• Opini
  • Rumah dan Kesejahteraan untuk Manusia Gerobak

Rumah dan Kesejahteraan untuk Manusia Gerobak

Manusia gerobak merupakan salah satu bagian dari kelompok tunawisma yang menjadikan gerobak dorongan sebagai rumahnya. Mereka rentan tidak mendapatkan bansos.

Vinensia Viona Pinaung

Mahasiswi Fakultas Hukum Unpar.

Warga tunawisma bersama anaknya di atas gerobak melintasi jalanan di Bandung, Jawa Barat, 29 Oktober 2021. Kaum marjinal seperti ini dipastikan luput dari pendataan penerima bantuan sosial pemerintah karena tidak memiliki KTP atau Kartu Keluarga. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id.)

24 Juni 2022


BandungBergerak.idSekitar 90 tahun yang lalu, seorang Tionghoa bernama Sie Kong Lian menyediakan ruangan di indekosnya kepada para pemuda yang tergabung dalam gerakan pembangkangan. Kala itu yang tergabung dalam gerakan pembangkangan maupun yang membantu mereka, diburu oleh intel pemerintah kolonial Hindia Belanda. Sehingga tindakan Sie Kong Lian yang mengabaikan hal tersebut sangatlah berjasa.

Tidak muluk-muluk, para pemuda tersebut hanyalah membutuhkan tempat tinggal yang rela menampung mereka agar tetap bisa berdiskusi perihal realita kebangsaan.

Begitu pula dengan manusia gerobak atau tunawisma di era sekarang yang membutuhkan rumah sebagai tempat mereka berlindung dari terik matahari dan derai hujan. Manusia gerobak merupakan salah satu bagian dari tunawisma yang menjadikan gerobak dorongan sebagai rumahnya. 

Perlu diakui bahwa keberadaan manusia gerobak yang kerap bertebaran sangat mengganggu aktivitas di jalan. Pemerintah sudah banyak berupaya untuk menanggulangi permasalahan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) ini. Mulai dari aspek hukumnya, yaitu dengan dikeluarkannya Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2012 tentang Pembinaan dan Pengawasan Ketertiban Umum hingga dilakukannya pendekatan yang salah satunya ialah konsep housing. Namun, penanggulangan manusia gerobak dengan konsep housing oleh pemerintah hanya menghabiskan uang negara karena pada akhirnya mereka tetap kembali mengemis. Dengan kata lain, mereka memilih hidup dalam sebuah gerobak karena belum ada kesejahteraan yang tercapai di konsep housing tersebut.

Konsep housing merupakan layanan pemerintah yang menyediakan tempat layak huni dengan sarana prasarananya untuk mereka yang tergabung dalam PMKS. Pendekatan dengan konsep tersebut melahirkan beberapa rumah susun sederhana sewa (Rusunawa) di Bandung, Jakarta, Tangerang, Depok, dan beberapa wilayah lainnya. Tujuannya tidak lain adalah memberdayakan masyarakat yang tidak berpenghasilan serta dapat mengurangi kekumuhan. Memang, hasil dari kebijakan ini disambut meriah oleh mereka yang membutuhkan, terlebih lagi para manusia gerobak.

Namun, sayang sekali, apa yang seharusnya tertanam dalam program rehabilitasi di dalamnya, tidak memberikan dampak yang berkepanjangan. Siklus manfaat pada rangkaian program hanya berlangsung di rusunawa dan tidak berkelanjutan hingga manusia gerobak dan PMKS lainnya keluar.  

Banyak dari mereka yang kembali ke jalan karena memandang bahwa perbuatan demikian lebih menguntungkan. Ada juga mereka yang bertahun-tahun tinggal di rusunawa, padahal menghuni di sana bersifat sementara [Arif, M. (2022, April 11). Pemberdayaan Masyarakat Penghuni Rusunawa. Kumparan.]. Dan ada juga yang menjual kembali bantuan pemerintah dalam modal usaha untuk kepentingan di luar kewirausahaan [Warsono, A. (2014, Juni 30). Mental tak Berubah PMKS Jual Bantuan Pemerintah. Tempo.]. 

Skema pelaksanaan konsep housing terdiri dari rehabilitasi sosial yang membina dan memberdayakan para manusia gerobak. Setiap harinya mereka mendapatkan pendidikan, pelatihan vokasional, dan pembinaan kewirausahaan yang berfungsi untuk meningkatkan mutu mereka dalam beberapa sektor. Rusunawa yang telah tersebar di beberapa wilayah memiliki aturan tersendiri mengenai waktu batasan menghuninya. Dalam Pasal 5 ayat (4) Peraturan Gubernur Nomor 111 Tahun 2014 menuliskan bahwa penghuni dibatasi menyewa selama 2 tahun. Pada dasarnya mereka boleh memperpanjang kontrak tersebut.

Namun, menjadi sebuah pertanyaan tersendiri jika penghuni rusunawa menetap lebih dari jangka waktu yang ditentukan. Mengingat lagi bahwa terdapat banyak daftar tunggu yang perlu dipenuhi. Dengan fakta demikian, rangkaian program yang diberlakukan oleh rusunawa belum tepat sasaran. Hal yang diinginkan para manusia gerobak itu ialah rumah dan kesejahteraan yang cukup. Jika mereka sekeluarga keluar dari rusunawa tanpa adanya kepastian dari sumber penghasilan, dimanakah mereka akan tidur selain di gerobak yang senantiasa ada dalam langkahnya.

Dalam kehidupan sehari-hari, tidak jarang kita memberikan konotasi negatif terhadap kaum PMKS. Padahal ketidakbebasan mereka dalam hal finansial juga dipicu oleh tidak ratanya laju pertumbuhan penduduk dengan lapangan pekerjaan yang ada.

Kriteria yang dibutuhkan oleh para pelaku usaha terbilang sangat banyak dengan kemampuan mereka yang sedikit. Selain aksi dari pemerintah, para pelaku usaha dan masyarakat kelas atas diharapkan ikut berperan dalam penanggulangan manusia gerobak. Harapan seperti ini dapat menimbulkan pertanyaan: apa sudah layakkah para manusia gerobak itu untuk dipekerjakan? Dasar kompetensi yang minim membuat segala kemungkinan—terkait hal yang dapat mengacaukan siklus kelangsungan pekerjaan—sangatlah besar. Lagi-lagi, hal ini menjadi tugas bagi pemerintah untuk meyakinkan bahwa para penghuni rusunawa itu sudah layak untuk menjadi pekerja.

Penanggulangan manusia gerobak dengan pendekatan housing yang dilakukan oleh pemerintah memang terkesan hanya menghabiskan uang negara. Reaksi PMKS dalam menyikapi program pembinaan dan rehabilitasi sosial itu menjadi pemicu hal demikian.

Baca Juga: Gedung tua kedai teh dan makan siang/patisserie Maison Bogerijen terletak di sudut Bragaweg dan Oude Hospitaalweg di Bandoeng. Foto diambil sekitar tahun 1920. (KIT
Haul Inggit Garnasih, Mengenang Ibu, Teman, dan Kekasih
Memotret Harapan yang Digariskan Takdir Pagebluk

Peran Mahasiswa

Dengan jiwa menyerupai Sie Kong Lian, kita sebagai mahasiswa dapat menjadi bagian dalam peran penting bersama pemerintah dan pelaku usaha. Entah secara individu atau dalam suatu perkumpulan, kita bisa mencetus ide baru dalam membantu menanggulangi manusia gerobak yang kerap bertebaran setiap tahunnya. Sebagai contohnya adalah menjadi narahubung antarmanusia gerobak dan pihak ketiga. Jembatan yang kita buat dapat ditarik, baik ke pelaku usaha, program-program sertifikasi, hingga program penyedia magang. Mahasiswa dapat turun langsung dalam perihal konsultasi dan penyortiran manusia gerobak yang siap untuk keluar dari rusunawa.

Pembinaan pada serangkaian program rehabilitasi di rusunawa dapat lebih dipilah lagi sesuai keminatan PMKS masing-masing. Hal ini kelak memudahkan sektor apa yang akan dijadikannya sebagai pekerjaan. Mereka yang menunjukkan minat pada sektor perkebunan akan dialihkan ke pelaku usaha yang bergerak di bidang tersebut. Berlaku sama untuk mereka yang menunjukkan minat pada dunia kewirausahaan. Sebelum mereka mendapatkan bantuan berupa modal usaha, pemerintah terlebih dahulu harus memastikan bahwa orang yang bersangkutan layak untuk diberikan. Demi tidak terulangnya kembali kejadian menjual bantuan modal usaha.

Dengan dilakukannya rangkaian program tambahan ini, diharapkan dapat meyakinkan pihak pelaku usaha untuk mempekerjakan manusia gerobak dan PMKS lainnya. Kepastian para manusia gerobak mendapatkan pekerjaan juga sembari terjawab dengan adanya rangkaian program tambahan ini. Kelak jika siklus pemberdayaan masyarakat dapat berjalan lancar, para penghuni yang sudah keluar dari rusunawa dapat terbebas dari bayang-bayang ketidaksejahteraan.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//