BUKU BANDUNG (9): Seorang Petapa dan 10 Malamnya di Kota Bandung
Seorang petapa di puncak Tangkuban Parahu menghabiskan 10 malamnya di Kota Bandung. Di balik pesta dan gemerlapnya kota, kepedihan lahir dari hawa nafsu jahat.
Penulis Hernadi Tanzil1 Agustus 2021
BandungBergerak.id - Bandung di Waktu Malam merupakan sebuah kisah fiksi karya Soe Lie Piet, ayah dua tokoh aktivis dan pemikir terkemuka Indonesia: Soe Hok Gie dan Soe Hok Djin (Arif Budiman). Seperti kebanyakan karyanya yang bergenre novel etnografis, novel yang mengambil latar belakang budaya sebuah daerah, buku ini mengambil latar Kota Bandung dan gunung Tangkuban Parahu di tahun 1930-an.
Bandung di Waktu Malam menceritakan tentang seorang petapa sakti bernama Rayahna. Ia telah bertapa bertahun-tahun di gua di dalam hutan puncak Gunung Tangkuban Parahu. Kesaktiannya memungkinkan ia dapat melihat sesuatu dari jarak ratusan mil, datang ke segala tempat, dan bisa tahu apa yang sedang dipikirkan orang. Selain itu Rayahna juga bisa berganti rupa seperti yang ia kehendaki.
Dari atas puncak gunung Tangkuban Parahu itu, Rayahna kerap mengamati suasana kota Bandung yang di waktu malam begitu bercahaya dengan lampu-lampunya yang gilang-gemilang. Namun di tengah gemerlapnya Bandung, lewat mata batinnya Rayahna melihat adanya cahaya hitam yang senantiasa mengepul naik. Baginya cahaya hitam itu melambangkan nafsu jahat dari hati manusia.
Penasaran dengan cahaya hitam yang mengepul itu, Rayahna bertekad untuk melihatnya sendiri secara langsung.
"Biarlah mulai besok malah aku akan turun ke Bandung buat begaul kembali pada manusia supaya aku bisa tahu dengan jelas yang disertai bukti-bukti bahwa mengebulnya itu cahaya hitam saban saat ke atas udara bukan tidak ada lantarannya." (halaman 6)
Kehidupan Malam
Rayahna turun ke Bandung selama 10 malam. Dari pengalamannya selama di Bandung itulah kisah-kisah dalam novel ini mengalir. Penulis membaginya ke dalam 10 malam. Masing-masing kisah berdiri sendiri dengan benang merah kehidupan malam yang gemerlap.
Bandung yang begitu gemerlap dan glampr di waktu malam di tahun 1930-an inilah, termasuk aktivitas dunia hiburan malam beserta pelacurannya, yang menurut penulis buku ini merupakan salah satu faktor lahirnya julukan Parijs van Java.
"Soal yang kita mau bicarakan di sini yaitu tentang cara bagaimana pelacuran bisa dibasmi atau dibikin kurang sebisanya yang banyak merajalela di Java, terutama Bandung ada terkenal betul hingga ini kota dapat titel sebagai Parijs van Java." (halaman 98-99)
Kisah ini tentu menambah referensi tentang alasan Bandung disebut Parijs van Java. Kuncen Bandung Haryoto Kunto dalam bukunya Wajah Bandoeng Tempo Doeloe (1980) mengatakan kemungkinan julukan tersebut muncul dari seorang pedagang Belanda bernama Roth yang mempromosikan dagangannya (pakaian) di pasar malam Jaarbeurs. Kemungkinan diambilnya nama Paris karena Paris saat itu telah menjadi kiblat mode dunia. Dengan sebuatan Parijs van Java diharapkan dapat menarik minat orang untuk datang ke pasar malam tahunan Jaarbeurs dan membeli dagangannya.
Jaarbeurs atau pasar malam tahunan yang sangat terkenal di saat itu juga ikut mengilhami Soe Lie Piet untuk menulis kisah yang berlatar Jaarbeurs. Dari kisahnya kita bisa melihat bagaimana suasana Jaarbeurs saat itu.
“Ini malam Bandung penuh sekali dengan keramaian dan kegirangan yang beda betul seperti biasa. Di jalan-jalanan besar sesak dengan berbagai kendaraan dan orang yang jalan kaki yang pada menuju ke sebalah utara. Ada apa? Jaarbeurs!
Hampir boleh dipastikan semua orang dengan paras girang pergi ke Jaarbeurs; di straat, dalam kendaraan,di rumah-rumah, tidak lain yang disebut: Jaarbeurs, karena ini pasar tahunan yang ramai yang baru dibuka ini malam.
Lampu-lampu listrik yang dipasang buat membikin terang lapangan Jaarbeurs dan sekitarnya, ia punya cahaya bisa kelihatan dari tempat-tempat yang terpisah jauh juga.
Ketika itu lapangan Jaarbeurs yang luas telah jadi padat dengan penonton-penonton dari segala bangsa. Suara dari segala macam tontonan dengan musiknya yang ribut sangat diperdengarkan, dan dibarengi dengan suara dari orang banyak yang sebentar-sebentar tertawa girang.” (halaman 111)
Baca Juga: BUKU BANDUNG (8): Kesaksian Otentik nan Sentimental 22 Jurnalis Pikiran Rakyat
BUKU BANDUNG (7): Seorang Kapiten Tionghoa Bandung dan Surat-surat Bisnisnya
BUKU BANDUNG (6): Awal Persahabatan Bandung dan Braunschweig
Paradoks
Secara umum kisah-kisah dalam buku ini menggambarkan sebuah paradoks antara gemerlapnya kota Bandung di waktu malam dan antusiasnya penduduk kota Bandung menikmati dunia malam dengan kepedihan yang dialami oleh tokoh-tokohnya. Seolah Soe Lie Piet hendak mengatakan bahwa gemerlapnya dunia malam dapat membawa orang-orang terjerembab ke dalam nafsu jahat di hati manusia yang pada akhirnya akan melahirkan berbagai kepedihan seperti yang dialami tokoh-tokohnya.
Buku Bandung di Waktu Malam terbit pertama kali pada tahun 1931 oleh penerbit Elect: Drukkeij: Minerva, Bandoeng. Penerbit ini secara rutin, sebulan sekali, menerbitkan buku-buku fiksi karya penulis-penulis Tionghoa. Pada Desember 2019, Pustaka Klasik menerbitkannya kembali dengan sokongan PT. Kahatex, salah satu pabrik tekstil terbesar di Bandung.
Dalam penerbitan ulang ini, penerbit tidak mengubah sedikit pun struktur kalimat dan ceritanya. Perubahan hanya dilakukan dengan mengubah ejaan bahasa yang aslinya ditulis menggunakan ejaan Van Ophuyesen menjadi ejaan baku seperti "oe" menjadi "u","tj" menjadi "c" sehingga pembaca masa kini lebih mudah memahami ceritanya.
Penerbitan kembali novel ini, yang sudah hampir seabad umurnya, patut diapesiasi. Sedikit banyak ia dapat menggambarkan kepada pembaca di masa kini bagaimana suasana kota Bandung di waktu malam di tahun 1930-an, tahun-tahun ketika Bandung terkenal hinga seantero Eropa
Informasi Buku
Judul : Bandung Di Waktu Malam
Penulis : Soe Lie Pit
Editor : Wahyu Wibisana
Penerbit : Pustaka Klasik bekerja sama dengan PT Kahatex
Cetakan Pertama : Januari 1931
Diterbitkan Kembali : Desember 2019
Tebal : 120 halaman