BUKU BANDUNG (8): Kesaksian Otentik nan Sentimental 22 Jurnalis Pikiran Rakyat
Pikiran Rakyat, koran legendaris di Bandung, mengalami guncangan hebat akibat disrupsi digital yang disusul pandemi. Dalam buku ini, 22 jurnalisnya bersaksi.
Penulis Sarah Ashilah25 Juli 2021
BandungBergerak.id - Koran PR, begitu surat kabar Harian Umum Pikiran Rakyat akrab diucapkan. Warga Jawa Barat, khususnya orang Bandung, tentu tidak asing dengan koran legendaris ini.
Sebagai bagian dari generasi transisi, saya ingat betul masa-masa di mana koneksi internet belum semudah seperti saat ini. Konten hiburan yang tersedia bagi kami terbatas pada apa yang disajikan media konvensional.
Setiap hari Minggu, sesudah menonton acara kartun favorit di salah satu stasiun televisi swasta, biasanya saya akan melangkah ke ruang tamu dan membagi lembar-lembar koran PR menjadi beberapa bagian untuk menemukan rubrik PerCil (Peer Kecil). Samar-samar, bayangan kekonyolan komik “Tak dan Dut” pun berputar lagi dalam ingatan saya saat ini.
Semakin usia saya bertambah, bukan hanya rubrik PerCil yang dibaca. Tapi juga sebagian besar isi dari koran PR. Ya, bisa dibilang saya tumbuh bersama koran ini karena keluarga saya rutin membelinya setiap pagi.
Kalau koran PR bisa demikian berkesan bagi para pembacanya seperti saya, bagaimana kisah para jurnalis di baliknya? Mungkin pertanyaan ini tidak akan pernah terungkap jika saya tidak membaca kisah-kisah yang termuat di dalam buku berjudul Di Sini Cerita Kami Titipkan: Kesaksian Jurnalis Pikiran Rakyat dari Tengah Disrupsi (2020).
Di bagian blurb sampul belakang, tertulis “Buku ini digagas dan dituntaskan pengerjaannya ketika semua tampak suram”, Dari satu kalimat itu, seketika terbayang rintangan apa saja yang dihadapi oleh para awak media dari koran yang lahir di tahun 1966 ini. Gempuran digitalisasi memberi tekanan hebat pada para pelaku media tradisional. Orang-orang tidak lagi membeli koran setiap pagi. Mereka lebih memilih kanal berita yang bisa diakses dengan cepat dari gawai pintar ketimbang harus merentangkan lengan ketika membaca kertas koran yang lebar.
Perubahan memang selalu bisa dilakukan, namun proses bertransformasi bukanlah sesuatu yang mudah dan bisa terjadi dalam satu malam. Perusahaan media perlu menyesuaikan cara kerja mereka dari berbagai segi.
Belum lagi permasalahan itu tuntas, pandemi Covid-19 pun datang, ikut ambil bagian menggempur koran PR. Kondisi seperti ini tentu sangat berpengaruh ke para jurnalisnya. Pemotongan gaji atau penyusutan jumlah karyawan seringkali dianggap sebagai cara yang efektif untuk menyelamatkan perusahaan.
Penghasilan yang sudah tidak lagi menentu memunculkan dilema tersendiri dalam benak awak media koran PR. Para jurnalis-penulis, dalam setiap keterbatasan yang mencekik, tetap bertanggung jawab dalam menyajikan berita yang bermutu.
Buku Di Sini Cerita Kami Titipkan: Kesaksian Jurnalis Pikiran Rakyat dari Tengah Disrupsi berisi kesakisan 22 wartawan Pikiran Rakyat lintasgenerasi. Kisah-kisah yang disajikan secara apik merekam liku perjalanan perusahaan media lokal Bandung selama 15 tahun terakhir.
Kopi Mang Engkos dan Koran-koran PR yang Hilang
Ada beberapa cerita yang menarik perhatian saya. Yang pertama, cerita keakraban seorang jurnalis dengan salah seorang pesuruh kantor (office boy/OB) di kantor PR yang akrab disapa Mang Engkos. Cecep Wijayasari, sang jurnalis, mengenang perbincangan-perbincangan hangatnya bersama si pesuruh kantor.
Setiap kali penat oleh pekerjaan, Cecep akan meminta Mang Engkos membuatkannya secangkir kopi panas. Menurutnya, racikan kopi Mang Engkos mengalahkan rasa kopi barista-barista di kafe. Ia ingat betul rumus peracikannya, yakni 1:3. Satu satu sendok kopi dan tiga sendok gula.
Di tengah nikmat secangkir kopi itulah, Cecep menyempatkan diri untuk berbincang-bincang dengan Mang Engkos. Mulai dari menanyakan kabar teman-temannya, keluarganya, hingga pekerjaannya sebagai pesuruh yang sudah dilakoni selama bertahun-tahun. Meski penghasilannya pas-pasan, Mang Engkos merasa bersyukur karena bisa menghidupi keluarganya, menabung, dan memberi uang ke sanak saudaranya.
Pernyataan itu membuat Cecep terhenyak. Baru kali ini ia mendengar seseorang dengan penghasilan pas-pasan berbicara selapang itu. Biasanya ia hanya akan mendengar keluhan. Ia pun bertanya-tanya bagaimana cara Mang Engkos mengatur kondisi keuangannya.
“Nya, mun teu butuh mah tong dibeuli, mun butuh karek dibeuli, Terus tong ningali ka luhur wae. Hirup mah, kudu ningali ka handap,” kata Mang Engkos dalam bahasa Sunda.
Artinya kurang lebih: “Kalau tidak butuh gak usah dibeli. Hanya beli yang butuh saja. Hidup itu tidak boleh melihat ke atas terus, dan harus melihat ke bawah.”
Kalimat Mang Engkos yang sederhana namun sarat makna itu membuat Cecep selalu terkenang akan sosoknya. Kedekatan keduanya menggambarkan betapa harmonisnya hubungan yang bisa tercipta di antara rekan kerja yang berbeda tugas dan jabatan. Juga menggambarkan bagaimana seorang jurnalis harus dapat akrab dengan siapa saja tanpa memandang latar belakang orang.
Kisah yang tak kalah menarik diceritakan Tommi Andryandy, seorang jurnalis PR yang sedang bertugas di Kabupaten Cirebon. Suatu ketika ia mendapati koran-koran PR lenyap dari peredaran. Ada pihak yang sengaja memborong koran di hampir semua loper agar tidak dibaca orang. Bahkan katanya, bukan hanya koran PR saja paling dicari pada hari itu, tapi juga wartawannya yang tak lain adalah Tommi sendiri.
Kejadian ini ada hubungannya dengan dugaan korupsi yang melibatkan Wakil Bupati Tasiya Soemadi Algotas, yang sebelumnya menjabat sebagai Ketua DPRD Kabupaten Bekasi. Yang diberitakan Tommi adalah dugaan korupsi dana bantuan fungsional di Dewan Masjid Indonesia (DMI) dan dugaan penyelewengan dana bansos di APBD Kabupaten Cirebon.
Hilangnya koran-koran PR di pasaran ini bukan hanya sekali saja terjadi. Kejadian serupa terulang pada Desember 2015 ketika Tommi Amemberitakan kasus tangkap tangan anggota DPRD beserta seorang camat di Kabupaten Cianjur.
Dari kisah kini, pembaca bisa ikut merasakan perjuangan seorang jurnalis yang mengusut dan memberitakan kasus-kasus korupsi. Tidak jarang, jurnalis-jurnalis yang kebagian pemberitaan korupsi akan dicari-cari antek-antek pejabat yang terlibat. Mengingat tingginya angka kekerasan pada jurnalis di negeri ini, beruntung tidak terjadi apa-apa pada Tommi.
Baca Juga: BUKU BANDUNG (7): Seorang Kapiten Tionghoa Bandung dan Surat-surat Bisnisnya
BUKU BANDUNG (6): Awal Persahabatan Bandung dan Braunschweig
BUKU BANDUNG (5): Kisah Para Produsen Sarapan Bandung Tempo Dulu
Pantai Pangandaran dan Mang Ohle
Cerita seorang jurnalis tidak melulu soal kejadian unik yang terjadi di lapangan atau kepenatan kerja sehari-hari. Ada juga kisah yang membuai bayangan pembaca seperti yang diceritakan Muhammad Irfan tentang penugasannya di Pangandaran.
“Di mana lagi kamu bisa berlari sore di pinggir pantai selepas tenggat? Mengetik dengan cakrawala di depan mata, mencari destinasi wisata tersembunyi kala isu pemerintah sepi, begadang di akhir pekan sambil menyanyi bersama turis dan warga lokal, hingga ketiduran di ayunan hammock sampai pagi tiba,” begitu tulisnya.
Di bagian lain, Irfan juga menuliskan penggalan lirik “Kokomo” dari The Beach Boys yang menurutnya cocok menggambarkan kehidupan pantainya pada kala itu: “Bodies in the sand, tropical drink melting in your hand. We’ll be falling in love to the rhytmn of a steel drum band.”
Jika di abad ke-20 koran Belgia Le Vingtieme Siecle memiliki sosok Tintin dan anjingnya Milo, maka Kota Bandung mempunyai sosok tambun dengan kumis lucu bernama Mang Ohle. Dalam buku Di Sini Cerita Kami Titipkan: Kesaksian Jurnalis Pikiran Rakyat dari Tengah Disrupsi, Yusuf Wijanarko membagikan kenangan tentang sosok Mang Ohle yang tumbuh bersamanya.
Pertemuan pertama Yusuf dengan Mang Ohle terjadi ketika bapaknya mengajak berjalan-jalan menyusuri rel kereta api di Cibangkong, Kota Bandung. Di tengah perjalanan, Bapaknya berpapasan dengan tukang koran keliling dan membeli koran PR. Yusuf kecil yang masih terbata-bata membaca itu pun melihat sosok tambun bersongkok dengan kumis lucu.
Bagi anak kecil seperti Yusuf ketika itu, tentu saja sosok Mang Ohle tak semenarik gambar-gambar kartun di majalah lainnya. Namun siapa sangka, 20 tahun kemudian ia bisa bekerja di ‘kantor’-nya Mang Ohle.
Sungguh sayang, di suatu sore awal tahun 2020, Yusuf Wijanarko harus mendengar kalimat utuh yang menonjok ulu hatinya keluar dari mulut pemilik perusahaan: “Pikiran Rakyat punya maskot, namanya Mang Ohle. Tapi tidak usah digunakan karena kami tidak mau ada yang seperti itu lagi. Tidak sesuai dengan kesan yang mau kami tampilkan.”
Menjadi Referensi
Buku Di Sini Cerita Kami Titipkan: Kesaksian Jurnalis Pikiran Rakyat dari Tengah Disrupsi memberi gambaran jelas tentang banyak hal penting di dunia kewartawanan. Mulai dari dinamika perusahaan media lokal menghadapi disrupsi digital hingga tantangan kerja jurnalis yang tidak ringan dan terkadang berisiko. Semua termuat dalam pengalaman-pengalaman otentik 22 jurnalis PR, lengkap dengan bumbu cerita sentimental di sana-sini.
Buku ini patut menjadi referensi kawan-kawan mahasiswa jurnalistik dan pegiat pers mahasiswa (persma) jika kelak ingin berkarier sebagai kuli tinta. Lewat kisah-kisah yang termuat, kita bisa ikut merasakan asam, manis, pahit, dan asinnya hidup sebagai seorang jurnalis.
Seperti yang diharapkan awak media yang menulis buku ini, saya meyakini jika buku ini bisa melahirkan diskusi-diskusi di antara pembaca. Entah rekan sesama wartawan, petinggi industri media, maupun generasi yang tumbuh bersama Pikiran Rakyat, koran legendaris di Kota Bandung dan Jawa Barat ini.
Informasi Buku
Judul : Di Sini Cerita Kami Titipkan: Kesaksian Jurnalis Pikiran Rakyat dari Tengah Disrupsi
Penulis : Bambang Arifianto, Cecep Wijayasari, Deni Yudiawan, Dewiyatini, Endah Asih Lestari, Hilmi Abdul Halim, Irfan Subhan, Muhammad Ashari, Muhammad Irfan, Novianti Nurulliah, Nuryani, Ririn Nur Febriani, Satira Yudatama, Satrya Graha, Shofira Hanan, Tia Dwitiani Komalasari, Tommi Andryandy, Tri Joko Her Riadi, Wina Setyawatie, Windiyati Retno, Yulistyne Kasumaningrum, Yusuf Wijanarko.
Penerbit : ProPublic.Info, Bandung
Cetakan : I, September 2020
Tebal : 237 hlm
ISBN : 978-623-93907-1-6