Psikologi UPI Bahas Solusi Memutus Kekerasan dalam Pacaran
Mata rantai kekerasan dalam rumah tangga bisa dikenali sejak pacaran. Psikologi UPI membahas solusi memutus mata rantai tersebut.
Penulis Iman Herdiana27 April 2021
BandungBergerak.id - Memupus Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRD) bisa dimulai sejak masa masa pacaran. Pada masa romantisme ini, indikasi-indikasi kekerasan sudah bisa dilihat. Selain itu, mengakhiri pacaran juga lebih sederhana dibandingkan mengakhiri pernikahan.
Psikolog Universitas Pendidikan Ganesha, Bali, Putu Rahayu Ujianti, menjelaskan kekerasan dalam pacaran bisa diartikan sebagai seseorang yang secara romantis terlibat dalam hubungan pacaran yang membahayakan baik secara fisik, seksual, emosional, dan sebagainya.
Sda beberapa tanda-tanda yang bisa dikenali pada diri pelaku kekerasan dalam pacaran, antara lain, sikap posesif, tempramen yang sulit ditebak, mengontrol atau mendominasi hidup pasangan, mengancam, memukul, dan lain-lain. Perlu juga dikenali macam-macam bentuk kekerasan, yaitu kekerasan fisik, kekerasan emosional, kekerasan seksual, kekerasan ekonomi, dan kekerasan verbal.
Putu menjelaskan, kekerasan dalam pacaran biasanya terjadi karena relasi yang tidak seimbang antara pasangan yang satu dengan yang lainnya. Dengan kata lain, pasangan yang satu lebih menguasai pasangan yang lain.
”Satu-satunya jalan keluar dari kekerasan dalam pacaran adalah dengan mengakhiri atau keluar dari hubungan tidak sehat tersebut,” terang Putu, dalam dalam webinar “Is Love Really Blind? Tindakan Preventif Kekerasan dalam Pacaran” yang diselenggarakan Pusat Kajian Pendampingan Krisis, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), seperti dikutip dari laman resmi UPI, Selasa (27/4/2021).
“Setelah menikah biasanya akan lebih sulit keluar dari hubungan toksik karena akan bertambah tanggung jawab sebagai pasangan, anak, menantu, serta sebagai orang tua,” tambah Putu. Dalam penanganan korban kekerasan dalam pacaran, ia menegaskan, bahwa korban tidak bersalah dan jangan pernah menyalahkannya.
Webinar dipandu Nisrina Siti Afifah Gunawan dari Departemen Psikologi UPI yang menyatakan solusi kekerasan dalam pacaran tidak ada jalan lain selain mengakhiri hubungan pacaran. ”Anak kita tidak bisa memilih siapa yang akan menjadi orang tuanya, tapi kita bisa memilih siapa yang akan menjadi pasangan sekaligus menjadi orang tua dari anak kita kelak,” kata Nisrina.
Data Kekerasan di Bandung
UPT Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Bandung pada tahun 2020 mencatat, laporan kekerasan di Kota Bandung tak kurang dari 300 kasus. Di tahun 2021 ini, P2TP2A sudah menerima 125 laporan kekerasan keluarga yang terdata sejak Januari hingga Maret.
Kasusnya terdiri dari kekerasan terhadap istri (45 kasus), terhadap anak (45 Kasus), terhadap perempuan (15 kasus), terhadap pria (1 kasus), kekerasan dalam keluarga (9 kasus), dalam berpacaran (1 kasus), dan 9 kasus kekerasan lainnya.
Sementara kasus kekerasan yang terdata di data Kota Bandung dalam Angka 2021, tercatat jumlah klien kekerasan terhadap perempuan di UPT P2TP2A tahun 2020 sebanyak 250 kasus; terdiri dari kekerasan fisik 26 kasus, psikis 72 kasus, seksual 100 kasus, penelantaran 13 kasus, trafficking 12 kasus, hak asuh anak 8 kasus, ekonomi 7 kasus, dan lainnya 12 kasus. Sementara jumlah kasus KDRT total terdapat 186 kasus, yang tersebar di 30 kecamatan yang ada di Kota Bandung.