• Buku
  • BUKU BANDUNG (6): Awal Persahabatan Bandung dan Braunschweig

BUKU BANDUNG (6): Awal Persahabatan Bandung dan Braunschweig

Ikatan persahabatan antara Bandung dan Braunschweig, Jerman, diresmikan pada 24 Mei 1960. Terinspirasi oleh Semangat Bandung hasil Konferensi Asia Afrika 1955.

Rombongan Braunschweig berfoto bersama di kampus Institut Teknologi Bandung (ITB) dalam kunjungan mereka pada bulan Maret 1993. Kedua kota memiliki perguruan tinggi teknik tertua di negara masing-masing. (Sumber foto: buku Bandung-Braunschweig)

Penulis Tri Joko Her Riadi20 Juni 2021


BandungBergerak.idKerja sama kota kembar (sister city) antara Bandung dan Braunschweig, dua kota yang berjarak lebih dari 11.000 kilometer, diresmikan pada 24 Mei 1960 di museum kota Braunschweig. Yang menandatangani kesepakatan itu adalah Konsul Jenderal Kedutaan Besar Indonesia di Bonn Baisr Isa dan Atase Kebudayaan R. Rochmat Hardjono untuk Bandung serta Wali Kota Martha Fuchs dan Direktur Senior Kota Hans-Gunter Weber.

Lewat buku Bandung-Braunschweig, terbit tahun 1963, kita bisa menemukan sedikit cerita tentang riwayat awal persahabatan kedua kota ini. Inisiatif baik dimulai dengan undangan Lembaga Buku Sekolah Internasional Braunschweig kepada Rochmat Hardjono untuk berdiskusi dengan ahli-ahli sejarah dan kebudayaan Indonesia. Kegiatan penting itu berlangsung pada tanggal 4-5 Februari 1956.

Sebagai lanjutannya, pada 16-18 Mei 1957 digelar konferensi pertama ahli-ahli sejarah Indonesia dan Jerman atas prakarsa Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO). Menyusul kemudian pertemuan di Lembaga Buku Sekolah Internasional Braunschweig pada 24 Juni 1959 yang dihadiri Duta Besar Marjoenani.

Sejak itulah muncul gagasan mengadakan usaha bersama di lapangan kebudayaan. Dewan Kota Braunschweig menerima usulan Marjoenani itu dan memutuskan untuk mengadakan tukar-menukar dalam lapangan kebudayaan dengan Indonesia. Dalam pembicaraan-pembicaraan berikutnya, lahirlah ide mengadakan ikatan persahabatan dengan kota Bandung, yang disebut sebagai “kota persahabatan bangsa-bangsa Asia Afrika”.

Wali Kota Braunschweig Martha Fuchs, pada musim gugur tahun 1959, mengirimkan surat kepada wali kota Bandung. Secara resmi mereka menyatakan bersedia mengadakan suatu ikatan persahabatan kota yang sekarang dikenal sebagai program kota kembar (sister city).

Dalam suratnya, Fuchs secara khusus menyebut bahwa kedua kota sama-sama memiliki perguruan tinggi teknik dan perguruan tinggi pendidikan ternama. Ia juga menyebut ada 30 mahasiswa Indonesia yang sedang mempelajari ilmu teknik dan pedagogik di Braunschweig.

Demikianlah keputusan mengadakan ikatan persahabatan antara Bandung dan Braunschweig disepakati pada 18 Mei 1960, untuk kemudian diresmikan pada 24 Mei 1960.

Saat ini hubungan persahabatan antara Bandung dan Braunschweig sudah memasuki tahun ke-61. Untuk merayakan ikatan yang panjang ini, dibangun sebuah jembatan yang dinamai Jembatan Bandung di Taman Kota Braunschweig, yang peresmiannya dilangsungkan pada 18 Juni 2021 lalu.

Baca Juga: BUKU BANDUNG (5): Kisah Para Produsen Sarapan Bandung Tempo Dulu
BUKU BANDUNG (4): Romantika Anak SMA di Angkot Bandung dalam Komik Bangor
BUKU BANDUNG (3): Membaca Kautamaan Istri, Menimbang Ulang Kepahlawanan Dewi Sartika

Terinspirasi Semangat Bandung

Kenapa Bandung dipilih sebagai kota pertama di Indonesia yang menjalin ikatan persahabatan dengan kota di luar negeri, dalam hal ini Braunschweig? Buku Bandung-Braunschweig tidak memberikan jawaban definitif. Namun dari beberapa informasi yang dimuat, kita bisa membuat penafsiran: semua karena Konferensi Asia Afrika 1955, atau lebih khusus lagi Semangat Bandung.

Konferensi fenomenal yang berlangsung di Bandung itu disebut berulang kali di buku Bandung-Braunschweig. Ketua Usaha Kedutaan Besar Republik Federal Jerman Wolfgang Seeliger dalam sambutannya menyebut persamaan-persamaan yang dimiliki kedua kota. Salah satunya terkait keinginan untuk merdeka.

“Keinginan untuk merdeka serupa dengan yang dinyatakan oleh Semangat Bandung yang sejak konferensi di kota tersebut pada awal tahun 1955 mengikat jiwa bangsa-bangsa Afrika dan Asia,” tulisnya.

Wali Kota Bandung R. Priatnakusumah juga menyebut-nyebut Semangat Bandung yang ia definisikan sebagai “pembakar dan pendorong semangat kemerdekaan dan solidaritas di Asia Afrika”.

Berbalas Kunjungan

Buku Bandung-Braunschweig diterbitkan terbatas setelah kunjungan rombongan dari Braunschweig ke Indonesia, terutama ke Kota Kembang, selama dua pekan pada Maret 1963. Yang mewakili rombongan itu adalah Direktur Senior Kota (Oberstadtdirektor) Hans-Gunter Weber dan bekas Rektor Hans-Herloff Inhoffen.

Selama satu pekan di Bandung, rombongan dari Jerman terkesan atas banyak hal yang mereka lihat dan mereka alami. Mereka menyebutnya sebagai “pengalaman yang tak dapat dilupakan”.

“Kota Bandung memiliki daya penarik yang istimewa karena perpaduan bagian-bagian kota yang modern dengan daerah-daerah pinggir kota yang bersifat khayal dan berstruktur zaman tua. Kota tersebut terletak di padang hijau yang penuh dengan tumbuh-tumbuhan tropis, yang berasal dari pengunungan dan menjulur sampa ke tengah-tengah kota,” demikian laporan yang termuat dalam buku setebal 93 halaman tersebut.

Secara khusus laporan tersebut menyoroti geliat industri di Kota Bandung. Beberapa nama yang disebut adalah pabrik kimia “Bhinneka Kina Farma”, penerbitan dan percetakan negara Ganaco, pabrik optik A. Kasoem, bangunan penjernihan air yang dapat memenuhi kebutuhan 1 juta orang.

Kunjungan pada tahun 1963 ini merupakan kunjungan balasan rombongan dari Bandung ke Braunschweig pada bulan Juni 1961. Yang turut ambil bagian dalam kunjungan ke Jerman itu di antaranya Wali Kota Bandung R. Priatnakusumah, Gubernur Jawa Barat Mashudi, Rektor ITB Otog Kosasih, Inspektur Pendidikan Asing E. Somantri, serta dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Unpad R. Sobri Hardjapamekas.

Sampul buku Bandung-Braunschweig yang diterbitkan oleh Kantor Kebudayaan Kota Braunschweig pada tahun 1963. (Foto repro: Tri Joko Her Riadi)
Sampul buku Bandung-Braunschweig yang diterbitkan oleh Kantor Kebudayaan Kota Braunschweig pada tahun 1963. (Foto repro: Tri Joko Her Riadi)

Bandung di Tahun 1963

Informasi tentang Bandung datang langsung dari Wali Kota Bandung R. Priatnakusumah lewat tulisannya di buku Bandung-Braunschweig ini. Ketika itu luas Bandung, yang masih menyandang status Daerah Kotapraja, sekitar 9.000 hektare. Jumlah penduduknya per Januari 1963 adalah 1.000.369 orang, dengan jumlah total rumah 84.464 unit. Data ini mengisyaratkan permasalahan serius yang dihadapi penduduk Bandung terkait kebutuhan akan tempat tinggal.

Urusan lain yang tak kalah pelik adalah sampah. Ketika itu volume sampah harian mencapai 1.100 meter kubik. Kapasitas tempat pembuangan sampah sudah tidak memadai, namun toh Wali Kota R. Priatnakusumah tetap membanggakan prestasi Bandung yang pada tahun 1960 ditetapkan sebagai juara lomba kebersihan nasional.

“Sebutkan sajalah macam barang kebutuhan apa saja, baik untuk keperluan rumah tangga, kantor, pabrik, rumah sakit, sekolah, laboratorium, dan lain-lain ada perusahaan yang menjalankannya, baik yang membuat maupun untuk reparasi saja,” tulis Sang Wali Kota, yang menyebut keberadaan 2.200 buah pabrik dalam berbagai skala di Bandung.

Tidak ketinggalan, disebutkan data tentang dunia pendidikan di Bandung. Ketika itu sudah ada 10 universitas dengan tidak kurang dari 30.000 mahasiswa. Yang paling tua tentu saja Institut Teknologi Bandung (ITB).

Foto udara menampilkan kondisi kota Braunschweig pada tahun 1060-an. Seperti Bandung, Braunschweig kaya akan bangunan berasitektur indah. (Sumber foto: buku Bandung-Braunschweig)
Foto udara menampilkan kondisi kota Braunschweig pada tahun 1060-an. Seperti Bandung, Braunschweig kaya akan bangunan berasitektur indah. (Sumber foto: buku Bandung-Braunschweig)

Braunschweig di Tahun 1963

Dalam tulisannya, Martha Fuchs, yang menjabat Wali Kota (Oberburgermeister) Braunschweig, menjelaskan riwayat dan kondisi terkini kota yang ketika itu jadi bagian Jerman Barat itu. Braunschweig merupakan salah satu kota tertua di Jerman. Umurnya sudah melampaui 1.100 tahun. Terletak di utara Negara Federasi Jerman, Braunschweig dibuni 250.000 orang penduduk yang terlindung oleh pegunungan Harz di selatan dan padang Luneburg di utara.

Seperti Bandung, Braunschweig kaya akan bangunan-bangunan indah. Usianya tentu saja jauh lebih tua, sejak abad pertengahan. Sebuah menara menjulang di tengah kota, tepatnya di gereja Santo Blasius. Bangunan ikonik lainnya adalah sebuah tugu singa buatan abad ke-12.

Braunschweig merupakan pusat bagi penelitian keilmuan dan penyelidikan teknik, sebuah disiplin yang melekat pada diri bangsa Jerman hingga hari ini. Perguruan Tinggi Teknik Braunschweig, yang tertua di seluruh Jerman, memiliki sekitar 6.000 mahasiswa. Di antara mereka, ada 600-an orang mahasiiswa dari luar Jerman, terutama dari negara-negara Asia dan Afrika.

Di Braunschweig juga berkembang kawasan-kawasan industri yang memproduksi mesin bagi mobil pengangkut, bus, dan pengatur lalu lintas, tekstil, piano, bahan makanan, kaleng untuk industri, serta bahan kimia. Begitulah Braunschweig kesohor sebagai kota pengetahuan dan dagang. 

Informasi Buku

Judul buku: Bandung-Braunschweig

Pengarang: Bert Bilzer, Rolf Hagen, Martin Hesse

Penerbit: Braunschweig: Waisenhaus-Butchdrukerei und Verlag

Cetakan: I, 1963

Editor: Redaksi

COMMENTS

//