• HAM
  • AJI: Selama Pandemi Covid-19, Kekerasan terhadap Jurnalis Meningkat

AJI: Selama Pandemi Covid-19, Kekerasan terhadap Jurnalis Meningkat

Kekerasan pada jurnalis dalam setahun ini mencapai 90 kasus. Jumlah ini terbanyak dalam 10 tahun terakhir.

Cover laporan Kebebasan Pers Memburuk Di Tengah Pandemi: Catatan AJI atas situasi kebebasan pers di Indonesia 3 Mei 2020 - 3 Mei 2021, disusun Tim Penulis AJI, terkait WPFD 2021, Senin (3/5/2021). (DOK. AJI)

Penulis Iman Herdiana3 Mei 2021


BandungBergerak.idDi tengah meningkatnya kebutuhan masyarakat akan informasi, khususnya soal info pandemi Covid-19, kebebasan pers di Indonesia justru memburuk. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menurunkan laporan kondisi kebebasan pers di Indonesia, terkait Hari Kebebasan Pers Internasional (World Press Freedom Day/WPFD) yang jatuh hari ini, Senin (3/5/2021).

Laporan berjudul “Kebebasan Pers Memburuk Di Tengah Pandemi: Catatan AJI atas situasi kebebasan pers di Indonesia 3 Mei 2020 - 3 Mei 2021” itu disusun Tim Penulis AJI Benny Mawel, Erick Tanjung, Musdalifah, Sasmito dengan editor Ika Ningtyas (Sekjen AJI Indonesia). Dalam laporannya, AJI menyatakan ancaman terhadap kebebasan pers masih terjadi di Indonesia, khususnya dalam kurun setahun terakhir, 3 Mei 2020 - 3 Mei 2021. Hal ini berdasarkan indikator masih tingginya kekerasan terhadap jurnalis, baik di ranah luring maupun daring.

“Kekerasan pada jurnalis dalam setahun ini mencapai 90 kasus, jauh dibandingkan dengan periode sebelumnya sejumlah 57 kasus,” demikian menurut laporan AJI Indonesia, yang dikutip Senin (3/5/2021). “Bahkan jumlah ini menjadi yang terbanyak dalam 10 tahun terakhir pada periode yang sama.”

Sebanyak 90 kasus itu dengan rincian, intimidasi 28 kasus, dan perusakan alat dan atau hasil luputan 22 kasus yang merupakan kekerasan dominan yang dialami jurnalis. Berikutnya, kekerasan fisik 19 kasus, ancaman kekerasan atau teror 9 kasus, dan pemidanaan/kriminalisasi 6 kasus.  

Ironisnya, lanjut laporan AJI, dari segi pelaku, polisi yang semestinya memberikan perlindungan terhadap masyarakat dan jurnalis menempati urutan pertama dengan 58 kasus, disusul tidak dikenal 10 kasus, warga 7 kasus, TNI 5 kasus dan pejabat pemerintah/eksekutif 4 kasus. Sedangkan dari segi wilayah, Malang menjadi tempat terjadinya kekerasan terbanyak dengan 16 kasus dan Jakarta 15 kasus.

Kasus terbaru, AJI Indonesia menyoroti penganiayaan terhadap jurnalis Tempo, Nurhadi pada 27 Maret 2021. Laporan AJI Indonesia menyebut Nurhadi menjadi korban penganiayaan saat melakukan reportase di Gedung Samudra Bumimoro, Sabtu (27/3/2021) malam. Di sana, Nurhadi berencana meminta keterangan terkait kasus dugaan suap yang dilakukan oleh bekas Direktur Pemeriksaan Ditjen Pajak Kemenkeu, Angin Prayitno Aji yang sedang ditangani KPK. Saat itu di lokasi sedang berlangsung pernikahan antara anak Angin Prayitno Aji dengan putri Kombes Pol Achmad Yani, mantan Karo Perencanaan Polda Jatim.

Dalam peristiwa tersebut, Nurhadi dianiaya, para pelaku juga merusak sim card di ponsel milik Nurhadi serta menghapus seluruh data dan dokumen yang tersimpan di ponsel tersebut. Setelah peristiwa itu, Nurhadi melaporkan kasus tersebut ke Polda Jatim didampingi Aliansi Anti Kekerasan Terhadap Jurnalis yang beranggotakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya, KontraS, LBH Lentera, LBH Pers, dan LBH Surabaya.

Kasus penganiayaan terhadap jurnalis Nurhadi telah naik ke tahap penyidikan. Tertera Dalam Surat Perintah Penyidikan Nomor SP.Sidik/338/RES/IV.1.6/2021 yang diterbitkan 20 April 2021. Penyidik menetapkan kasus ini menggunakan pasal 18 ayat (1) UU No.40 tahun 1999 tentang Pers subsider pasal 170 KUHP, pasal 351 KUHP, dan pasal 335 KUHP.

Serangan Kekerasan Seksual via Digital

Serangan digital menjadi jenis kekerasan baru yang menghambat kebebasan pers. Penggunaan digital untuk meneror jurnalis makin masif pada 2020, di saat ketergantungan jurnalis pada internet cukup besar selama pandemi. Sayangnya kerja-kerja jurnalis di ruang digital belum mendapatkan perlindungan memadai.

Jenis kekerasan pada jurnalis yakni kekerasan seksual, utamanya menimpa jurnalis perempuan. Survei yang dilakukan AJI Jakarta (2020) menyebut terdapat 25 dari 34 jurnalis yang menjadi responden, mengaku pernah mendapatkan kekerasan seksual saat menjalankan kerja-kerja jurnalistiknya. Hal ini berdampak menghambat jurnalis melaksanakan kerja-kerja jurnalistik serta mengancam partisipasi gender tertentu di dunia jurnalisme.

Sementara di aspek regulasi, UU ITE masih menjadi penghambat serius kebebasan pers dan kebebasan berekspresi. Pemerintah dinilai belum memiliki kemauan politik yang besar untuk merevisi sejumlah pasal bermasalah di UU ITE, termasuk pasal yang kerap digunakan untuk menjerat jurnalis.

Namun tampaknya UU ITE masih belum akan direvisi. Laporan AJI kemudian mencatat pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD pada 29 April 20213 yang mengumumkan, pemerintah tidak akan mencabut UU ITE, meski Presiden Joko Widodo pernah menyatakan akan meminta DPR RI merevisi pasal-pasal bermasalah di UU ITE pada pertengahan Februari lalu.

Selama ini Pasal Defamasi dan Ujaran Kebencian pada UU ITE sering menjerat jurnalis. Terbaru, jurnalis di Palopo, Sulawesi Selatan, Muhammad Asrul diseret ke pengadilan setelah menulis tiga berita dugaan korupsi. UU ITE juga menjadi ancaman untuk mengembangkan jurnalisme warga dan pers mahasiswa.

Laporan AJI juga menyoroti kebebasan pers di Papua. Selain rentan mendapatkan pemblokiran internet seperti tahun 2019, jurnalis Papua berada dalam bayang-bayang kekerasan. Baru-baru ini, teror yang dialami Pemimpin Umum Jubi, Victor Mambor, semakin menegaskan Papua belum aman bagi jurnalis. Ini diperburuk dengan masih tertutupnya akses Papua bagi jurnalis media asing.

“Dengan berbagai ancaman yang masih terjadi, dibutuhkan komitmen yang serius dari pemerintah khususnya Presiden Joko Widodo di periode keduanya ini, untuk memberi perlindungan bagi kebebasan pers,” ungkap AJI.

AJI menegaskan, melindungi keselamatan jurnalis dan memperkuat media independen harus menjadi bagian dari strategi untuk melawan dampak pandemi. Apabila tidak dilakukan, demokrasi akan terdegradasi serta akses publik mendapatkan informasi makin terhambat.

Sebanyak 401 Jurnalis Positif Covid-19 dan 9 Meninggal 

Pandemi Covid-19 yang mulai melanda Indonesia sejak Maret 2020 sampai kini sudah menginfeksi 1,6 juta orang. Di tengah pandemi, kebutuhan publik pada media dan informasi semakin besar, terlebih berlakunya pembatas sosial demi mencegah penularan di mana hal ini membuat semua orang tinggal di rumah dan bekerja di rumah.

Dampak pandemi, masyarakat semakin mengandalkan informasi dari media massa, televisi dan portal berita di internet, termasuk untuk memahami pandemi Covid-19.

Menurut data we are social-Hootsuite yang dikutip AJI Indonesia, per Januari 2021 jumlah pengguna internet di Indonesia bertambah 27 juta orang. Namun meningkatnya kebutuhan masyarakat pada informasi di internet, dicemari dengan tsunami misinformasi dan disinformasi tentang Covid-19. Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebut hoaks kesehatan di masa pandemi tersebut sebagai infodemi, yang dampaknya dapat menghambat penanganan pandemi itu sendiri.

Dalam situasi tersebut, hadirnya jurnalisme yang independen menjadi sumber daya penting bagi masyarakat untuk menyediakan informasi yang akurat, relevan, dan berbasis sains. Selain memenuhi hak warga atas informasi, jurnalisme independen dibutuhkan untuk mengontrol kebijakan pemerintah yang bertentangan dengan kepentingan publik. “Jurnalisme independen tersebut mensyaratkan jaminan terhadap kebebasan pers,” tegas AJI.

Namun, AJI mencatat ada hambatan internal yang menghambat kerja-kerja jurnalis sebagai pihak yang bekerja di garis terdepan untuk memperoleh informasi. Hambatan itu antara lain, kebijakan perusahaan yang mengharuskan jurnalis meliput di lapangan dan bekerja di kantor. Sehingga jurnalis menjadi salah satu kelompok yang rentan terpapar virus SARS-CoV-2 penyebab penyakit Covid-19.

AJI mencatat ada 401 jurnalis yang positif Covid-19 dan sembilan orang di antaranya meninggal sejak Maret 2020 hingga pekan ketiga April 2021.

Pandemi Covid-19 juga menurunkan kesejahteraan jurnalis, imbas kolapsnya bisnis media massa. Hasil riset AJI-IFJ (2020) terhadap 792 responden jurnalis di berbagai daerah, menunjukkan 83,5 persen jurnalis terdampak perekonomiannya selama pandemi. Dampak tersebut meliputi pengurangan honor (53,9 persen), pemotongan gaji (24,7 persen), pemutusan hubungan kerja (5,9 persen), dan dirumahkan (4,1 persen).

Editor: Redaksi

COMMENTS

//