• Nusantara
  • Draft Revisi UU ITE Memiliki Banyak Kelemahan, Pasal Karet masih Dipertahankan

Draft Revisi UU ITE Memiliki Banyak Kelemahan, Pasal Karet masih Dipertahankan

Koalisi Serius Revisi UU ITE menilai, secara umum draft revisi UU ITE yang diusulkan pemerintah masih mempertahankan pasal-pasal bermasalah.

Muhammad Asrul, jurnalis yang dijerat UU ITE karena memberitakan kasus korupsi. (Sumber: SAFEnet)

Penulis Iman Herdiana29 Januari 2022


BandungBergerak.idPemerintah bersama DPR saat ini sedang menyusun revisi terhadap Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Namun upaya revisi UU kontroversial yang banyak menjerat masyarakat lemah dan aktivis ini dinilai masih kurang serius. Sejumlah pasal karet yang ada di dalam UU ITE masih dipertahankan.

Menyikapi pentingnya Revisi UU ITE, Koalisi Serius Revisi UU ITE yang terdiri dari berbagai organisasi masyarakat sipil, menyerahkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Revisi UU ITE kepada DPR RI, Jumat (28/1/2022). DIM tersebut hasil kajian anggota koalisi dan melibatkan analisa pakar linguistik forensik dan pakar hukum pidana, atas pasal-pasal revisi dan pasal-pasal tambahan yang diusulkan pemerintah kepada DPR RI.

Perlu diketahui, UU ITE telah banyak memakan korban terutama masyarakat sipil. Menurut laporan Southeast Asia Freedom of Expressi on Network (SAFEnet), sepanjang tahun 2020, tercatat 84 kasus pemidanaan terhadap warganet. Jumlah ini meningkat hampir 4 kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya, 24 kasus.

SAFEnet menyatakan, UU ITE menjadi regulasi utama yang membatasi ekspresi warganet. Dari 84 kasus, 64 kasus menggunakan ‘pasal karet’ UU ITE. Tepatnya Pasal 28 ayat 2 tentang ujaran kebencian (27 kasus), Pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik (22 kasus), dan pasal 28 ayat 1 tentang kabar bohong konsumen (12 kasus).

Dari latar belakang korban, SAFEnet mengungkapkan bahwa mereka yang banyak di laporkan dengan UU ITE adalah warga (50 orang), aktivis (15 orang), buruh (4 orang), mahasiswa (4 orang), karyawan swasta (3 orang), pelajar (2 orang), dan jurnalis (1 orang). Jumlah warga dan aktivis yang di laporkan pada 2020 jauh lebih tinggi dibandingkan 2019, yakni pada jurnalis 8 kasus, aktivis 5 kasus, dan warga 4 kasus.

Amnesty International Indonesia mencatat sejak Januari hingga November 2021, terdapat 84 kasus dan 98 orang korban yang dijerat  UU ITE. Kasus paling mutakhir menimpa Direktur Eksekutif Lokataru Haris Azhar, dan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Fatia Maulidiyanti.

Baca Juga: SAFEnet: Kriminalisasi dan Serangan Digital Marak Selama Pandemi Covid-19
Pelajar SMA, antara Kebebasan Berekspresi dan Larangan-larangan UU ITE

Mempertahankan Pasal Karet

Koalisi Serius Revisi UU ITE menilai, secara umum draft revisi UU ITE perbaikan kedua yang diusulkan pemerintah masih mempertahankan pasal-pasal yang bermasalah dan menambah sejumlah pasal baru yang berpotensi mengancam hak konstitusional warga.

Selain itu, draft revisi UU ITE perbaikan kedua ini masih memiliki banyak kelemahan yang fundamental, terutama masih adanya pasal-pasal yang multitafsir dan penerapan hukum pidana yang berlebihan.

Yang masih dipertahankan pemerintah adalah pasal kesusilaan (pasal 27 ayat 1), perjudian (pasal 27 ayat 2), pencemaran nama (pasal 27 ayat 3), pengancaman (pasal 27 ayat 4), berita bohong yang menimbulkan kerugian konsumen (pasal 28 ayat 1 dan 2), ujaran kebencian atas dasar SARA (pasal 28A ayat 1 dan 2), pengancaman (pasal 29), pemberatan perbuatan pada pasal 30 sampai 34 (pasal 36).

Sedangkan norma baru yang dimasukkan pemerintah adalah pasal yang mengatur tentang pemberitahuan bohong yang menimbulkan keonaran (pasal 28A ayat 3). Melalui DIM ini koalisi memberikan masukan perbaikan secara menyeluruh atas isi UU ITE, tidak terbatas pada revisi pasal-pasal yang diusulkan pemerintah semata.

Ada 29 poin masukan yang disusun oleh koalisi, terdiri dari 2 poin masukan pada bagian pertimbangan, 1 poin pada bagian mengingat, dan 26 poin pada pasal-pasal UU ITE, baik dari naskah revisi yang dikirimkan pemerintah maupun pasal-pasal yang telah lama ada dalam UU ITE Tahun 2016 yang perlu untuk diperbaiki.

“Koalisi menyoroti fakta bahwa tidak berubahnya perspektif pemerintah dalam upayanya mendekati persoalan yang muncul dalam ranah digital. Perspektif yang digunakan masih punitive karena dalam rumusan perbuatan yang dilarang tidak ada asas restorative justice dan diversi (penal mediation) dalam penyelesaian dugaan tindak pidana ITE,” ungkap juru bicara Koalisi Serius Revisi UU ITE, Damar Juniarto dari SAFEnet, melalui keterangan tertulis yang diterima BandungBergerak, Sabtu (29/1/2022).

Damar Juniarto menjelaskan, pidana adalah ultimum remedium atau upaya akhir yang harus ditempuh apabila tidak ditemukan jalan keluar penyelesaian perkara antara pelaku dan korban. Koalisi, kata Damar, menegaskan seharusnya mekanisme penyelesaian perkara di luar pidana ini dimasukkan dalam revisi UU ITE agar penyelesaian perkara dugaan tindak pidana ITE ini dimungkinkan diselesaikan antara pelaku dan korban.

“Apalagi dorongan restorative justice menguat pada isi Surat Kesepakatan Bersama tiga lembaga antara Kepolisian, Kejaksaan, Kominfo, serta dalam Surat Edaran Kapolri sebelumnya. Begitu juga dengan mekanisme banding yang seharusnya ikut dimuat dalam revisi UU ITE ini,” paparnya.

Koalisi juga mencermati dalam draft revisi ini pemerintah tidak menggunakan kesempatan untuk memperbaiki keseluruhan isi UU ITE yang bermasalah dan hanya mendasarkan perubahan-perubahan atas banyaknya kontroversi yang terjadi. Perbaikan UU ITE harus berlandaskan sikap bijak dan holistik dalam melihat persoalan.

“Oleh karena itu, dengan berbagai persoalan di dalam revisi usulan pemerintah terhadap UU ITE itu, koalisi meminta DPR RI untuk benar-benar melakukan kajian atas revisi tersebut secara hati-hati dan menyeluruh, dan bisa menggunakan DIM yang dikirimkan koalisi sebagai bahan acuan dalam mempertimbangkan, memperbaiki, dan merumuskan bunyi pasal pengaturan yang lebih baik dan tepat, sehingga persoalan-persoalan multitafsir dan pemidanaan berlebihan tidak terjadi lagi di masa mendatang,” ungkapnya.

Koalisi Serius Revisi UU ITE terdiri dari Amnesty International Indonesia, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Greenpeace Indonesia, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Indonesia Corruption Watch (ICW), Indonesia Judicial Research Society (IJRS), Imparsial, Koalisi Perempuan Indonesia, Komite Perlindungan Jurnalis dan Kebebasan Berekspresi (KPJKB) Makassar, KontraS, LBH Apik Jakarta, LBH Jakarta, LBH Masyarakat, LBH Pers Jakarta, Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM).

Berikutnya, Lintas Feminis Jakarta, Paguyuban Korban UU ITE (PAKU ITE), Pusat Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), PUSKAPA UI, Remotivi, Rumah Cemara, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), Yayasan LBH Indonesia (YLBHI), Yayasan Perlindungan Insani (Protection International).

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//