• Opini
  • Alfanya Pasal Hukum bagi Pelaku Pelecehan Seksual Fetish

Alfanya Pasal Hukum bagi Pelaku Pelecehan Seksual Fetish

Pemberian hukuman terhadap pelaku fetish memerlukan konsep freies ermessen, tindakan hukum tanpa terikat sepenuhnya pada undang-undang yang berlaku.

Fiana Graciella Kurniawan

Mahasiswi Hukum Universitas Katolik Parahyangan (Unpar).

Pintu menuju ruang sidang di Pengadilan Negeri Bandung, Jawa Barat, Selasa (11/1/2022). (Foto Ilustrasi: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

26 Juni 2022


BandungBergerak.idKekerasan seksual seperti pemerkosaan, perbuatan cabul, perbuatan yang melanggar kesusilaan, pronografi sering terjadi di masyarakat, namun pada tahun 2020 Indonesia dikejutkan dengan kasus Gilang yang mengidap fetish. Fetish adalah kondisi di mana seseorang memiliki ketertarikan seksual atau mengalami dorongan seksual bukan terhadap manusia melainkan terhadap suatu objek, contohnya mengalami gairah seksual ketika seseorang memakai pakaian atau benda tertentu.

Perbuatan Gilang yang meminta foto korban yang dibungkus dengan kain jarik sehingga digolongkan sebagai fetish merupakan perbuatan pelecehan seksual karena foto yang digunakan bertujuan untuk perbuatan cabul, namun dalam putusan hakim Gilang dijatuhi hukuman hukuman utama Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (yang selanjutnya disebut dengan UU ITE).

Perbuatan cabul sering diartikan dengan tindakan melanggar kesusilaan secara langsung sehingga masih ada kemungkinan Gilang lepas dari pasal ini dan pada kenyataannya Gilang tidak melakukan kekerasan atau mengancam orang untuk memberikan foto yang dia mau. Setelah kasus Gilang, muncul beberapa kasus yang diawali dengan minta foto menggunakan objek tertentu namun dengan cara memaksa seperti berfoto dengan mukena, menggunakan perban mata, dan menggunakan kaus kaki, hal ini menandakan bahwa adanya peningkatan kasus fetish.

Konsep Freies Ermessen

Kasus fetish yang meningkat membuat kekhawatiran masyarakat semakin meningkat karena banyak pelaku fetish tidak mendapatkan hukuman yang sesuai dengan perbuatan mereka melainkan terkena pasal yang lain. Untuk menangani kasus fetish yang belum memiliki landasan hukum yang jelas maka menerapkan konsep freies ermessen merupakan langkah yang efektif untuk memberikan hukuman kepada pelaku fetish.

Freies ermessen merupakan mengambil tindakan tanpa terikat sepenuhnya pada undang-undang yang berlaku meski akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan bertentangan dengan asas legalitas namun dapat memberikan keadilan [HR, Ridwan. 2020. Hukum Adminsitrasi Negara. Depok: Rajawali Pers. 2020].

Pada kasus fetish Gilang menjadi tidak tepat menggunakan UU ITE melainkan seharusnya menggunakan pasal menyangkut pelecehan seksual. Pada kenyataan definisi dari pelecehan seksual dan fetish bertolak belakang satu sama lain. Ditegaskan dalam UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (yang selanjutnya disebut dengan UU TPKS) bahwa tindakan kekerasan seksual terdiri dari berbagai tindakan seperti pelecehan secara fisik dan nonfisik. Pasal berikutnya menjelaskan bahwa perbuatan seksual secara nonfisik ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa meski secara nonfisik tetapi tetap objeknya adalah tubuh dan/atau organ reproduksi yang membuat keinginan seksual muncul.

Namun dari pernyataan pasal tersebut, fetish tidak bisa digolongkan sebagai pelecehan seksual nonfisik karena fetish memiliki gairah terhadap benda/barang bukan terhadap tubuh atau organ reproduksi. Untuk itu, menjadi tidak tepat apabila menerapkan pasal ini untuk orang yang mengidap fetish. Meski jika dilihat dari definisi fetish tidak termasuk ke dalam pelecehan seksual, perlu diingat bahwa UU TPKS juga telah mengatur bahwa pengaturan tindakan pelecehan seksual juga berdasarkan asas penghargaan atas harkat dan martabat manusia. Atas asas ini, perilaku fetish dinilai sebagai pelecehan karena pelaku fetish menjadikan seseorang sebagai gairah seksual ketika memakai suatu benda dinilai tidak menghargai atas harkat martabat manusia di mana orang yang bersangkutan tidak mengetahui bahwa dirinya telah dijadikan sebagai objek gairah seksual dari pelaku fetish.

Baca Juga: UU ITE Menyuburkan Labeling dan Penuhnya Penjara
Kurangnya Perlindungan Hukum Membuat Maraknya Kasus Kekerasan Seksual
Pemanfaatan Minyak Jelantah sebagai Bahan Bakar Alternatif di Indonesia

Kasus Fetish dalam UU TPKS

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di Indonesia tidak mengatur secara jelas tindakan pelecehan seksual fetish [Fatrilya, A. 2021. Tinjauan Yuridis Penerapan Sanksi Terhadap Pelaku Pelecehan Seksual Fetish Kain Jarik Bermodus Penelitian Akademik. Universitas Hasanuddin Makassar. Hal. 7]. Untuk itu, disahkannya UU TPKS merupakan salah satu jalan keluar meskipun jika didalami lagi hukuman untuk pelaku fetish masih belum kuat.

Pasal 4 UU TPKS memberikan klasifikasi tentang tindak pidana terdiri dari beberapa tindakan seperti pelecehan seksual secara fisik dan nonfisik. Fetish saat ini digolongkan sebagai tindakan pelecehan seksual secara nonfisik. Fetish masuk ke dalam nonfisik karena pelaku fetish tidak melakukan tindakan pelecehan secara langsung seperti menyentuh dan meraba korban.

Meski di dalam UU TPKS tidak memberikan pengertian secara jelas mengenai arti dari pelecehan secara nonfisik tetapi di dalam bagian penjelasan Pasal 5 dijelaskan yang menyangkut perbuatan seksual secara nonfisik adalah pernyataan, gerak tubuh, atau aktivitas yang tidak patut dan mengarah kepada seksualitas dengan tujuan merendahkan atau mempermalukan. Dari pernyataan tadi, tampak sekilas bahwa fetish memenuhi kriteria tersebut namun perlu diingat bahwa “pernyataan” merupakan keinginan seseorang yang diungkapkan atau dapat dilihat dari tingkah laku bahwa seseorang ingin melakukan hubungan seksual dengan orang lain. Pada kasus fetish tidak perlu melakukan godaan karena bisa dilihat pada kasus Gilang bahwa tidak ada unsur godaan. Sehingga fetish tidak memenuhi syarat dari unsur pernyataan dalam pasal tersebut.

Putusan Kontroversi Hakim Bismar Siregar

KUHP dan UU TPKS masih belum bisa menjerat pelaku fetish dengan kuat maka pemerintah harus menggunakan freies ermessen karena menerapkan konsep freies ermessen merupakan langkah yang efektif untuk memberikan hukuman kepada pelaku fetish.

Pada dasarnya, penggunaan freies ermessen bertolak belakang dengan kepastian hukum karena terkesan pemerintah dapat mengambil keputusan di luar yang telah diatur. Namun demi mewujudkannya keadilan, pemerintah harus menerapkan konsep ini agar dapat membuat terobosan di luar perundang-undangan yang berlaku. Penerapan dari konsep ini dapat dilihat dari putusan hakim yang kontroversial yaitu hakim Bismar Siregar.

Pada 1983, Bismar Siregar dihadapkan dengan kasus penipuan di mana seorang pria membujuk seorang perempuan untuk memberikan kesuciannya dengan imbalan pemenuhan secara ekonomi dan menikah namun hal yang dijanjikan tidak dipenuhi. Untuk menyelesaikan kasus ini, Bismar menganalogikan alat reproduksi wanita dengan barang sehingga bisa dijadikan sebagai objek penipuan.

Meski setelah beberapa tahun Mahkamah Agung menyatakan bahwa putusan dari Bismar dinyatakan tidak masuk akal, putusan dari Bismar ternyata bisa menahan para laki-laki yang memperlakukan wanita sewenang-wenang atau menahan para laki-laki yang melakukan hubungan seksual di luar pernikahan dengan imbalan akan dinikahkan [MYS/HAG. (2015, Juli 10). Putusan Bonda yang ‘Menganyun’ Bismar. Hukumonline.com].

Berkaca dari tindakan Bismar yang mengambil keputusan di luar UU yang berlaku maka pemerintah juga bisa mengambil tindakan dalam menanggapi kasus fetish yang terjadi.

Tindakan fetish yang muncul di masyarakat membuat masyarakat menjadi khawatir karena sulit untuk diidentifikasikan. Selain sulit diidentifikasi, pemberian hukuman kepada pelaku fetish masih belum kuat karena belum ada UU yang mengatur atau menjerat secara langsung mengenai tindakan fetish. Meskipun fetish bisa dikategorikan sebagai pelecehan seksual secara nonfisik namun jika diartikan secara bahasa, definisi dari fetish dan pelecehan seksual secara nonfisik bertolak belakang satu sama lain bahkan penerapan hukuman bagi kasus Gilang bisa dianggap kurang tepat karena menggunakan UU ITE.

Untuk mengatasi kekhawatiran dan kekosongan hukum maka pemerintah harus menggunakan freies ermessen sehingga ketika kasus fetish terjadi pemerintah dapat langsung memberikan hukuman dan pasal yang jelas untuk menjerat pelaku fetish. Pemerintah harus memberikan definisi yang jelas mengenai pelecehan seksual dan membuat pasal baru yang dikhususkan untuk pelaku fetish contohnya seperti:

Pelecehan seksual adalah setiap orang yang melakukan perbuatan seksual baik secara fisik seperti meraba, memegang atau menyentuh yang ditujukan kepada tubuh dan/atau organ reproduksi serta perbuatan secara nonfisik yang menggunakan tubuh dan/atau organ reproduksi orang lain untuk keinginan seksual diancam pidana penjara sekian tahun; serta ditambahkan pada pasal berikutnya mengenai fetish contohnya perbuatan seksual dari seseorang akibat memakai suatu benda/barang yang ditujukan untuk perbuatan melanggar kesusilaan dapat diancam sebagai pelecehan seksual.

Ketika pemerintah langsung menerapkan UU baru dengan kewenangan freies ermessen untuk memberikan kepada fetish maka tidak perlu menggunakan UU yang sebenarnya tidak tepat untuk digunakan. Jika pemerintah ragu untuk menggunakan freies ermessen maka rakyat bisa membuat petisi agar pemerintah segera melaksanakan kewajibannya untuk memberikan hukuman yang tepat kepada pelaku fetish dengan menggunakan freies ermessen. Dengan pemerintah menerapkan freies ermssen untuk keadilan maka menerapkan konsep freies ermessen merupakan langkah yang efektif untuk memberikan hukuman kepada pelaku fetish.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//