• Kampus
  • Pelajar SMA, antara Kebebasan Berekspresi dan Larangan-larangan UU ITE

Pelajar SMA, antara Kebebasan Berekspresi dan Larangan-larangan UU ITE

Kebebasan berekspresi dijamin undang-undang. Tetapi sepanjang 2020, SAFEnet mencatat setidaknya terdapat 84 kasus pemidanaan terhadap warganet. 

Materi webinar Unpar untuk SMA Santa Angela, Bandung, tentang UU Nomor 11 Tahun 2008/ITE. (Dok. Unpar)

Penulis Iman Herdiana8 Mei 2021


BandungBergerak.idDewasa ini, pelajar setingkat SMA sudah terbiasa menyalurkan ekspresinya di dunia maya, yaitu lewat media sosial berbasis internet. Mereka bebas menulis, mengunggah gambar berupa foto atau video, dan disebar ke warganet.

Tetapi di balik kebebasan berekspresi di dunia maya, ada Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang mengawasi. Sehingga kebebasan berekspresi tak sebebas yang dibayangkan. Anak-anak pelajar SMA pun harus memahami batasan yang digariskan UU ini.

Upaya menanamkan kebebasan berekspresi dan UU ITE pada anak-anak SMA dilakukan Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) lewat webinar tentang UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE atau kini telah diubah dengan UU No.19 Tahun 2016. Webinar diikuti sekitar 180 pelajar dari SMA Santa Angela, Bandung, Selasa (4/5/2021).

Dosen Fakultas Hukum Unpar Rachmani Puspitadewi, narasumber webinar, mengatakan dunia online juga memiliki aturan yang mengacu pada dunia nyata. Ia membeberkan beberapa pasal yang mengatur dunia online, antara lain, Pasal 27 UU ITE yang mengatur tentang produksi/distribusi/transmisi informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang melanggar kesusilaan, perjudian, penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, pemerasan dan/atau pengancaman.

Pasal tersebut memuat ancaman pidana 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar. Sementara jika terbukti melakukan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik diancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 750 juta.

Pasal lainnya, Pasal 28 ayat (1), bahwa orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik diancam pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar.

Ayat (2)-nya menyebutkan bahwa orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan) diancam pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar.

Selajutnya, Pasal 29 UU ITE, bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi, diancam pidana penjara paling lama 12 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 2 miliar.

Dosen yang akrab disapa Putie itu lantas mengulas sejumlah hal yang beririsan langsung dengan UU ITE. Di antaranya, aktivitas di medsos mulai dari menyebarkan berita/gambar, menulis komentar/status, Social Networking (Facebook, Twitter LinkedIn), Media Sharing Network (Instagram, YouTube, Podcast, Snapchat, TikTok,Clubhouse), Discussion Forum (Quora, Reddit, Kaskus, Discord), Social Blogging Network (Personal blog, wordpress), dan media komunikasi/chatting (WhatsApp, Telegram, LINE).

“Perlu bijak dan hati, jangan hanya ‘demi konten’, membuat konten yang mengandung SARA, penghinaan, pemerasan, pornografi, melanggar kesusilaan, berita bohong, perjudian. Karena dampak menulis/menyebarkan/membuat konten setelah ditulis/dibuat lalu disebarkan akan dapat dilihat/diakses semua orang. Selalu pastikan apa yang kita sebarkan, tidak mengandung informasi hoaks,” ucapnya, dikutip dari laman resmi Unpar.

Selain berhati-hati menggunakan medsos, Puti mengajak para pelajar waspada akan kejahatan dunia maya. Mulai dari peretasan, phising, intersepsi, penyebaran virus (malware), bom e-mail, pencurian identitas, kebocoran data pribadi, cyberstalking, cyber bullying, penipuan online, dan perjudian game online.

Hal lain yang perlu dipahami adalah transaksi elektronik, seperti jual-beli online dan praktik pinjaman online (pinjol) dari perusahaan berbasis financial technology (fintech). Ciri lembaga pinjol legal harus Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Baca Juga: ITB Bebaskan UKT Seleksi Mandiri bagi Mahasiswa Kurang Mampu
Daftar Kampus di Jawa Barat Tujuan Beasiswa LPDP Reguler 2021

Jejak Digital

Kata Putie, kebebasan berekspresi dan berpendapat perlu dipahami secara komprehensif. Meski dalam UU tidak dijelaskan secara eksplisit adanya batasan dalam mengemukakan pendapat dan ekspresi, namun secara implisit tersirat dalam peraturan yang mengatur kebebasan berekspresi dan berpendapat bahwa ada batasan soal itu.

“Itu semua memang adalah hak asasi manusia (HAM). Tetapi apakah HAM itu ada batasannya? Atau kita bisa sebebas-bebasnya untuk melaksanakan hak berekspresi kita? Batasannya adalah HAM orang lain,” terangnya.

Contohnya, siapa pun bebas berekspresi membuat konten-konten apa pun atau berpendapat tentang suatu hal yang kritis. “Tapi, ada hak ada juga kewajiban. Kita punya hak kebebasan berekspresi dan berpendapat, tapi kita juga punya kewajiban menghormati HAM orang lain,” ujarnya.

Ia menjelaskan, HAM yang dimiliki seseorang akan bersinggungan dengan HAM orang lain, apalagi jika menyangkut privasi. Sebab semua orang memiliki hak privasi masing-masing, sehingga kebebasan berekspresi akan dibatasi oleh hak privasi itu.

Selain itu, Putie mengungkap aktivitas seseorang di dunia memiliki rekamannya. Hal ini disebut rekam jejak digital. Dia mengingatkan para pelajar yang sudah terbiasa dengan medsos agar tidak terjebak dengan hal-hal negatif.

“Perjalanan kalian masih panjang, karena apa yang dilakukan hari ini akan berpengaruh di masa datang. Apa yang kalian upload, sebarkan, berhati-hati. Sebab tak sedikit perusahaan-perusahaan sekarang itu melihat (rekam jejak) calon karyawannya dari aktivitas di media sosial. Apalagi jika ada kaitannya dengan hukum, itu akan melekat,” tuturnya.

Guru SMA Santa Angela, Maya Christianty berharap materi yang disampaikan webinar tersebut bisa dipahami dan diterapkan anak didiknya. Pemaparan soal hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan di media sosial beserta risiko hukum yang terkandung di UU ITE diharapkan dapat membawa dampak signifikan bagi para pelajar agar lebih bijak lagi dalam beraktivitas di dunia maya.

“Saya berharap ketika anak-anak menerima materi ini, anak-anak lebih berhati-hati. Bisa dikatakan, banyak sekali sanksi yang mungkin kita dapatkan, sehingga harus hati-hati dalam bermedsos, karena itu berakibat untuk diri kita sendiri,” kata Maya.

Kebebasan Berekspresi vs UU ITE

Southeast Asia Freedom of Expressi on Network (SAFEnet) dalam “Laporan Situasi Hak-hak Digital Indonesia 2020: Represi Digital di Tengah Pandemi April 2021” mengungkap, penetrasi internet di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya. Hingga kuratal kedua tahun 2020 jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 196,7 juta orang. Meningkat menjadi 73,7 persen dari 64,8 persen pada 2018-2019.

Begitu juga dengan pengguna media sosial. Di Indonesia hingga awal 2021 terdapat 170 juta pengguna medsos, meningkat 6,3 persen dibandingkan setahun sebelumnya. Youtube merupakan platform yang paling banyak diakses, yakni 181,9 juta dengan pengguna berusia 16-64 tahun di Indonesia. Selanjutnya, Whatsapp (87,7 persen), Instagram (86,6 persen), Facebook (85,5 persen), Twitter (63,6 persen), dan seterusnya.

Namun Tim SAFEnet menegaskan, kebebasan berekspresi adalah hak semua orang yang dijamin undang-undang. Tetapi sepanjang 2020, SAFEnet mencatat setidaknya terdapat 84 kasus pemidanaan terhadap warganet. Jumlah ini meningkat hampir 4 kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya, 24 kasus.

UU ITE menjadi regulasi utama yang membatasi ekspresi warganet. Dari 84 kasus, 64 kasus menggunakan ‘pasal karet’ UU ITE. Tepatnya Pasal 28 ayat 2 tentang ujaran kebencian (27 kasus), Pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik (22 kasus), dan pasal 28 ayat 1 tentang kabar bohong konsumen (12 kasus).

Regulasi lain yang dipakai untuk membatasi ekspresi di ranah digital ialah Pasal 14-5 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang keonaran, yakni 21 kasus, serta beberapa pasal penghinaan dalam KUHP seperti Pasal 270 dan 310.

Dari latar belakang korban, mereka yang banyak di laporkan adalah warga (50 orang), aktivis (15 orang), buruh (4 orang), mahasiswa (4 orang), karyawan swasta (3 orang), pelajar (2 orang), dan jurnalis (1 orang). Jumlah warga dan aktivis yang di laporkan pada 2020 jauh lebih tinggi dibandingkan 2019, yakni pada jurnalis 8 kasus, aktivis 5 kasus, dan warga 4 kasus.

Sejumlah dalih yang dipakai untuk melakukan kriminalisasi terhadap pengguna internet, lanjut laporan SAFEnet, yaitu alasan SARA (suku, agama, ras, dan antar-golongan), labelisasi hoaks terhadap informasi yang tidak sesuai dengan informasi pemerintah dalam penanganan Covid-19, serta pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja.

 

 

 

 

 

 

Editor: Redaksi

COMMENTS

//