• HAM
  • Diskusi Film A Thousand Cuts: Yang Terjadi di Filipina, Terjadi Juga di Indonesia

Diskusi Film A Thousand Cuts: Yang Terjadi di Filipina, Terjadi Juga di Indonesia

Pembungkaman pers di Filipina terjadi juga di Indonesia. AJI mencatat 90 kasus kekerasan terhadap jurnalis Indonesia dalam kurun Mei 2020-2021.

Pemimpin umum Project Multatuli, Evi Mariani (kiri) dan penulis serta pegiat HAM Zaky Yamani (tengah) menjadi pemantik diskusi diskusi film A Thousand Cuts yang diselenggarakan oleh AJI Bandung, di Perpustakaan Ajip Rosidi, Kota Bandung, Sabtu (6/11/2021) sore. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Penulis Bani Hakiki7 November 2021


BandungBergerak.idFilm dokumenter A Thousand Cuts, yang menempatkan Maria Ressa dan Rappler di jantung cerita, merekam bagaimana pemerintah Filipina di bawah Presiden Rodrigo Duterte me tindakan dan kebijakan mendelegimitasi dan membungkam kerja pers. Yang terjadi di negara tetangga ini, sangat mungkin juga sedang atau bakal terjadi di Indonesia.

“Kita sepakat dulu kalau kita tidak sedang berada di tempat yang tenang. Meski tidak seekstrem itu (seperti di Filipina), tapi aku kira ancaman itu real. Wartawan semakin sulit menulis kebenaran yang mau dia tulis. Ancamannya bukan cuma ancaman fisik, dan (menjaga) independensi di daerah itu susah,” tutur Evi Mariani, Pemimpin Umum Project Mutatuli, dalam diskusi film A Thousand Cuts, di Perpustakaan Ajip Rosidi, Kota Bandung, Sabtu (6/11/2021) sore.

Selain Evi, acara nonton bareng dan diskusi film yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung itu juga menghadirkan Zaky Yamani, penulis dan pegiat HAM, sebagai narasumber. Adi Marsiela, dari AJI Bandung, menjadi moderatornya. Kegiatan nonton dan diskusi film diadakan serentak di Malaysia, Filipina, dan 10 kota di Indonesia, di sepanjang satu pekan ini.

Berdurasi sekitar 1 jam 40 menit, A Thousand Cuts mengisahkan perjalanan Maria Ressa, jurnalis sekaligus pendiri situs berita daring Rappler. Ramona Diaz, sebagai sutradara, mengeksplorasi konflik antara pers dan pemerintah Filipina di bawah Duterte dengan mewawancarai banyak narasumber. Selain Maria Ressa, beberapa jurnalis Rappler turut memberikan kesaksian mereka, seperti Pia Rañada, Patricia Evangelista, dan Rambo Talabong. Di seberangnya, ada kisah tentang tokoh-tokoh yang dekat dengan Duterte, seperti Mocha Uson, dan Bato dela Rosa, ketika berkampanye untuk kursi senat di pemerintahan Filipina, bersaing dengan Samira Gutoc, salah seorang pengkritik paling kuat kebijakan perang narkoba.

Evi Mariani menilai bahwa kondisi yang terjadi di negeri tetangga Filipina sangat berpotensi terjadi di Indonesia. Bahkan, sebagian besar dipandang sudah terjadi dan perbedaan paling besarnya hanya terletak pada pencitraan pemimpin negaranya saja.

Pandangan yang Evi tuturkan merupakan hasil cerminan salah satu kasus yang belum lama ini menimpa media yang dipimpinnya. Situs dan akun media sosial Project Multatuli diretas setelah media itu menerbitkan beberapa rangkaian artikel yang secara keras mengkritik kerja kepolisian di Indonesia.

Insiden ini merupakan satu dari sekian banyak insiden yang menimpa kerja pers di Indonesia. Pembungkaman terhadap kebebasan pers telah membuat banyak wartawan yang terpaksa memotong unsur faktualitasnya dalam pemberitaan terkait negara atau pemerintah karena dibayangi oleh berbagai bentuk ancaman.

Hal yang dianggap lebih mengerikan oleh Evi Mariani adalah semakin banyaknya masyarakat dan wartawan yang pasrah terhadap pemberitaan atau informasi pemerintah yang antikritik. Lebih buruk lagi, banyak narasi yang disiarkan pemerintah tanpa verifikasi data yang akurat demi memutarbalikkan fakta sebuah pemberitaan. Masyarakat menjadi korban utama karena sulit mengakses dan menyaring informasi yang kredibel.

Sementara itu, Zaky Yamani, yang tergabung dalam Amnesty International, menyoroti banyaknya kasus kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia, terutama di luar Pulau Jawa, yang kurang mendapat sorotan, termasuk oleh pemberitaan media. Menurut Zaky, isu seperti ini seharusnya menjadi diskursus yang perlu terus didiskusikan oleh komunitas dan organisasi jurnalis di Indonesia.

“Selama ini, dari yang saya lihat, masih sedikit pemberitaan tentang jurnalis-jurnalis yang dibunuh atau terkena ancaman karena beritanya. Ada, tapi masih belum seperti seharusnya. Padahal kita tahu sendiri, kasus kayak gini banyak,” tuturnya.

Seriusnya ancaman pembungkaman pers di Indonesia tercermin dari data. Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) mencatat 90 kasus kekerasan terhadap jurnalis dari Mei 2020 hingga 2021. Di tingkat dunia, berdasarkan catatan PBB, sedikitnya 1.200 orang jurnalis terbunuh dalam kurun 2006-2020.

Sebuah Peringatan Keras

Sejak pertama kali dirilis hingga kini, A Thousand Cuts telah mendapat sejumlah ulasan positif dari para kritikus film. Sebuah situs agregator film, Rotten Tomatoes, mendefinisikannya sebagai “Sebuah film dokumenter yang serius dan peringatan yang keras, A Thousand Cuts menggarisbawahi pentingnya pers pada momen penting dalam sejarah dunia.” Di Metacritic, film ini bertengger di peringkat 81 dari 100 berdasarkan delapan kritik yang terlampir.

A Thousand Cuts disusun dengan premis yang sederhana sehingga cukup mudah dipahami oleh seluruh kalangan. Isu yang diangkat punya keterkaitan lebih jauh dengan dunia umum di luar isu kebebasan pers, yakni isu kebebasan berpendapat dan berekspresi. Pasalnya, ada sebuah undang-undang di Filipina yang fungsi dan bunyinya tidak jauh berbeda dengan UU ITE di Indonesia yang sering digunakan sebagai dasar pembungkaman sebuah kritik.

Suminah, perwakilan Jaringan Kerja Gotong Royong yang datang menonton film, melihat banyak hal yang terjadi di Filipina, terjadi juga di Indonesia hari ini. Korbannya, lagi-lagi warga.

“Menurut pandangan saya, sebelas-dua belas kondisinya di Indonesia. Selama ini, saya merasakan sendiri bagaimana tindakan represif aparat terhadap pendemo, misalnya.  Sekarang yang terjadi pada jurnalis salah satunya ya ancaman tuduhan jeratan Undang-Undang ITE,” ungkapnya.

A Thousand Cuts ditayangkan perdana di Sundance Film Festival pada 25 Januari 2020. Film ini dirilis terbatas dan ditayangkan di bioskop virtual pada 7 Agustus 2020 oleh PBS Distribution dan kemudian diikuti oleh program siaran Frontline pada 8 Januari 2021. Kedua pemilik hak siar itu pun sempat mendistribusikannya secara gratis dalam waktu yang singkat di kanal Youtube pada hari kemerdekaan Filipina, 12 Juni 2020 lalu.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//