• Kolom
  • NGULIK BANDUNG: Masjid Cipaganti

NGULIK BANDUNG: Masjid Cipaganti

Peta Kota Bandung yang dikeluarkan Nillmij tahun 1935 tidak lagi mencantumkan keberadaan masjid Cipaganti. Sawah sudah berganti jalur-jalur jalan dan hunian.

Ahmad Fikri

Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB page: Djiwadjaman

Masjid Cipaganti, Jalan Cipaganti, Kota Bandung, Senin (3/1/2022). Masjid ini dirancang Charles Prosper Wolff Schoemaker. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

17 Maret 2022


BandungBergerak.id—Dekade kedua abad 20 Bandung sedang gencar-gencarnya bersolek. Bandung digadang menjadi lokasi baru ibu kota Hindia Belanda. Setelah dekade pertama pembangunan terpusat di seputar Grotepostweg (Jalan Raya Pos), dekade selanjutnya melebar ke utara ke daerah yang lebih tinggi, lebih sejuk.

Kawasan Tjipaganti (Cipaganti) yang berada di lintasan jalan menuju Lembang pada saat itu menjadi salah satu batas kota di utara Bandung. Kawasan perkampungan  yang dikelilingi sawah mulai tumbuh pesat. Sejumlah magnet penarik yang mengubahnya. Tak jauh dari sana tengah dibangun Gemeente Ziekenhuis atau rumah sakit kota, Instituut Pasteur, Pabrik Kina, dan banyak lagi. Bandung pun mulai berbenah dengan perbaikan pasokan air bersih bagi warganya.

Koran De Preanger-bode tanggal 30 Oktober 1919 dalam artikelnya “Nieuw Bandoeng” menceritakan tentang geliat pembangunan di kawasan Cipaganti. Sawah yang bertebaran perlahan berganti dengan rumah-rumah hunian. Sedikitnya seratus rumah baru siap dibangun di sana yang letaknya tak jauh dari kolam renang Tjihampelas (Cihampelas).

Untuk kepentingan hunian baru tersebut ruas-ruas jalan baru pun dibangun. Salah satu yang paling besar adalah Nijlandweg (sekarang Jalan Cipaganti), jalan raya dengan lebar 20 meter yang dibuat sejajar dengan jalan utama dari Bandung menuju Lembang.

Jalan Nijlandweg  dibangun membelah kawasan perumahan yang tengah dipersiapkan di sana. Demi membangun jalan tersebut, Masjid Cipaganti lama pun digusur.

“Untuk membangun koneksi pertama, sekitar 20.000 Gulden harus dikeluarkan untuk pembebasan tanah, termasuk situs masjid. Sebagai subsidi untuk pembangunan ruas jalan ini,” tulis De Preanger-bode, 30 Oktober 1919.

Wajah Masjid Cipaganti tempo dulu. (Sumber: mesjidbesarcipaganti.com)
Wajah Masjid Cipaganti tempo dulu. (Sumber: mesjidbesarcipaganti.com)

Meminta Izin Mendirikan Masjid

Pada peta resmi Kota Bandung terbitan Topographische Inrichting tahun 1910 masih mencantumkan keberadaan masjid di Cipaganti. Saat itu kawasan tersebut masih berupa kampung yang dikelilingi oleh sawah. Tapi peta Kota Bandung yang lebih baru yang dikeluarkan Nillmij tahun 1935 sudah tidak lagi mencantumkan keberadaan masjid di daerah Cipaganti. Sawah sudah berganti jalur-jalur jalan dan hunian.

Koran-koran terbitan Belanda sepertinya menganggap sepi penggusuran masjid warga di Cipaganti. Tidak ada berita dan kabar penolakan muncul di koran-koran berbahasa Belanda. Setidaknya penelusuran sejauh ini tidak mendapati kabar yang memprotes penggusuran masjid menjadi jalan raya.

Baru sepuluh tahun kemudian masjid di Cipaganti disebut kembali. Adalah R.H. Abdul Kadir, Kepala Penghulu di Bandung yang mengirimkan permintaan perizinan pada Dewan Kota untuk mendirikan masjid di Cipaganti. Koran De koerier tanggal 4 September 1932 melaporkan risalah rapat Dewan Kota yang salah satunya membahas permohonan tersebut.

“Permohonan R. H. Abdul Kadir, kepala penghulu, yang meminta izin untuk mendirikan bangunan masjid baru di Tjipaganti secara semi permanen dan membangun masjid baru ini di atas tanah yang disucikan di mana masjid lama telah berdiri selama beberapa waktu,” tulis De koerier (4 September 1932)

Permintaan Abdul Kadir tersebut dibahas dalam serangkaian rapat Dewan Kota Bandung. Sebulan kemudian perizinan tersebut diberikan. Dengan syarat masjid dibangun mengikuti persyaratan dalam Peraturan Bangunan Gedung yang di awasi oleh Dinas Pekerjaan Umum (BOW) (De koerier, 13 Desember 1932).

 

Masjid di Tjipaganti dalam peta Kota Bandung tahun 1910. (Sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl).
Masjid di Tjipaganti dalam peta Kota Bandung tahun 1910. (Sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl).

Masjid 100 Tahun

Koran Sipatahoenan tanggal 29 Oktober 1932 menerbitkan tulisan panjang tentang masjid Cipaganti tersebut. Koran ini membandingkan dengan protes keras umat Islam di Batavia yang memprotes rencana pemerintah kotanya yang berniat menggusur Masjid Tjikini. Pengusuran serupa juga menyasar Masjid Cipaganti.

Masjid Cipaganti berdiri di atas tanah wakaf. Sebagian tanahnya pada 1907 dijadikan tanah milik yang sebagian besar sudah dijual pemiliknya. Bangunan masjid tersebut dari kayu dan bambu. Usianya diyakini sudah satu abad. Kondisi bangunan yang bukan bangunan permanen tersebut yang menjadikan alasan pemerintah kota untuk menggusurnya dan membangun jalan di atasnya.

Abdul Kadir, Ketua Penghulu Kota, lembaganya yang bertanggung jawab mengelola dan memelihara tanah wakaf. Sudah lama lembaganya menginginkan mendirikan masjid baru. Rencana pemerintah kota menggusur Masjid Cipaganti memantik kembali keinginan tersebut. Tanah tersebut layak diperjuangkan untuk pendirian masjid baru.

Tanggal 22 Oktober 1932, dia menyurati pemerintah kota Bandung meminta agar lokasi jalan baru di Cipaganti agar digeser di sisi utara batas lahan masjid tersebut sehingga sebagian tanahnya masih bisa dimanfaatkan untuk membangun kembali masjid baru di sana. Abdul Kadir mengirim surat tersebut setelah mengantungi keputusan Raad (Pengadilan) Agama Bandung tanggal 6 September 1932 yang menguatkan lembaganya termasuk yang berhak memelihara tanah-tanah wakaf.

Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Taman-Taman di Bandung
NGULIK BANDUNG: Jalan Bebas Hambatan antara Bandung dan Batavia
NGULIK BANDUNG: Sejarah Letusan Gunung Guntur

 Prof. Charles Prosper Wolff Schoemaker, arsitek Masjid Cipaganti.
Prof. Charles Prosper Wolff Schoemaker, arsitek Masjid Cipaganti. (Sumber: ITB)

Obsesi Membangun Masjid Baru

Keinginan memiliki masjid baru di Bandung juga dimilik bupati Bandung kala itu, Wiranatakoesoema V. Keinginannya memiliki masjid baru yang lebih modern terbit sepulangnya dari perjalanan haji ke Mekah tahun 1925. Dia sempat menggalang dana umat dan perusahaan, dengan menerbitkan prangko untuk mengumpulkan biaya mendirikan masjid baru untuk warga Bandung.

Wirantakoesoema sempat meminta Prof. Charles Prosper Wolff Schoemakerarsitek sekaligus guru besar di Technische Hoogeschool untuk merancang bangunan masjid yang modern. Permintaan tersebut disanggupi Wolff Schoemaker. Koran-koran ramai memberitakannya.

De Indische courant tanggal 25 Juli 1925 menuliskan, Wolff Schoemaker bahkan sudah membuatkan gambar ilustrasi dan desain awal bangunan masjid yang diminta Bupati Bandoeng. “Masjid akan memiliki kubah yang besar, sedangkan puncak menara akan memiliki panjang enam puluh meter. Di masjid akan ada ruang untuk 5.000 orang percaya. Biayanya akan menjadi satu juta. Diharapkan jumlah ini akan bertambah,” tulis koran itu.

Upaya Wirantakoesoema menggalang dana demi membangun masjid berukuran besar dengan biaya besar langsung ditentang pemerintah Belanda. Perwakilan pemerintah Belanda menemuinya, dan memintanya menyetop rencana tersebut. Sejak itu tidak lagi terdengar rencana pembangunan masjid yang mahal (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie?, 31 Mei 1926).

Rencana pemerintah menggusur masjid Cipaganti membuahkan kesempatan Bandung memiliki masjid baru. Gerilya Abdul Kadir membuka kesempatan tersebut. Kembali Wolff Schoemaker diminta sebagai perancangnya. Anggabrata diminta memimpin pembangunan masjid tersebut. Dananya berasal dari sumbangan umat dan sponsor.  Tahun 1932, pembangunan kembali Masjid Cipaganti dimulai.

Fasad Masjid yang Mencuri Perhatian Jaarbeurs

Setahun kemudian nama Masjid Cipaganti kembali menjadi perhatian. Nama masjid tersebut disebut-sebut dalam ajang pemeran tahunan Jaarbeurs ke-15 tahun 1933. Pameran tahunan yang menjadi salah satu agenda utama Kota Bandung digelar setiap tahunnya di gedung Jaarbeurs (kini Kologdam Bandung). Di sana semua barang model terbaru dan inovatif di pamerkan di dalam gedung tersebut.

Dalam ajang Jaarbeurs ke-15 itu Wolff Schoemaker memamerkan gembar rancangan masjid Cipaganti yang tengah dibangunnya. Tak hanya gambar kerja, dia memboyong fasad pintu utama yang akan dipasang di masjid untuk dipamerkan.

Koran De koerier tanggal 24 Juni 1933 saat menurunkan tulisan panjang tentang pembukaan ajang Jaarbeurs ke-15, menyebutkan fasad masjid yang dipamerkan di sana unik dan layak untuk dikunjungi. Fasad masjid tersebut dipamerkan di kompleks pameran industri pribumi di Gedung C di dalam gedung Jaarbeurs.

Direktur Pertanian, Perindustrian dan Perdagangan dari pemerintah Hindia Belanda, dr. Ch. Bernard saat membuka Jaarbeurs memuji fasad masjid tersebut. Wolff Schoemaker menyiapkan fasad tersebut dibantu oleh Laboratorium Keramik Divisi Industri pemerintah Hindia Belanda.

“Karya ini juga harus dianggap sebagai contoh apa yang dapat dicapai di Hindia Belanda dengan bahan baku asli dan melalui ketekunan dan keterampilan para pengrajin tembikar pribumi di bidang keramik, sedangkan Prof Wolff Schoemaker kembali mempersembahkan kemampuan seninya kepada kita,” kata dr. Ch. Bernard, di koran De koerier tanggal 24 Juni 1933.

Sejumlah koran juga mengulas fasad masjid yang diboyong Wolff Schoemaker  di ajang Jaarbeurs tersebut. Bataviaasch nieuwsblad tanggal 24 Juni 1933 misalnya memujinya. Fasad tersebut akan dipasang menjadi gerbang pintu masuk. Dirancang dengan hiasan warna tembaga tua dengan petikan ayat Al-Quran menjadi penghias.

Dua Tahun Membangun Masjid

Pembangunan masjid Cipaganti membutuhkan waktu hampir dua tahun lamanya. Koran De koerier tanggal 27 Januari 1934 memberitakan peresmian yang menandai rampungnya pembangunan masjid itu dalam acara sederhana di pukul 10 pagi. Wali Kota Bandung kala itu, Wolzogen Kuhr menyempatkan hadir bersama anggota Dewan Kota dan sejumlah pejabat pemerintah Hindia Belanda.

Pembangunan masjid tersebut menghabiskan dana hingga 11 ribu Gulden. Abdul Kadir, dalam kesempatan itu menuturkan bahwa dana pembangunannya diperoleh dari sumbangan perorangan hingga perusahaan Eropa.

Masjid Cipaganti hingga saat ini masih berdiri. Masjid tersebut nyaris hilang berkalang tanah digusur pembangunan jalan.

*Tulisan kolom Ngulik Bandung, yang terbit setiap Kamis, merupakan bagian dari kolaborasi antara www.bandungbergerak.id dengan Komunitas Djiwadjaman

Editor: Redaksi

COMMENTS

//