagai pemain tim sepak bola nasional Belanda. Namanya mungkin dikenal sebagai orang paling berjasa dalam sejarah pagebluk sampar karena dialah pencipta jenis vaksin yang berhasil mengerem penyebaran virus tersebut.

Setelah membaca Jaman Woneng, barangkali pembaca bisa merenung sambil mengantungi pelajaran dari apa yang pernah dilalui para pendahulu dalam menangani pagebluk. Secara singkat, buku ini menceritakan bagaimana transisi perubahan sebuah tatanan budaya di tengah kekacauan, mulai dari strategi penanganan wabah sampai konflik sosial yang terjadi.

Informasi Buku

Judul : Jaman Woneng: Wabah Sampar di Priangan 1925-1937

Penulis : Atep Kurnia

Penerbit : Layung bekerja sama dengan Ayobandung.com

Cetakan : Pertama, 2020

Tebal : 166 halaman

ISBN : 978-623-92997-3-6 

Editor: Redaksi

COMMENTS

//