• Berita
  • Gejala Kekerasan Seksual Digital masa Pandemi Covid-19 di Bandung dan Nasional

Gejala Kekerasan Seksual Digital masa Pandemi Covid-19 di Bandung dan Nasional

Kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO) di Bandung sebanyak 15 kasus dengan 10 orang korban perempuan dan 3 korban laki-laki.

Jumlah Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) 2020. Selama pandemi Covid-19, KBGO di Indonesia cenderung meningkat.(Grafik: SAFEnet)

Penulis Iman Herdiana14 Mei 2021


BandungBergerak.idPandemi Covid-19 tak hanya menimbulkan krisis kesehatan dan ekonomi. Kasus kekerasan berbasis digital pun meningkat selama pagebluk yang kini masuk ke tahun kedua. Kasus kekerasan berbasis gender (KBGO) ini berlangsung di banyak wilayah di Indonesia, tak terkecuali di Bandung.

Selama tahun 2020, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung mendata sebanyak 29 kasus kekerasan seksual dengan rincian 5 kasus pelecehan seksual, 6 kasus kekerasan dalam pacaran di mana 4 di antaranya disertai dengan pemaksaan aborsi, dan KBGO sebanyak 15 kasus dengan 10 orang korban perempuan dan 3 korban laki-laki, serta 2 kasus pemerkosaan.

Di antara kasus tersebut, hanya 1 kasus yang berhasil melanjutkan proses hukum sampai ke persidangan. Sisanya memiliki kendala baik terjegal dari kurangnya bukti hingga belum berani melanjutkan kasusnya pada proses hukum dengan berbagai alasan. Kendati demikian, 1 kasus yang melanjutkan proses hukum mengalami banyak kendala dalam hal penegakan hukumnya.

Menurut Direktur LBH Bandung, Lasma Natalia, mengatakan laporan yang diterima LBH Bandung tahun ini merupakan angka kasus terbanyak bila dibandingkan selama 2 tahun terakhir, yaitu pada 2019 terdapat 4 kasus dengan rincian 3 kasus KBGO dan 1 kasus perkosaan. Sementara tahun 2018 terdapat 5 kasus, 2 kasus merupakan pelecehan seksual dan 3 kasus lainnya di isu kekerasan dalam pacaran dengan 2 di antaranya disertai pemaksaan aborsi.

"Selama 3 tahun terakhir kasus yang terjadi tidak banyak berubah selain angka yang terus meningkat khususnya dalam isu KBGO yang tidak hanya mengarah pada korban perempuan melainkan juga laki-laki. Salah satu alasan mengapa kasus KBGO dapat meningkat tidak terlepas dari dampak pandemi Covid-19 di mana waktu seseorang berinteraksi dengan internet hampir 24 jam non-stop," paparnya, dalam Laporan Catatan Akhir Tahun 2020 LBH Bandung.

LBH Bandung mengungkap, meningkatnya KBGO di tengah pandemi Covid-19 tak lepas dari pembatasan aktivitas dan karatina di rumah untuk memutus rantai penyebarluasan Covid-19. Orang akan sering mengalihkan aktivitasnya pada gadget dan berlesancar di dunia maya.

LBH Bandung lantas mengutip psikolog sosial dan peneliti dari Kinsey Institute, Indiana University, Justin Lehmiller yang menyatakan masyarakat mengalami titik jenuh selama pandemi. Di sisi lain, kebutuhan seksual meningkat selama pandemi dan wajar bila hal itu terjadi, sama wajarnya dengan kondisi penurunan hasrat seksual selama pandemi.

Lehmiller berpendapat, jika penurunan hasrat seksual terjadi lantaran seseorang merasakan tekanan berlebih selama masa karantina, naiknya hasrat seksual sebagian orang di masa tersebut dapat diakibatkan oleh adanya perasaan cemas, takut akan ancaman kematian di hadapannya. Ketika ada perasaan seperti ini, mereka terdorong untuk mencari jalan keluar, termasuk dengan menggeser pola perilakunya.

Sedangkan bagi sebagian orang, jalan keluar didapat dengan cara baru mengekspresikan seksualitas, salah satunya dengan melibatkan teknologi internet. Mengirimkan visual telanjang, sexting, atau melakukan aktivitas seksual sambil merekamnya dengan video merupakan contoh-contoh ekspresi seksual yang mungkin mereka pilih.

Baca Juga: AJI: Selama Pandemi Covid-19, Kekerasan terhadap Jurnalis Meningkat
Psikologi UPI Bahas Solusi Memutus Kekerasan dalam Pacaran

Tak hanya di Bandung

Kasus kekerasan berbasis gender online atau KBGO tak hanya terjadi di Bandung. Gejala ini meningkat secara nasional, seperti disampaikan laporan tahunan Southeast Asia Freedom of Expressi on Network (SAFEnet) 2021. Pada laporan yang disusun tim penyusun SAFEnet dengan penanggung jawab Damar Juniarto itu tercatat selama 2020, KBGO mengalami peningkatan sangat signifikan.

Dari hasil pemantauan SAFEnet, kasus KBGO sepanjang tahun lalu mencapai 620 kasus atau lebih dari 10 kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya, 60 insiden KBGO pada tahun 2019.

Data lain dari Komisi Nasional Anti Kekerassan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pun sama. Dalam laporan tahunannya, selama tahun 2020 Komnas Perempuan menerima 940 laporan kasus KBGO. Meningkat dari 241 kasus pada tahun sebelumnya. Artinya, mengacu pada kedua data tersebut, setiap hari terjadi 2-3 kali insiden KGBO.

Dari 620 kasus KBGO yang masuk ke SAFEnet selama 2020, 248 di antaranya merupakan rujukan dari Komnas Perempuan. Ada pun laporan langsung ke SAFEnet sebanyak 372 kasus melalui Instagram, Whatsapp, Telegram, surel, dan formulir daring.

Drastisnya kenaikan laporan ke SAFEnet sangat mungkin karena intensifnya pemantauan melalui berbagai saluran selain karena semakin dikenalnya istilah KBGO sebagai salah satu bentuk kekerasan di ranah digital.

Menurut bentuknya, penyebaran konten intim tanpa persetujuan atau non-consensual dissemination of intimate images (NCII) merupakan kekerasan paling banyak terjadi dan mendominasi. Jumlahnya mencapati 468 kasus atau lebih dari 75 persen.

Motif NCII beragam. Ada yang tanpa motif jelas karena dilakukan orang tidak dikenal, sebanyak 208 kasus. Ada pula NCII yang dilakukan pasangan atau mantan pasangan. Motifnya dengan ancaman agar korban tidak memutuskan hubungan atau kembali menjalin hubungan dengan pelaku (149 kasus).

Terakhir, NCII dengan motif sextortion atau disertai pemerasan dalam bentuk uang, imbalan berhubungan seksual atau mendapatkan konten intim lagi (119 kasus).

Bentuk KBGO lain yang tercatat adalah perusakan reputasi korban. Pelaku akan membuat akun palsu dan mengunggah konten tidak sesuai (impersonasi), manipulasi foto, hingga framing dengan narasi seksual (51 kasus). Ada pula pelecehan di ranah digital seperti komentar mengolok-olok tubuh, perundungan, pengiriman konten seksual tanpa izin sebaganyak 46 kasus. Kemudian pelanggaran privasi berupa peretasan, penyebarluasan data pribadi dan pantauan (38 kasus).

Berdasarkan latar belakang gender, mayoritas korban adalah perempuan sebanyak 472 korban (76,13 persen), sedangkan laki-laki sebanyak 31 korban (5 persen), sisanya tidak menyebutkan spesifik gender mereka dalam laporan.

Tingginya korban di kalangan perempuan menunjukkan bahwa perempuan paling rentan menjadi korban KBGO dibandingkan identitas gender lain, terutama laki-laki. Pelakunya
hampir semua laki-laki, baik tidak dikenal maupun mantan pasangan, suami, ataupun pacar.

Namun ada pula pelaku dan korban KBGO adalah sesama laki-laki (gay). Ada juga KBGO oleh perempuan (lesbian) yang tidak rela mantan pasangannya berpacaran dengan laki-laki (heteroseksual).

Berdasarkan usia, hampir setengah di antaranya (47,1 persen) tidak mencantumkan usia korban. Ada pun mereka yang mencantumkan usia, terbanyak berusia antara 21-30 tahun dengan jumlah sebanyak 192 orang (30,97 persen), disusul 14-20 tahun 119 orang (19,19 persen), usia 31-40 tahun 11 orang (1,77 persen), dan 41-50 tahun 6 orang (0,97 persen).

Artinya sebagian besar korban berda di usia produktif, berkisat 21-40 tahun. Banyak korban di bawah umur 18 tahun atau anak-anak. Terdapat 54 korban (8,71 persen) berusia kurang dari 18 tahun. Usia paling muda, kelahiran 2006 ada 2 korban yang masih anak SMP.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//