NGULIK BANDUNG: Tradisi Ramadan Kaum Pribumi di Mata Masyarakat Eropa Zaman Kolonial
Tradisi bulan Ramadan di nusantara membuat heran orang Eropa di zaman kolonial. Bulan sakral umat Islam ini mampu menghentikan segala kegiatan, bahkan perang.
Merrina Listiandari
Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB: Merrina Kertowidjojo, IG: merrina_kertowidjojo, atau FB page: Djiwadjaman
21 April 2022
BandungBergerak.id – Menyingkap tabir kehidupan yang terjadi di masa lampau selalu menjadi hal menarik. Banyak budaya yang dilakukan masyarakat kini, ternyata memang warisan yang telah dilakukan nenek moyang di nusantara sejak berabad-abad lalu. Salah satunya adalah budaya masyarakat Islam yang terkait dengan poeasa Ramadan dan lebaran yang menarik perhatian masyarakat Eropa di nusantara pada zaman kolonial.
Bangsa kolonial saat itu memandang budaya Islam di nusantara sebagai budaya masyarakat pribumi yang sangat jauh dari kebudayaan Eropa yang terdidik. Termasuk menganggap bahwa Islam hanyalah sebuah sekte pengikut seseorang bernama Muhammad, yang dibawa oleh orang-orang dari Kesultanan Abbasiyah Turki, melalui Aceh, yang ajarannya merupakan pengembangan dari ajaran Yahudi dan Kristen, seperti yang ditulis dalam sebuah artikel di De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 07 Juni 1873.
Pandangan bangsa kolonial yang sangat stereotip tersebut ditulis dan dibahas pada sebelas tulisan berseri oleh seorang misionaris bernama C. Poensen berjudul Brieven van een desaman (Surat dari Seorang Desaman), yang dimuat pada harian Soerabaijasch handelsblad, 20 Juni 1883 hingga 5 November 1883. Tulisan mendalam ini kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku berjudul Brieven Over Den Islam, Uit Binnenlanden Van Java, yang berarti Surat-Surat dalam Islam dari Pedalaman Jawa yang terbit tahun 1886.
Sebagai seorang misionaris yang telah berbaur serta bergaul erat dengan masyarakat pribumi, C. Poensen mencoba meluruskan pandangan negatif pada Islam. Dengan sangat apik C. Poensen menjelaskan budaya Islam yang dijalankan masyarakat pribumi untuk mematahkan stereotip masyarakat Eropa saat itu.
Salah satunya dengan menerangkan kebiasaan dan tradisi poeasa Ramadan dan lebaran masyarakat di pedalaman Jawa dalam tulisan-tulisannya tersebut. Yang menarik, C. Poensen mencatat tradisi dan kebiasaan masyarakat saat Ramadan dan lebaran yang justru masih dijalankan hingga saat ini.
Pekerja, Upah di Muka, dan tradisi Megengan
Masyarakat Eropa di Jawa tahu persis, ada sebuah bulan khusus yang disakralkan oleh masyarakat asli di Hindia Belanda. Satu bulan penuh itu dianggap suci oleh orang-orang saleh pengikutnya yang dijalani dengan berpuasa. Dalam satu bulan itu kaum pribumi akan banyak melakukan berbagai hal yang tidak dilakukan pada bulan-bulan lainnya. Malam-malam yang terasa lebih hidup dan siang-siang yang lebih sepi karena penduduk lebih banyak melakukan aktivitas di dalam rumah sembari berpuasa. Mereka, para tuan berkulit putih itu tahu, namun mereka tidak tahu kapan persisnya bulan tersebut dimulai.
Kaum pribumi yang bekerja pada tuan-tuan mereka, bekerja dengan giat seperti biasa. Tangan-tangan mereka terampil bekerja dan tidak berhenti sebelum waktu istirahat tiba. Hingga hari Jumat atau Sabtu terakhir hari kerja, di sinilah kelucuan mulai tampak.
Para pekerja bekerja lebih giat dari hari-hari sebelumnya. Setelah tuntas pekerjaannya mereka menemui majikan dengan senyuman khas yang lebih dari biasanya, bahkan terkesan sedikit mencurigakan. Mereka berharap untuk dapat mengambil upah mereka lebih cepat, atau diizinkan untuk meminjam uang. Dari tabiat para pekerja yang telah berlangsung sejak lama, toean dan njonja Eropa paham “Ramadan tiba!” (Soerabaijasch handelsblad,21 Juli 1883).
Upah yang diminta di muka tersebut akan dipergunakan untuk membeli bahan makanan untuk dipergunakan memasak dan menyediakan makanan istimewa untuk dimakan bersama menyambut Ramadan. Masyarakat Jawa menyebut tradisi ini megengan, sebuah kebiasaan memasak dan menyediakan makanan istimewa untuk dimakan bersama. Tradisi yang juga disebut moenggahan di masyarakat Sunda ini dilakukan sembari duduk-duduk dan berkumpul bersama yang disebut djagongan. Tradisi munggahan yang dilakukan sehari sebelum poeasa masih berlangsung hingga kini di hampir pelosok negeri dengan nama yang berbeda-beda.
Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Ramadan di Zaman Kolonial
NGULIK BANDUNG: Mata Air Cikendi, Dulu Berjasa kini Dilupakan
NGULIK BANDUNG: Belajar dari Negeri Beribu Leuit, Kasepuhan Ciptagelar (Bagian 1)
Tradisi Padusan dan Nyekar Makam Keluarga
Dalam tulisannya C. Poensen juga menyebutkan, masih satu rangkaian dengan tradisi medengan yang dilakukan sehari menjelang bulan Ramadan, terdapat tradisi yang juga cukup membuat toean dan njonja pusing. Bagaimana tidak, sehari menjelang poeasa, rata-rata pekerja pribumi sudah tidak masuk dengan alasan harus melaksanakan tradisi “wajib” menjelang bulan Ramadan yaitu padusan dan nyekar. Padusan berasal dari kata adus dalam bahasa Jawa yang artinya mandi dan nyekar berasal dari kata sekar yang artinya bunga.
Padusan adalah sebuah tradisi unik yang dilakukan oleh masyarakat Jawa menjelang bulan Ramadan. Tradisi ini dilakukan dengan berendam atau mandi di sumur atau sumber-sumber air lainnya. Padusan sendiri memiliki makna sebagai upaya menyucikan diri serta membersihkan jiwa dan raga dalam menghadapi bulan suci yang akan tiba. Tradisi turun-temurun ini masih dilakukan oleh masyarakat di Jawa hingga kini.
Selain padusan, mengunjungi makam orang-orang yang dicintai pun adalah rangkaian “wajib” lain yang dilakukan secara turun-temurun bagi masyarakat jawa menjelang bulan Ramadan. Dalam tradisi Jawa disebut nyekar, atau nadran dalam budaya Sunda, yang berarti menabur bunga-bungaan pada pusara keluarga yang dicintai. Sebuah tradisi yang sarat dengan filosofi yang masih dipertahankan hingga kini.
Perang pun “Libur” Saat Ramadan Tiba
Menjadi sebuah fenomena unik yang menjadi perhatian bangsa kolonial tentang Ramadan. Mereka heran dan bertanya-tanya, apa sebenarnya bulan poeasa ini?
Berita yang terbit di Soerabaijasch handelsblad tanggal 21 Juli 1883 menyebutkan dalam bulan puasa tahun 1300 Hijriah, militer Hindia Belanda bersiap untuk menerima serangan baru di Aceh. Serangan tersebut diperkirakan akan mereka hadapi pada akhir bulan ini. Namun apa yang mereka tunggu tidak pernah terjadi.
Beberapa surat kabar memberitakan bahwa pemerintah telah menerima telegraf dari Aceh, yang isinya “tidak ada berita penting, semua dalam kondisi tenang, tidak ada serangan dari musuh”. Sebuah kabar yang menggembirakan, sekaligus membuat heran. Belakangan mereka mengetahui, gencatan senjata tersebut terkait dengan kedatangan bulan Ramadan, sebuah bulan yang disucikan oleh umat Islam, kepercayaan yang dianut masyarakat Aceh.
Tradisi Ngemisan dan “Keributan” Malam-Malam Ramadan
Sebagai orang Eropa yang tinggal di antara kaum pribumi Jawa, C.Poensen mengenal betul kebiasaan muslim di pedalamam Jawa. Dalam salah satu tulisannya, ada beberapa kebiasaan para pribumi yang mengganggu orang-orang Eropa yang baru mengenal kebiasaan itu. Sebuah kebiasaan umat muslim di kampung-kampung Jawa yang memiliki madrasah atau sekolah agama Islam, setiap hari Kamis terdapat tradisi kemisan.
Kemisan adalah sebuah kegiatan yang dipimpin oleh seorang kiai dengan memimpin doa para santrinya dengan suara yang keras. Doa dalam bahasa Arab, berupa harapan, permohonan dan permintaan yang oleh masyarakat Jawa disebut sebagai ngemisan atau ngemis.
Suara yang keras akan lantunan doa-doa ngemisan tersebut bagi masyarakat Eropa yang baru sekali tinggal di daerah Jawa, tentu akan terasa mengganggu. Dapat dibayangkan apa yang mereka rasakan saat bulan Ramadan tiba dan mendengar selama 30 hari penuh di setiap malam. Doa-doa diperdengarkan dengan suara keras, sejak matahari terbenam setelah berbuka puasa hingga saatnya waktu isya, atau ngisya dalam bahasa Jawa. Dan itu pun masih diteruskan setelah ngisya dengan membunyikan tetabuhan untuk memanggil orang-orang melakukan ibadah tarawih. Bagi orang-orang Eropa, Ramadan adalah bulan terberisik namun terasa hangat karena malam-malam terasa lebih hidup.
Tradisi Maleman
Bagi masyarakat Jawa, tradisi maleman berakar dari sebuah hikayat Melayu Seribu Masail, yang banyak diceritakan para kiai (ulama) mengenai keutamaan menghidupkan 10 malam terakhir di bulan Ramadan. Semua umat Islam sangat berharap akan kebaikan dari sebuah malam yang dikatakan penuh rahmat dan berkah melebihi kebaikan yang dilakukan selama seribu bulan, lai lato-e-l-qadri atau Lailatul Qadar.
Tradisi maleman ini biasanya sangat ditunggu oleh masyarakat, karena para raja, pangeran dan para bangsawan, berkeliling kampung di malam hari sembari memberikan sedekah berupa makanan bagi para penduduk. Bagi masyarakat biasa, tradisi maleman dilakukan dengan berkumpul untuk makan bersama di rumah kepala desa selain dengan menghidupkan malam-malam tersebut dengan ibadah.
Setelah 30 hari penuh kaum muslim di Jawa melaksanakan rangkaian ibadah berbalut tradisi, bulan Ramadan pun berakhir. Pada 1 Syawal, puasa berakhir, saatnya umat Islam merayakan hari yang ditunggu-tunggu yaitu Gerebeg Poeasa atau lebaran kupat alias Idul Fitri.
*Tulisan kolom Ngulik Bandung, yang terbit setiap Kamis, merupakan bagian dari kolaborasi antara www.bandungbergerak.id dengan Komunitas Djiwadjaman