• HAM
  • Hari Demokrasi Internasional 2021: Maraknya Parade Kekerasan dan Serangan terhadap Pembela HAM

Hari Demokrasi Internasional 2021: Maraknya Parade Kekerasan dan Serangan terhadap Pembela HAM

Sampai September ini saja sudah terjadi 101 kasus serangan terhadap pembela HAM dengan korban 270 orang.

Peserta Aksi Kamisan Bandung mengenakan topeng Munir dalam salah satu aksinya di sekitar kawasan Gedung Sate Bandung, Kamis (10/9/2021) sore. Masih dalam rangkaian September Hitam, aksi ke-361 ini menyuarakan 17 tahun kasus kematian Munir Said Thalib yang belum tuntas terungkap. (Foto: Miftahudin Mulfi/BandungBergerak.id)

Penulis Delpedro Marhaen16 September 2021


BandungBergerak.idHari Demokrasi Internasional yang jatuh tiap 15 September dimaknai untuk meninjau kembali keadaan demokrasi di dunia. Di Indonesia, persoalan demokrasi menjadi catatan kelam pemerintahan Presiden Joko Widodo, terutama menyoal praktik kekerasan yang meroket pada dua tahun ke belakang.

Hal itu diungkap oleh Campaigner Amnesty International Indonesia, Zaky Yamani dalam diskusi daring yang diinisiasi oleh Aksi Kamisan Bandung. Zaky menyebut setidaknya dalam demonstrasi besar di tahun 2019 dan 2020 ditemukan banyak kesaksian dan bukti kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap peserta aksi. Dalam peta interaktif yang dirilis Amnesty International Indonesia, terdapat 51 video kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap peserta aksi penolakan UU Omnibus Law.

“Aksi kekerasan ini cukup brutul karena mengakibatkan luka-luka, trauma, dan disertai penangkapan juga,” kata Zaky Yamani, Senin (15/09/21).

Serangan terhadap pembela HAM (Hak Asasi Manusia) juga meroket di tahun 2021. Bahkan kasus serangan terhadap pembela HAM pada bulan Januari hingga Agustus 2021 lebih banyak ketimbang yang terjadi sepanjang tahun 2020. Zaky menyebut selama tahun 2020, terdapat 93 kasus serangan terhadap pembela HAM dengan korban 253 orang.

Sementara di tahun 2021, sampai pada bulan September saja sudah terjadi 101 kasus serangan terhadap pembela HAM dengan korban 270 orang.

“Ini menunjukkan tren yang mengkhawatirkan sebetulnya. Serangan-serangan ini biasanya dilakukan oleh pihak yang berkuasa apakah itu aparat kepolisian, TNI, pemerintah daerah atau pengusaha,” kata Zaky.

Pembela HAM yang dimaksud Zaky meliputi, pengacara publik, jurnalis, mahasiswa, aktivis anti-korupsi, aktivis lingkungan, dan mereka yang dikelompokan sebagai orang-orang yang menyampaikan pendapat berkaitan dengan kondisi sosial dan politik kepada negara.

Menurut Zaky, maraknya kedua kasus tersebut dapat dijadikan indikator dan bukti bahwa kebebasan berpendapat dan berekspresi di Indonesia semakin direpresi dan dibatasi. Hal ini masih di luar konteks para korban yang dijerat oleh pasal karet UU ITE karena menyampaikan pendapatnya.

Zaky menilai kejadian pembatasan terhadap ruang kebebasan sipil yang terjadi belakangan ini menunjukan pemerintahan Joko Widodo ketakutan dengan kritik yang gencar dilakukan belakangan ini. Dia berpandangan bahwa kritik yang disampaikan ini seharusnya dimaknai sebagai penggambaran atas situasi sosial yang membutuhkan perhatian serius dari pemerintah.

Langgengnya praktik kekerasan dalam negara demokrasi ini, kata Zaky, disebabkan karena cara pandang dan perilaku pemerintahan sejak dulu dalam menyelesaikan kasus pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu. Ia menyebut pembiaran berkas penyelidikan yang telah rampung diselesaikan oleh Komnas HAM menunjukkan pemerintah tidak berkehendak untuk memutuskan kasus yang terjadi. Di sisi lain, justru pemerintah mengulang kekerasan dan represi atas nama stabilitas negara.

“Ketidakstabilan yang terjadi di masyarakat banyak disebabkan oleh negara. Ketidaksinambungan kebijakan, perundang-undangan itu kan yang menyebabkan ketidakstabilan. Itu kan masyarakat yang merasakan dampaknya, tapi masyarakat tidak boleh berbicara,” ujar Zaky.

Dalam kesempatan itu, Zaky meminta agar pemerintah untuk tidak lagi melakukan tindakan represi seperti yang dilakukan dalam dua tahun ke belakang. Berkaitan dengan hal itu, Amnesty International Indonesia juga telah mendesak pemerintah untuk mengusut aparat pelaku kekerasan terhadap peserta aksi. Namun Zaky kecewa dengan tidak adanya respons negara atas hal itu hingga saat ini.

Baca Juga: Komnas HAM RI Didesak Tetapkan Kasus Pembunuhan Munir sebagai Pelanggaran HAM Berat
Data Kekerasan terhadap Perempuan di Kota Bandung 2020, Kekerasan Seksual Paling Banyak Dilaporkan
Data Kekerasan terhadap Anak di Kota Bandung 2020, Terbanyak Berupa Kekerasan Psikis
AJI: Selama Pandemi Covid-19, Kekerasan terhadap Jurnalis Meningkat
Gejala Kekerasan Seksual Digital masa Pandemi Covid-19 di Bandung dan Nasional

Kekerasan Terhadap Jurnalis

Jurnalis atau pers kerap disebut sebagai salah satu pilar dari demokrasi. Kendati demikian jurnalis masih kerap dirundung berbagai ancaman. Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers) mencatat jika kebebasan pers memburuk pada tahun 2019 dan 2020. Hal ini disebabkan banyaknya kasus upaya kriminalisasi dan kekerasan terhadap jurnalis.

Dalam catatan LBH Pers, kepolisian menjadi aktor yang paling banyak melakukan kekerasan terhadap jurnalis pada tahun 2020. Ada 76 kasus kekerasan yang melibatkan aktor dari Korps Bhayangkara itu. Disusul dengan jaksa dan TNI dengan rincian sebanyak dua kasus. Kemudian ada 12 kasus kekerasan terhadap jurnalis yang aktornya tidak diketahui.

Senada dengan LBH Pers, catatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mengungkap ada 90 kasus kekerasan terhadap jurnalis yang terjadi selama kurun waktu Mei 2020 hingga Mei 2021. Sebanyak 70 persen pelakunya adalah kepolisian. Tindakan yang dialaminya berbagai kekerasan, sebagian besar kasus berupa intimidasi, kekerasan fisik, perusakan, perampasan alat atau data hasil liputan, dan ancaman atau teror.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//