• Kolom
  • NGULIK BANDUNG: Ramadan di Zaman Kolonial

NGULIK BANDUNG: Ramadan di Zaman Kolonial

Orang Eropa di Hindia Belanda awalnya memandang dengan syak wasangka pada Islam dan pemeluknya. Puasa dan perayaan lebaran perlahan melunakkan pandangan tersebut.

Ahmad Fikri

Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB page: Djiwadjaman

Penyembelihan seekor sapi, sehari sebelum Prapaskah (puasa) di Poelau Raja, lepas pantai barat Aceh. Foto diambil sekitar tahun 1894. (sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)

15 April 2022


BandungBergerak.id - Koran Soerabaijasch handelsblad sepanjang tahun 1883 menerbitkan seri tulisan “Brieven van een Desaman” atau “Surat dari Seorang Desaman” berisi reportase tentang Islam yang dijalankan masyarakat di pedalaman Pulau Jawa. Penulisnya adalah misionaris sekaligus etnolog dan linguis Belanda, C. Poensen, yang hanya membubuhkan inisial “C” dalam seri tulisannya pada koran tersebut. Satu dari rangkaian tulisannya mengenai aktivitas masyarakat menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadan.

Tulisan yang dimaksud adalah tulisannya ke-4 yang terbit di koran Soerabaijasch handelsblad tanggal 21 Juli 1883. Poensen menceritakan aktivitas Ramadan masyarakat adalah berpuasa, mengerjakan tarawih bersama-sama pada malam hari selepas waktu salat Isya yang dilanjutkan dengan doa dan “daroesan” atau pembacaan ayat-ayat Al-Quran. 

Berpuasa dijalankan dengan berpantang makan dan minum sehari penuh sejak fajar sampai matahari terbenam. Periode puasa satu bulan penuh tersebut adalah salah satu ibadah wajib umat Islam.

Ibadah malam hari di bulan Ramadan semakin intens pada sepuluh hari terakhir, terutama di malam yang jatuh pada tanggal ganjil. Malam-malam tersebut adalah hari-hari yang penting. Umat Islam meyakini pada tanggal ganjil tersebut terselip malam yang penuh berkah yakni Lailatul Qadar.

Poensen menceritakan pada malam-malam dengan tanggal ganjil dilaksanakan tradisi “maleman”, tradisi yang biasanya dilakukan raja dan pangeran, bangsawan, hingga pegawai pemerintah dengan bersedekah membagikan makanan di waktu malam hari. Penduduk di desa melaksanakan “maleman” ala mereka dengan berkumpul untuk bersantap bersama-sama di rumah kepala desa.

Seperlima peserta “maleman” biasanya diminta Kebayan Desa untuk menyiapkan makanan yang akan disantap bersama-sama. Makanan disajikan dalam nampan dari anyaman bambu yang diletakkan di lantai yang berbalut hamparan tikar. Warga kemudian akan duduk mengelilingi nampan untuk menyantap isinya bersama-sama.

Aktivitas Ramadan pada dua hari terakhir juga khas. Setiap keluarga umumnya menyiapkan kue sega-apem yang dibuat dari tepung beras yang dipanggang. Pada 30 Ramadan sore mereka kemudian saling berkunjung. Tuan rumah menyajikan kue tepung beras tersebut untuk dibawa pulang tamunya. Pada dua hari terakhir Ramadan itu juga para pria pergi ke kuburan untuk membersihkan makam kerabatnya.

Di tanggal 1 Syawal, hari raya, adalah hari mengakhiri ibadah puasa. Semua orang mandi lebih pagi lalu mengenakan pakaiannya yang terbaik untuk salat pagi bersama-sama. Setelahnya sebagian mendatangi makam keluarganya, sebelum pulang untuk bersantap bersama di rumahnya masing-masing. Selanjutnya warga mengunjungi rumah kepala desa, guru ngaji, modin, serta orang tua yang dihormati. 

Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Engelbert van Bevervoorde
NGULIK BANDUNG: Masjid Cipaganti
NGULIK BANDUNG: Bandara Sukamiskin (Bagian 1)

Perayaan Lebaran di Tjisoeroepan dekat Garut. Foto diambil sekitar tahun 1935. (sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)
Perayaan Lebaran di Tjisoeroepan dekat Garut. Foto diambil sekitar tahun 1935. (sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Anggapan Hari Raya Lebaran itu Perayaan Tahun Baru

Hiruk pikuk dan keramaian yang sebenarnya baru berlangsung setelah menjalankan puasa satu bulan penuh. Masyarakat di pedalaman Jawa menamainya Gerebeg Puasa atau Idul Fitri. Warga Eropa kala itu menganggapnya sebagai perayaan tahun baru.

Poensen menceritakan pada perayaan Gerebeg Puasa tersebut priyayi, pegawai pemerintah yang bekerja untuk Belanda, hingga warga Eropa sengaja berkumpul di rumah bupati. Mereka biasanya sengaja datang dengan mengenakan pakaian baru atau pakaian terbaiknya. Saat bertemu, mereka akan berjabat tangan dan saling memuji.

Sebagian warga Eropa yang datang tidak mengerti maksud dan tujuan jabat tangan tersebut yang bagi muslim memiliki arti saling memaafkan di Hari Raya Idul Fitri. Warga Eropa yang tidak mengerti akan menyambut uluran tangan warga setempat dan mengucapkan “selamat tahoen baroe”.

“Jika Anda bisa, Anda harus pergi ke sana juga, karena banyak yang bisa dilihat; dan juga untuk mendengar, misalnya, keinginan agar pemerintah dapat menghasilkan panen besar tahun ini untuk kopi dan gula serta budaya lainnya!” tulis Poensen (Soerabaijasch handelsblad, 21 Juli 1883).

Koran De Preanger Bode, tanggal 9 Januari 1902 menuturkan kehadiran warga Eropa yang mayoritas adalah pejabat administrasi Belanda dalam perayaan Idul Fitri di rumah bupati semata karena perintah pemerintah Hindia Belanda. Semua warga Eropa juga diminta hadir dan berpartisipasi mengunjungi bupati, atau pejabat tinggi di daerah yang merayakan lebaran.

Seberapa serius perintah tersebut? Koran tersebut menceritakan seorang pegawai pemerintah dipindahkan ke tempat kerja baru di tempat yang kurang menyenangkan karena mengabaikannya.

Pemerintah Hindia Belanda sengaja mendorong warga Eropa demikian untuk mempererat hubungan dengan warga setempat. Pemerintah Hindia Belanda menyadari keengganan warga Eropa di sana untuk mematuhi perintah itu. Pejabat daerah yang menerima pun mungkin beranggapan tak ada ketulusan dalam uluran tangan yang diterimanya. Relasi antarpemeluk agama yang berbeda, antara warga Eropa dan pribumi, kenyataannya masih berjarak.

Suasana Lebaran di Tjisoeroepan dekat Garut. Foto diambil sekitar tahun 1935. (sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)
Suasana Lebaran di Tjisoeroepan dekat Garut. Foto diambil sekitar tahun 1935. (sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Bermula dari Perang dan Syak Wasangka

Ketertarikan warga Belanda pada Islam salah satunya karena peperangan yang panjang dengan masyarakat Aceh, pemeluk Islam yang taat. Sejumlah tulisan muncul di koran-koran Belanda tentang Aceh, serta mengenai Islam, menandakan ketertarikan masyarakat saat itu pada keduanya. Profesor bahasa, ahli geografi dan etnologi dari Leiden, P. J. Veth salah satunya menulis di koran tentang sejarah masyarakat Aceh.

Veth menulis di koran De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad tanggal 07 Juni 187 menulis tentang sketsa topografi dan historis masyarakat Aceh. Veth menyoroti keterkaitan erat masyarakat Aceh dan Islam, agama yang dianutnya. Masyarakat Aceh yang karena alasan agamanya memerangi Portugis yang ingin menanamkan agamanya di nusantara. Tentang pangeran Aceh yang sangat suka membangun masjid yang megah. Serta hubungan erat Kesultanan Aceh dengan Kesultanan Turki.

Orientalis Belanda Snouck Hurgronje juga menyempatkan menulis di koran Belanda tentang Islam yang dipelajarinya dalam-dalam. Dalam koran De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad tanggal 20 Mei 19890 dia menulis tentang gelar haji. Snouck menuliskan mengenai persepsi masyarakat di Jawa mengenai gelar haji.

Snouck Hurgronje menulis di sana, banyak pejabat administrasi yang salah kaprah menyamakan mereka yang telah menunaikan ibadah haji sebagi ulama. Snouck mengingatkan agar pegawai negeri pemerintah agar mau mempelajari Islam lebih dalam agar tak lagi salah kaprah mengambil keputusan.

Melunaknya Pandangan Belanda pada Islam dan Pemeluknya

Beragam tulisan panjang dan dalam tentang Islam dan pemeluknya dari berbagai sisi di koran-koran bebahasa Belanda memberikan penjelasan yang lebih menyeluruh. Pandangan orang Eropa, Belanda khususnya yang berdiam di nusantara, lama-lama melunak pada Islam dan para pemeluknya.

Tulisan-tulisan di koran-koran Belanda di awal abad 20 perlahan sudah tak lagi menyimpan prasangka. Tulisan tentang Islam dan pemeluknya di koran-koran kemudian murni karena ketertarikan atas kebiasaan yang berbeda dengan yang dikenal umum, atau keterkaitan dalam kehidupan sehari-hari.

Koran De Preanger-bode tanggal 29 Januari1901 misalnya memberitakan tentang perbedaan hari dalam perayaan Lebaran di banyak tempat. Sebagian pekerja yang melayani orang Eropa meminta cuti libur dalam dua hari yang berbeda yang disebutnya membingungkan, yang mana hari lebaran yang asli.

Perlahan-lahan orang Eropa memahami perayaan Gerebeg Puasa atau Idul Fitri atau lebaran bukan perayaan tahun baru. Tulisan misionaris Belanda di koran De Preanger-bode tanggal 19 Januari 1902 menceritakan tentang puasa dan perayaan lebaran yang diyakini oleh pemeluknya.

Perayaan lebaran bukan menghamburkan uang lewat keramaian dengan ledakan petasan dan kembang api, bukan juga hari di mana mengunjungi pekuburan, membayar zakat pada imam; tapi sebagai hari raya di akhir puasa sebagai kemenangan umat Islam.

Koran itu menyerukan untuk menghentikan syak wasangka pada Islam dan pemeluknya, dan menjadikan momen lebaran sebagai waktu yang tepat untuk mempromosikan “persaudaraan” yang lebih intim: antara pribumi dan Belanda (De Preanger-bode, 10 Januari 1902).

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//