Mengenal Al Ihsan Nambo sebagai Salah Satu Pesantren Tertua di Kabupaten Bandung Barat
Pesantren Al Ihsan Nambo didirikan KH. Nur Anwar Bin KH. Sujai atau Apih Enur, merupakan alumni pesantren Sukamanah Cibitung, Kabupaten Bandung Barat.
Adi Muhammad Kamil
Mahasiswa Peradaban Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
23 Juni 2022
BandungBergerak.id - Kampung Nambo Desa Cijambu merupakan wilayah Kecamatan Cipongkor Kabupaten Bandung (sebelum mekar menjadi kampung Nambo RT.001 RW.007 desa Sirnagalih, Kecamatan Cipongkor Kabupaten Bandung Barat pada tahun 2007) Provinsi Jawa Barat, Indonesia.
Sebagian masyarakat Kecamatan Cipongkor khususnya yang berada di wilayah Desa Cijambu memiliki kearifan lokal yang secara umum terdapat pula pada beberapa kelompok/masyarakat minoritas atau masyarakat adat di Indonesia, yakni menjunjung nilai luhur budaya bangsa sebagai identitasnya.
Selanjutnya, Islam menyebar di kampung ini dan menjadi bagian dari identitasnya. Perkembangkan dan penyebaran agama Islam di Kampung Nambo tidak terlepas dari peranan pesantren dan seorang tokoh agama atau yang disebut kiai.
Salah satu pesantren di sana bernama Pondok Pesantren Al Ihsan Nambo yang didirikan KH. Nur Anwar Bin KH. Sujai, atau yang lebih dikenal dengan Apih Enur, merupakan alumni pesantren Sukamanah Cibitung, Rongga, Kabupaten Bandung Barat. Di mana pesantren ini didirikan pada tahun 1945, jika dibandingkan maka setara dengan usia kemerdekaan negara kita.
Nah, Apih Enur adalah seorang kiai perantauan luar Kabupaten Bandung, berasal dari Cikalongkulon Cianjur. Lahir di Kampung Warudoyong Desa Warudoyong Kecamatan Cikalongkulon Kabupaten Cianjur, pada hari Senin tanggal 17 Ramadan tahun 1334 Hijriah/tahun 1912.
Apih Enur merupakan anak kedua dari dari pasangan K.H Sujai yang lahir tahun 1876 dan wafat tahun 1988 dan Hj. Iyah yang lahir tahun 1882, dan wafat tahun 1974. Beliau mempunyai dua saudara yang terdiri dari kakak perempuan yaitu Hj. Ijot (Alm) dan memiliki adik perempuan, yaitu Hj, Masitoh (Alm) di Babakan Tipar Desa Limbangan, Cianjur.
Latar belakang K.H. Sujai dan Hj. Iyah bukan biasa. Dengan demikian secara genealogis Apih Enur terlahir dari keturunan yang berasal dari kalangan ulama.
Kedatangan Apih Enur pada tahun 1945 ke Kampung Nambo memiliki tujuan untuk mengembangkan ajaran agama Islam melalui dakwah, tetapi dakwah di sini dilakukan dengan cara mengajarkan ilmu agama kepada pemuda setempat yang kemudian menjadi santri-santri beliau, dan mengadakan ahadan (kumpulan) khusus ibu-ibu yang lebih membahas tentang tata cara beribadah (fiqih).
Apih Enur tidak semata-mata memilih wilayah ini sebagai tempat untuk bersinggah dan menetap, tetapi karena adanya perjodohan oleh tetua Kampung Nambo, yaitu dijodohkan oleh H. Sarbini, yang menginginkan seorang pemuka agama untuk membawa kampung Nambo ke jalan yang lebih baik lagi dan seligus untuk menjadi kepala keluarga atau imam bagi anak perempuannya yaitu Hj. Elis (Emak Nyai).
Guru Apih Enur bernama kiai mama H. Ilyas, pimpinan Pondok Pesantren Sukamanah Cibitung, Rongga, Kabupaten Bandung Barat. Hingga Apih Enur wafat pada tahun 2009, dakhwahnya menghasilkan kontribusi dan pengaruh besar terhadap perkembangan ajaran Islam di Kampung Nambo hingga sekarang.
Setelah dijodohkan, menikah dan menetap di Kampung Nambo, Apih Enur tidak langsung mendirikan pesantren untuk menyebarkan dakhwahnya, tetapi Langkah awal dakhwah yang dilakukan Apih Enur diawali dengan mengajak keluarga terdekatnya untuk terlebih dahulu membenahi diri, merenung dan memohon ampunan kepada Allah, untuk menjdi pribadi yang lebih baik lagi.
Baca Juga: CERITA DARI BANDUNG BARAT #1: Para Pemuda Perawat Tradisi di Kampung Pojok
CERITA DARI BANDUNG BARAT #2 : Baju Pemberian Eril untuk Perintis Kebaikan di Batujajar
Thomas Jefferson, Pejuang Kesetaraan dan Kebebasan Universal
Pernah Mendapat Penolakan
Lika-liku dalam pendirian pesantren sangatlah banyak, salah satunya adalah pernah mendapatkan penolakan dari masyarakat setempat karena Apih Enur hanyalah seorang pendatang di Kampung Nambo. Namun dengan keteguhan hati lambat laun masyarakat pun mengerti dan menyadari pentingnya pesantren yang pada akhirnya masyarakat meminta maaf kepada beliau, kemudian menyetujui dan membantu dalam pendirian pondok pesantren tersebut.
Singkatnya, pesantren pun mengalami kemajuan yang pesat, banyak sekali santri yang berdatangan untuk menuntut ilmu, baik warga setempat ataupun masyarakat luar. Walaupun pesantren ini hanya diperuntukan bagi santri laki-laki saja, namun setiap tahunnya justru lebih banyak berdatangan dari berbagai daerah bahkan ada yang dari luar pulau Jawa.
Untuk metode pengajaran pesantren Apih Enur ini merupakan salah satu pesantren yang masih menggunakan metode pembelajaran tradisional. Di mana proses pembelajarannya menggunakan metode sorogan, halaqoh, serta bandongan. Awal mula berdirinya pesantren sampai dengan sekarang, pembelajaran kitab-kitab klasik memang diutamakan, makanya menggunakan metode bandongan/wetonan serta soragan dan hafalan, kKarena memang fokus pembelajaran kepada agama Islam.
Metode ini merupakan metode yang cocok untuk pesantren tradisional. Dan metode tradisional ini diyakini sebagai salah satu hal yang menjadi penguat masih berdirinya pesantren hingga sekarang.
Kontribusi pesantren ini untuk masyarakat, adalah sebagai institusi pendidikan yang telah berusia puluhan tahun berlangsung dengan cara sederhana sehingga julukan tradisional pada pesantren sebenarnya lebih merupakan bentuk penyederhanaan dari masalah yang belum tuntas.
Pada masa awal-awal berdirinya pesantren, peran dan konstribusinya tidak lebih hanya pada bidang keagamaan, yaitu sebagai dakhwah, dan syi’ar dalam memperluas jaringan Islam. Tetapi sekarang telah memberikan kontribusi yang besar dalam bidang pendidikan keagamaan, dengan menciptakan proses belajar yang otonom, memberikan ruang dan kesempatan kepada masyarakat umtuk bisa mendapatkan syi’ar serta pendidikan islam nonformal.
Pengaruh K.H. Nur Anwar serta metode pengajaran salafinya yang masih orisinil, diterapkan hingga kini menjadi daya tarik masyarakat yang ingin mendalami ilmu agama untuk belajar di Pesantren Al Ihsan Nambo ini. Sekarang Pondok Pesantren diteruskan oleh menantu K.H Sobur (Alm) sekaligus cucu pertama Apih Enur yaitu K.H. Dadan Hamdulloh suami dari Hj. Eneng dan setiap tahunnya jumlah santri semakin banyak karena metode pengajarannya yang masih tradisional sehingga menarik minat masyarakat.