Pentingnya Restorative Justice dalam Mengatasi Kelebihan Kapasitas Lembaga Pemasyarakatan
Banyak pelaku tindak pidana ringan yang dipenjara. Misalnya, kejahatan narkotika terdapat 29.569 kasus yang didominasi oleh korban penyalahgunaan narkoba.
Jacky Hamdhani
Mahasiswa Jurusan Hukum Unpar.
24 Juni 2022
BandungBergerak.id - Dalam sistem hukum pidana Indonesia, pidana penjara merupakan salah satu hukuman pokok bagi pelaku tindak pidana dengan mengirimkan pelaku ke dalam lembaga pemasyarakatan serta membatasi kebebasan bergerak dari pelaku. Pemberian hukuman berupa hukuman penjara merupakan perwujudan dari pelaksanaan sistem pemidanaan retributive justice yang diterapkan di negara kita.
Dalam menyelenggarakan sistem pemasyarakatan yang sesuai dengan retributive justice, diharapkan pelaku tindak pidana mendapat pembinaan agar menyadari dan menyesali kesalahan, bertanggungjawab atas perbuatan, memperbaiki diri, dan tidak melakukan tidak pidana lagi ketika kembali ke masyarakat.
Namun pada kenyataannya, tujuan dari sistem pemidanaan ini tidak serta merta dapat terlaksana dikarenakan sejumlah permasalahan yang ada di lapas, salah satunya yaitu kelebihan kapasitas. Kelebihan kapasitas di penjara sendiri terjadi dikarenakan tingginya angka kriminalitas yang bersumber dari hancurnya sistem pemidanaan saat ini yang dinilai hanya mengutamakan pada pemidanaan dan penghukuman pelaku tindak pidana dan belum meperhatikan kepentingan korban dan/atau masyarakat yang dirugikan (Abdillah, 2019).
Berbagai upaya telah ditempuh oleh pemerintah untuk mengatasi kelebihan kapasitas ini, salah satunya dengan melakukan perbaikan gedung namun tetap dianggap tidak mampu menyelesaikan permasalahan pokok yang ada. Fokus atas kelebihan kapasitas ini seharusnya dititikberatkan pada haruskah semua pelaku tindak kriminal ini berakhir di penjara ataukah ada bentuk hukuman lain.
Salah satu langkah yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan perkara ini adalah dengan menerapkan sistem restorative justice yang lebih mendekatkan penyelesaian perkara secara damai langsung di masyarakat dan memprioritaskan keadilan bagi pelaku dan korban tindak pidana, sehingga nantinya tidak semua pelaku kejahatan akan berujung pada hukuman penjara. Oleh karena itu, penerapan restorative justice dalam mengatasi perkara merupakan solusi yang efektif untuk mengurangi kelebihan kapasitas dalam lapas di Indonesia.
Salah satu yang menyebabkan terjadinya kelebihan kapasitas adalah kurangnya jumlah lembaga pemasyarakatan yang ada di Indonesia. Hingga bulan Juni 2022, berdasarkan data di laman Ditjenpas, dari 527 Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pemasyarakatan yang tersebar di Indonesia secara keseluruhan mengalami kelebihan kapasitas dengan total penghuni 276.699. Keadaan tersebut dapat dilihat dalam Rutan Kelas I Cipinang yang memiliki kapasitas 1.136 orang namun kenyataannya dihuni oleh 4.715 narapidana (Ditjenpas, 2022).
Guna mengatasi jumlah kelebihan penghuni tersebut, pemerintah telah berupaya membangun dan memperbaiki lembaga pemasyarakatan sebanyak-banyaknya untuk menampung para narapidana. Namun, pembangunan tersebut tidak menjawab dan bukan solusi dalam menyelesaikan kelebihan kapasitas dikarenakan setiap hari ada ratusan orang yang melakukan tindak pidana dan dijebloskan ke dalam penjara.
Walaupun pembangunan lembaga pemasyarakatan dilanjutkan, berapa banyak biaya yang harus dikeluarkan oleh masyarakat dan negara untuk pembangunannya, pemeliharaannya, perlengkapannya sampai makan minum penghuninya. Untuk mengatasi permasalahan ini, restorative justice hadir sebagai terobosan hukum terhadap manajemen pemasyarakatan. Keadilan restoratif menuntut dilakukannya perubahan terhadap lembaga pemasyarakatan dalam pemulihan perilaku menyimpang dari narapidana.
Melalui restorative justice, pembinaan terhadap narapidana tidak hanya dilakukan di dalam lembaga pemasyarakatan, namun dapat dilakukan di tengah masyarakat seperti kerja sosial, pelatihan dan lainnya. Peran keadilan restoratif diharapkan mengembalikan pelaku tindak pidana menjadi manusia yang seutuhnya yang tidak mengurangi hak-hak pelaku dan juga korban.
Baca Juga: Rumah dan Kesejahteraan untuk Manusia Gerobak
Meningkatkan Produksi Minyak Bumi Indonesia untuk Kesejahteraan Rakyat
Mengenal Al Ihsan Nambo sebagai Salah Satu Pesantren Tertua di Kabupaten Bandung Barat
Dominannya Pelaku Pidana Ringan di Penjara
Situasi krisis yang menyebabkan terjadinya kepadatan penghuni lembaga pemasyarakatan juga diakibatkan dengan dominannya pelaku tindak pidana ringan yang berakhir dalam penjara. Hal tersebut terbukti dari data Ditjenpas yang memperlihatkan jenis kejahatan narkoba terdapat 29.569 kasus yang didominasi oleh pecandu ataupun korban penyalahgunaan. Jenis kejahatan pencurian terdapat 17.695 kasus selama tahun 2021 (Ditjenpas, 2022).
Berdasarkan fakta tersebut, Indonesia lebih fokus dalam menggunakan hukuman penjara guna menanggulangi kejahatan. Namun, penerapan pidana penjara menimbulkan dampak yang buruk yang salah satunya yaitu terbatasnya kebebasan bergerak narapidana sehingga terjadinya hukuman yang berlebihan dan berdampak tingginya jumlah narapidana di dalam lembaga pemasyarakatan.
Dalam menyelesaikan permasalahan kelebihan kapasitas ini, pemerintah harus bergeser dari sistem pemidanaan penjara ke arah restorative justice yang diterapkan sebelum masuknya pelaku tindak pidana ke lembaga pemasyarakatan. Keadilan restoratif sangat penting bagi tindak pidana kecil agar semua pelaku kejahatan tidak harus dimasukkan ke lembaga pemasyarakatan.
Restorative justice melalui mediasi penal harus dijadikan alternatif yang dapat menyelesaikan perkara yang terjadi di masyarakat secara efisien antara pelaku dan korban. Mediasi penal berupaya menemukan jalan tengah dengan mengutamakan musyawarah atas penyelesaian perkara pidana.
Pelaksanaan mediasi penal dalam tindak pidana ringan dapat dilakukan oleh hakim dengan menerapkan proses perdamaian antara pelaku dan korban, serta dapat juga melibatkan tokoh masyarakat. Sedangkan bagi pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika, hakim dapat memutuskan untuk dilakukan pengobatan dan rehabilitasi tanpa perlu dimasukkan ke dalam penjara.
Pelaksanaan restorative justice dalam sistem pemidanaan termasuk di dalamnya peradilan pidana harus dioptimalkan di seluruh wilayah Indonesia. Dalam menyelesaikan perkara, sistem pemidanaan yang awalnya dijatuhi hukuman penjara perlu diubah menjadi proses dialog dan mediasi yang melibatkan setiap unsur di masyarakat untuk bersama-sama menghasilkan kesepakatan yang seimbang dan adil antara pelaku dan korban dengan mengutamakan hubungan baik dalam masyarakat (Badilum MA, 2020).
Untuk mendukung implementasi restorative justice tersebut, asas ultimum remedium bisa diterapkan sebelum proses hukum berjalan, di mana sanksi pidana berupa hukuman penjara seharusnya menjadi upaya terakhir dalam menegakkan hukum. Adapun polisi dan jaksa selaku penegak hukum di masyarakat dalam melaksanakan ultimum remedium harus mengutamakan hukum yang progresif yang tidak hanya fokus pada kepastian hukum, tetapi juga memperhatikan kepentingan dan keadilan masyarakat.
Begitupun juga terhadap hakim yang merupakan gerbang terakhir atas penegakan hukum dalam menjalankan ultimum remedium harus menjadi pengadilan yang responsif dan sederhana dalam menemukan kebenaran dan keadilan. Maka dari itu, untuk melaksanakan tugas dan wewenang dari para penegak hukum dalam melayani masyarakat, sistem restorative justice harus dimuat dalam RUU KUHP dikarenakan RUU KUHP saat ini masih menerapkan sistem keadilan retributive yang berupa pembalasan. Apabila keadilan restoratif dimuat dalam RUU KUHP, penyelesaian konflik antara pelaku dan korban di luar proses pengadilan dapat dijamin berdasarkan hukum sehingga menciptakan rasa damai dan adil.
Restorative Justice Mendesak Direalisasikan
Sejatinya tujuan dari pidana penjara adalah ingin melindungi masyarakat agar terhindar dari perilaku menyimpang oleh pelaku kejahatan. Tetapi sistem pemidanaan ini justru tidak berjalan efisien dalam lembaga pemasyarakatan yang diakibatkan karena lebihnya kapasitas. Jumlah lembaga pemasyakatan yang kita miliki saat ini sangat minim dibandingkan dengan ratusan pelaku tindak pidana yang dikirim ke dalam penjara tiap hari.
Pembangunan sarana penampungan narapidana baru yang dibuat oleh pemerintah hanya menghabiskan uang rakyat yang sebenarnya dapat digunakan untuk kegiatan yang lebih bermanfaat dan begitu banyaknya pelaku tindak pidana kecil yang diadili dan dijebloskan ke penjara yang menimbulkan kepadatan yang tidak bisa diatasi oleh lembaga pemasyarakatan.
Maka dari itu, pemerintah yang merupakan perpanjangan tangan dari negara perlu menerapkan restorative justice dalam sistem pemidanaannya guna mengatasi kelebihan kapasitas ini. Pelaksanaannya dapat dilakukan dengan menyediakan mediasi penal di masyarakat serta mendorong para penegak hukum untuk menerapkan asas ultimum remedium.
Sebagai mahasiswa hukum yang dapat membantu pemerintah dalam mengurangi kelebihan kapasitas lembaga pemasyarakatan, menaati segala norma-norma yang ada baik dalam peraturan perundang-undangan maupun dalam masyarakat adalah upaya yang dapat ditempuh. Serta dapat memberikan bantuan hukum kepada korban dan pelaku yang dapat diselesaikan langsung secara damai dan tetap menjamin hak-hak para pihak.