Pemanfaatan Minyak Jelantah sebagai Bahan Bakar Alternatif di Indonesia
Konsumsi minyak sawit tahun 2015 yang awalnya 10,33 liter per kapita per tahun menjadi 11,58 liter per kapita per tahun pada tahun 2020.
Marco Prajana
Mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan (Unpar).
25 Juni 2022
BandungBergerak.id - Pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi di Indonesia setiap tahunnya mengakibatkan permintaan konsumsi meningkat, terutama makanan gorengan. Mayoritas makanan Indonesia di restoran maupun kaki lima banyak menggunakan minyak goreng sawit. Hal tersebut terbukti dari konsumsi minyak sawit tahun 2015 yang awalnya 10,33 liter/kapita/tahun menjadi 11,58 liter/kapita/tahun pada tahun 2020.
Namun, pembuangan bekas minyak goreng sawit yaitu limbah minyak jelantah tersebut dapat membawa dampak negatif pada berbagai aspek kehidupan, khususnya aspek lingkungan. Pembuangan minyak jelantah sering sekali dibuang melalui saluran air begitu saja dan menimbulkan pencemaran air maupun tanah (Damayanti 2021).
Lantas, apa saja usaha yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal tersebut? Beberapa negara maju seperti Jepang, Amerika Serikat dan bahkan negara Asia Tenggara seperti Singapura, Thailand, dan Vietnam telah mengimplementasikan penggunaan minyak jelantah sebagai bahan bakar alternatif sedangkan Indonesia masih belum terlaksanakan sepenuhnya. Mengapa minyak jelantah merupakan alternatif bahan bakar fosil terbaik untuk mengurangi limbah makanan di Indonesia?
Tingkat Konsumsi Makanan Berminyak
Masyarakat Indonesia sangat senang mengonsumsi makanan yang berminyak. Hal tersebut terbukti dari banyaknya jajanan kaki lima di tepi jalan yang menjual makanan seperti cilok, gorengan, pecel lele, nasi uduk dan lainnya sehingga produksi minyak jelantah setiap harinya juga sangatlah banyak.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh TNP2K dan Traction Energy Asia menunjukkan bahwa minyak jelantah yang dihasilkan setiap tahunnya berada di kisaran 6,46-9,72 juta kilo liter. Namun minyak jelantah yang dimanfaatkan hanya mencapai 3 juta kilo liter sedangkan sisanya terbuang begitu saja ke lingkungan yang sangat berbahaya terhadap lingkungan mengingat bahwa perairan Indonesia yang luas dan tanahnya yang subur (EBTKE, 2020).
Selain itu minyak jelantah yang digunakan berulang kali juga dapat menyebabkan berbagai macam penyakit seperti kanker terhadap manusia. Salah satu pemanfaatan minyak jelantah yang telah diterapkan di beberapa negara maju maupun berkembang yaitu biodiesel berbasis minyak jelantah.
Aplikasi tersebut dapat mengurangi emisi gas rumah kaca dibandingkan dengan bahan bakar fosil yang ketersediaannya semakin menipis serta merupakan sumber emisi gas rumah kaca terbesar di dunia. Konsep ini sangat cocok diterapkan di Indonesia mengingat tingkat polusi yang sangat tinggi.
Air Quality Life Index (AQLI) menunjukkan bahwa selama 2 dekade terakhir tingkat polusi udara Indonesia meningkat hingga 171 persen dan menduduki 20 besar negara paling berpolusi (Greenstone,2019).
Baca Juga: Penanganan Limbah Minyak Goreng dengan Soda Api
Pentingnya Restorative Justice dalam Mengatasi Kelebihan Kapasitas Lembaga Pemasyarakatan
Rumah dan Kesejahteraan untuk Manusia Gerobak
Transisi Bahan Bakar Berbasis Minyak Jelantah
Saat ini, Indonesia masih banyak menggunakan mobil dan kendaraan bermotor sebagai alat transportasi utama dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun tingkat polusi akibat kendaraan tersebut semakin meningkat setiap tahunnya. Tindakan untuk meminimalisir tingkat polusi masih belum banyak terlaksanakan.
Hal tersebut terbukti dari pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT) pada tahun 2021 hanya sekitar 11,2 persen dibandingkan dengan penggunaan bahan bakar fosil sebesar 88,8 persen (Kementerian ESDM,2021). Maka tindakan yang dapat dilakukan masyarakat adalah menampung minyak jelantah untuk disumbangkan kepada badan pengolah limbah atas kesadaran diri sendiri.
Selain itu, pemerintah dapat menerapkan konsep “waste for change” pada wilayah setempat. Prinsipnya adalah masyarakat dapat menjual minyak jelantah sebagai ganti untuk uang. Selain dapat mengurangi limbah makanan minyak jelantah, taraf hidup masyarakat Indonesia juga ikut meningkat.
Dengan dilaksanakannya konsep ini suplai minyak jelantah dapat terkumpul dengan baik sehingga kemudian dapat dikirim kepada pihak yang bersangkutan untuk diproses menjadi bahan bakar sebagai alternatif bahan bakar fosil yang mencemari lingkungan.
Hambatan Produksi Biodiesel Minyak Jelantah
Penggunaan minyak goreng di Indonesia yang besar merupakan salah satu alasan mengapa minyak jelantah adalah alternatif terbaik bahan bakar fosil. Namun untuk mewujudkan hal tersebut masih terdapat beberapa hambatan yang perlu diperbaiki. Salah satunya yaitu kurangnya kesadaran masyarakat dalam mengolah limbah sehingga berbagai macam bahan bakar alternatif masih sulit untuk didapatkan suplainya secara konsisten untuk diproduksi.
Masyarakat Indonesia yang cenderung sulit menerima perubahan merupakan suatu hambatan yang memerlukan proses adaptasi yang cukup lama. Selain itu pabrik pengolahan limbah minyak jelantah sebagai biodiesel yang masih sedikit juga membuat transisi penggunaan bahan bakar berbasis biomassa masih tertunda.
Dengan konsep “waste for change”, diharapkan dapat meningkatkan jumlah suplai limbah makanan terutama minyak jelantah untuk diproses menjadi pengganti bahan bakar fosil yang terbarukan serta Eco-friendly. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh United States Environmental Protection Agency (EPA) membuktikan bahwa bahan bakar berbasis biomassa seperti minyak jelantah dapat menurunkan kadar polusi dan membuat lingkungan semakin ramah (EPA,2001).
Bahan Bakar Alternatif
Begitu banyak manfaat yang dihasilkan dengan menggantikan bahan bakar fosil menjadi bahan bakar biomassa berbasis minyak jelantah, hal ini menunjukkan betapa pentingnya penerapan konsep tersebut teruatama di Indonesia mengingat tingkat polusinya serta penggunaan minyak goreng yang semakin tinggi.
Maka dari itu, disarankan konsep biodiesel dari minyak jelantah dapat diterapkan di Indonesia terutama di pulau Jawa karena merupakan pusat pemerintahan dan perekonomian yang paling besar. Selain itu, jumlah penduduk yang semakin padat setiap tahunnya menyebabkan penggunaan bahan bakar dan kebutuhan konsumsi makanan semakin meningkat setiap tahunnya sehingga perlu diterapkan penggunaan bahan bakar alternatif berbasis biomasa yang ramah lingkungan dan terbarukan untuk mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan.