• HAM
  • Amnesty International Indonesia: Serangan terhadap Pembela HAM Tumbuh Subur Sepanjang 2021

Amnesty International Indonesia: Serangan terhadap Pembela HAM Tumbuh Subur Sepanjang 2021

Di tahun 2022, pemerintah, parlemen, dan aparat hukum diminta melaksanakan kewajiban perlindungan dan pemenuhan hak-hak asasi masyarakat.

Peringatan Hari HAM International di Bandung, Jumat (10/12/2021). Aksi ini mengusung isu penggusuran di Bandung, pelanggaran HAM di masa lalu, kekerasan seksual, dan lain-lain. (Foto: Emi La Palau/BandungBergerak.id)

Penulis Delpedro Marhaen14 Desember 2021


BandungBergerak.idSepanjang tahun 2021, serangan terhadap pembela HAM (hak asasi manusia) di Indonesia tumbuh bak cendawan di musim hujan. Dalam catatan akhir yang dirilis Amnesty International Indonesia, tercatat ada 95 kasus serangan terhadap pembela HAM dengan total 297 korban. Kasus ini menyerang para pembela HAM dari pelbagai sektor, mulai dari jurnalis, aktivis, masyarakat adat, hingga mahasiswa.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan pembela HAM menjadi salah satu kelompok yang paling dalam bahaya sepanjang tahun 2021. Serangan-serangan ini datang dalam berbagai bentuk, mulai dari pelaporan ke polisi, ancaman dan intimidasi, kekerasan fisik hingga pembunuhan. Amnesty lantas meminta Pemerintah Indonesia untuk memperbaiki komitmennya terhadap penegakan HAM.

"Serangan terhadap mereka [pembela HAM] terus berlanjut, baik secara luring maupun daring, dan hanya sedikit yang diusut secara tuntas. Sayangnya, aktor negara diduga banyak terlibat dalam serangan tersebut," ujar Usman Hamid, dalam diskusi di kanal Youtube Amnesty International Indonesia, Senin (13/12).

Usman menjelaskan, sebanyak 55 kasus dari 95 yang terjadi sepanjang tahun 2021 tersebut diduga adanya keterlibatan aktor negara, mulai dari aparat kepolisian dan TNI, serta pejabat pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Angka tersebut tak jauh berbeda dengan tahun 2020, di mana 60 dari 93 kasus serangan terhadap pembela HAM juga diduga dilakukan oleh aktor negara.

Ia mencontohkan, kasus serangan terhadap pembela HAM yang menimpa seorang warga adat Toruakat di Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara yang tewas tertembak oleh penjaga tambang emas ilegal yang berlokasi di dekat wilayah adat Toruakat  pada 27 September 2021.

Kemudian, sambung dia, kasus lainnya yang menjadi sorotan publik adalah serangan terhadap kediaman orang tua pengacara HAM, Veronica Koman yang terjadi pada bulan November 2021.

Tak hanya itu, lanjutnya, serangan terhadap pembela HAM juga terjadi dalam bentuk peretasan. Usman menyampaikan, berdasarkan data pemantauan, Amnesty International Indonesia mencatat terjadi sebanyak 58 kasus serangan digital berupa peretasan maupun percobaan peretasan akun milik pribadi dan lembaga pembela HAM.

“Serangan-serangan seperti ini akan terus berlanjut jika pemerintah dan aparat penegak hukum tidak melakukan langkah-langkah nyata untuk mengusut kasus-kasus tersebut dan membawa pelaku ke pengadilan,” ujarnya.

Penegakan HAM Jalan di Tempat

Usman juga menyoroti tren pelemahan hak asasi manusia yang tidak ada perubahan dari tahun ke tahun. Menurutnya komitmen penegakan HAM dari tahun ke tahun seperti jalan di tempat dan tidak terlihat adanya perbaikan situasi HAM yang signifikan. Ia berharap ada torehan catatan yang lebih baik menyoal komitmen penegakan HAM oleh negara.

"Bahkan pada tahun ini, negara tidak juga membuat kemajuan terkait penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Padahal, tahun ini mencatat adanya dokumen resmi negara lain terkait tragedi 1965 yang dapat dijadikan tambahan referensi bagi dimulainya penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu," tegas Usman.

Usman mengungkapkan, ada kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah untuk memulihkan hak asasi. Namun ia mengamati kriminalisasi terhadap mereka yang mempraktikkan hak secara damai juga terus berlanjut.

"Kami berharap di tahun 2022, pemerintah, parlemen dan aparat penegak hukum melaksanakan kewajiban mereka untuk mengedepankan perlindungan dan pemenuhan hak-hak asasi masyarakat, bukan mengabaikannya demi kepentingan lain," ucap Usman.

UU ITE adalah Senjata Pamungkas

Sejak Januari hingga November 2021, Amnesty International Indonesia mencatat bahwa terdapat 84 kasus pelanggaran kebebasan berekspresi menggunakan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dengan 98 orang korban.

Menurut Usman, pembungkaman dengan UU ITE ini kerap terjadi mereka yang mengkritik pihak yang lebih berkuasa. Kasus Stella Monica serta Muhammad Asrul menjadi kasus yang paling mutakhir terjadi di Indonesia. Kasus ini jadi cerminan urgensi UU ITE dengan perspektif perlindungan hak masyarakat, bukan hanya fokus pada ketertiban umum.

Usman menambahkan, salah satu contoh serangan terhadap pembela HAM dengan menggunakan UU ITE yang masih terus berlanjut hingga hari ini adalah laporan pencemaran nama baik yang menimpa Direktur Eksekutif Lokataru Haris Azhar dan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Fatia Maulidiyanti.

“Mereka berdua dilaporkan ke polisi oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi dengan menggunakan pasal pencemaran nama baik di dalam UU ITE hanya karena mendiskusikan hasil kajian gabungan beberapa organisasi masyarakat sipil tentang faktor-faktor yang memicu pelanggaran hak asasi manusia di Papua, termasuk di antaranya dugaan keterlibatan beberapa tokoh-tokoh militer dalam industri tambang. Kasus ini masih terus diproses oleh polisi,” papar Usman.  

Editor: Redaksi

COMMENTS

//