NGULIK BANDUNG: Maison Bogerijen, Restoran Kerajaan Belanda di Jalan Braga #1
Perang Dunia 1 mempengaruhi ekonomi dunia, tak terkecuali Hindia Belanda. Leendert van Bogerijen justru melihat peluang di Jalan Braga.
Merrina Listiandari
Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB: Merrina Kertowidjojo, IG: merrina_kertowidjojo, atau FB page: Djiwadjaman
24 Juni 2022
BandungBergerak.id - Lampu warna-warni menerangi sepanjang Jalan Braga, hiruk pikuk kendaraan lalu lalang di sepanjang jalan legendaris di Kota Bandung. Alunan musik Hawaiian terdengar dari Braga Permai, sebuah restoran bernuansa khas yang sangat kental akan aroma peninggalan zaman kolonial.
Maison Bogerijen, adalah nama asli restoran tersebut, yang merupakan satu dari sekian banyak bangunan heritage, yang berjajar sepanjang ruas Jalan Braga. Tampak benar pemerintah Kota Bandung berusaha dengan sangat baik untuk mempertahankan keaslian jalan yang sohor ini.
Bandung hingga abad ke-19 bukanlah sebuah kota yang ramai, minim hiburan, dan tempat untuk pelesir. Adalah, Klaas de Vries, seorang Eropa yang mulai membangun sebuah warung kelontong pada tahun 1895 di bagian utara alun-alun Bandung saat itu. Sebagai satu-satunya toko yang menjual beraneka barang keperluan sehari-hari, otomatis masyarakat Bandung mengandalkan toko kelontong ini.
Kondisi tersebut membuat warung ini membutuhkan tempat yang jauh lebih besar. Maka pada tahun 1899 De Vries akhirnya pindah ke Groote Postweg, atau Jalan Asia Afrika kini, persis di ujung Jalan Braga (Ramadhan, R. dkk., 2015). Tak ayal De Vries, selalu ramai didatangi warga Bandung, tidak hanya untuk berbelanja, namun dijadikan semacam markas bagi perkumpulan masyarakat yang didirikan pada tahun 1879, Societeit Concordia.
Para pemilik perkebunan, tokoh-tokoh masyarakat serta orang-orang kaya Bandung, penggagas Societeit Concordia, senang untuk berkumpul atau sekedar kongko minum-minum kopi di warung De Vries. Keberadaan De Vries bersama perhimpunan Societeit Concordia inilah yang memiliki andil sangat besar akan berkembangnya Bragaweg, sebutan Jalan Braga dulu.
Situasi Bragaweg Membuka Berbagai Peluang Usaha
Pemindahan gedung De Vries, dari bagian utara alun-alun Bandung, bekas lokasinya kini digunakan sebagai Gedung BRI, ke pertigaan Groote postweg dan Bragaweg tepat bersebelahan dengan Hotel Savoy Homaan, bukanlah tanpa sebab. Menurut Moch. Ginanjar Busiri, dalam karya tulisnya untuk Prosiding Seminar Heritage IPLBI, 2017, hal tersebut dianggap sebagai strategi marketing yang tepat mengingat posisinya yang strategis.
Maka warung De Vries yang berubah menjadi toko serba ada ini semakin menarik perhatian pengunjung. Berbanding lurus dengan hal tersebut, situasi ini membuka mata para pengusaha untuk turut serta membuka berbagai jenis usaha di sekitarnya. Sehingga tak berlebihan bila De Vries dianggap memiliki andil yang sangat penting bagi kemajuan Bragaweg.
Bragaweg yang awalnya hanyalah pemukiman penduduk biasa, mulai beralih fungsi menjadi tempat untuk berbisnis. Hotel, bank, toko pakaian, restoran, toko jam Swiss hingga toko senjata bermunculan. Setiap malam Bragaweg disinari cahaya-cahaya dari lampu-lampu yang menerangi setiap toko. Sangat khas kala itu, meninggalkan kesan menarik bagi warga Bandung dan hal tak terlupakan bagi masyarakat Hindia Belanda yang pernah mengunjungi Bandung.
Situasi Ekonomi Menggoyahkan Usaha Café Hollandais
Perang Dunia 1 (1914-1918) mempengaruhi situasi ekonomi dunia, tak terkecuali Hindia Belanda. Harian Bataviaasch nieuwsblad, 8 Mei 1915, melaporkan banyak pengusaha yang mengeluhkan betapa sulitnya bagi pedagang dan pebisnis untuk melanjutkan usaha mereka. Inflasi terjadi, sehingga banyak usaha terutama yang dijalankan oleh orang-orang Cina mengalami kebangkrutan. Café Hollandais milik Van Rooy menjadi tempat yang paling tepat bagi para pengusaha tersebut untuk saling berkeluh kesah.
Keresahan terjadi di mana-mana, semua orang tampak sedang mengalami mimpi terburuknya, dan berusaha mengenyahkan mimpi buruk mereka dengan mencari hiburan. Beragam tiket pertunjukan di mana-mana habis terjual, walau harga tiket naik dua kali lipat. Bahkan De Vries dengan Societeit Concordia-nya mengadakan pertunjukan terakhir sebagai salam perpisahan, karena merasa keberatan dengan biaya yang harus dikeluarkan setiap mengadakan pertunjukan.
Kondisi ekonomi yang buruk, mempengaruhi W.A. van Rooy pemilik usaha Café Hollandais, café favorit semua orang untuk datang minum kopi sembari berkeluh kesah. Van Rooy mengubah usahanya menjadi berbentuk perseroan terbatas publik. Siapa pun yang membeli saham kepemilikan Café Hollandais, dapat menjual usaha tersebut bahkan bisa bekerja sama untuk memperluas bisnis (De Preanger-bode, 31 Maret 1916).
Dalam kondisi terburuknya, harian Bataviaasch nieuwsblad, 27 Oktober 1917, memberitakan bahwa Van Rooy masih dapat berkarya menciptakan ragi jenis baru yang sangat tepat untuk membuat roti dengan rasa yang sangat enak dan tekstur yang sangat lembut. Keamanan bahan baru tersebut bahkan telah diuji di Laboratorium Kimia Handels di Buitenzorg, dan sangat layak untuk dikonsumsi.
Penemuan Van Rooy ini sontak menimbulkan pembicaraan dan banyak diberitakan di koran-koran di seantero Hindia Belanda. Roti dengan ragi jenis baru ini akan menjadi bisnis yang sangat baik bila menemukan tempat yang cocok, mewah, dan lebih berkelas. Akan sangat luar biasa bila toko roti Eropa dapat didirikan. Tentu saja, dengan modal yang tidak sedikit (De Preanger-bode, 23 November 1917).
Leendert van Bogerijen Membeli Café Hollandais
Berbagai usaha yang dilakukan W.A. van Rooy untuk membuat bisnis café-nya lebih baik, tampaknya tidak membuahkan hasil. Usahanya yang telah berubah ke perseroan terbatas, membuatnya menjadi potongan-potongan kecil dengan penjualan saham yang dilakukannya. Beberapa pemilik saham telah lama menjual bagian mereka untuk usaha yang lain (Deli courant, 13 Desember 1916).
Mimpinya untuk memiliki restoran mewah tampaknya harus pupus. Penemuannya atas pengganti ragi untuk membuat roti harus rela dia lepaskan. Maka pada akhirnya dia harus menjual kepemilikan usahanya pada orang lain.
Adalah Leendert van Bogerijen, seorang warga yang berasal dari Weltevreden, Batavia, yang telah lama mendengar tentang betapa sohornya Bragaweg. Dia melihat sebuah peluang usaha saat W.H. van Rooy menjual Café Hollandais. Maka, seperti yang telah diberitakan dalam koran De Preanger-Bode, 7 Agustus 1918, W.H. van Rooy telah resmi menutup bisnisnya dan dibeli oleh L. Bogerijen dengan harga 12.750 Gulden, menang atas Tn. Vlietstra dari Bataviasche Bierhal yang menawar di angka 12.250 Gulden.
Baca Juga: NGULIK BANDUNG : Buitenzorg, Kota Pertama Pembudidaya Buah Nanas Khas Bandung Barat
NGULIK BANDUNG : Saling Memaafkan, Tradisi Lebaran Khas Nusantara
NGULIK BANDUNG: Tradisi Ramadan Kaum Pribumi di Mata Masyarakat Eropa Zaman Kolonial
Restoran Maison Bogerijen Resmi Dibuka
Beralihnya kepemilikan Café Hollandais dari W.A. van Rooy menjadi milik L. van Bogerijen resmi dilakukan. Bahkan surat kabar De Preanger Bode, 19 Agustus 1918 memberitakan bahwa Wali Kota Bandung, Bertus Coops mengumumkan bahwa Café Hollandais yang terletak di Bragaweg 64, tepatnya berada di pertigaan Bragaweg dan Oud Hospitalweg (sekarang Jalan Lembong), telah menjadi milik L. van Bogerijen. Di tempat tersebut akan didirikan sebuah restoran yang menjual minuman keras, dan restoran tersebut diberi nama Maison Bogerijen.
Rencana pembukaan Maison Bogerijen telah diberitakan oleh De Preanger-bode, 6 September 1918. Koran tersebut menulis bahwa Sabtu, 7 September 1918 pukul 5 sore, restoran tersebut akan dibuka. Maison Bogerijen akan beroperasi dalam pijakan yang sama dengan pendahulunya Café Hollandais, namun dengan tampilan berbeda. Jumlah kursi ditambah, halaman rumput diubah menjadi teras yang akan menambah daya tarik. Pembukaan restoran tersebut dipastikan akan meriah dengan ditampilkannya orkestra dari Batalyon ke-15.
Hari Sabtu yang ditunggu oleh masyarakat Bandung pun tiba. Kursi-kursi telah ditambahkan di halaman Maison Bogerijen di pertigaan Bragaweg. L. van Bogerijen dianggap sukses mengubah bangunan bekas café Hollandais, alih-alih disebut sekedar perbaikan. Kursi-kursi yang dipasang tersebar di halaman, di bawah pohon rindang yang menjulang tinggi, menambah indah suasana restoran yang baru dibuka tersebut.
Musik mengalun di bagian depan restoran, beberapa rangkaian bunga yang indah terpasang di dekat kaki para pemusik. Pengunjung terus berdatangan, suasana yang ramai dan lampu-lampu yang menerangi restoran memberi daya tarik tersendiri. Para pasangan senang duduk di tepi jalan yang ramai sambil memperhatikan lalu lalang kendaraan. Para tentara lebih memilih bar minuman keras. Benar-benar sebuah pesona baru! L. van Bogerijen benar-benar tahu cara untuk menjalankan bisnisnya (De Preanger-bode, 8 September 1918).
*Tulisan kolom Ngulik Bandung, yang terbit setiap Kamis, merupakan bagian dari kolaborasi antara www.bandungbergerak.id dengan Komunitas Djiwadjaman