NGULIK BANDUNG: Sejarah Letusan Gunung Guntur
Pernah menjadi gunung api yang paling aktif nomor dua di Jawa. Kini sudah lebih dari satu setengah abad Gunung GunturĀ berada dalam diam.
Ahmad Fikri
Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB page: Djiwadjaman
13 Januari 2022
BandungBergerak.id—Pada hari Rabu, tanggal 21 Oktober 1818 pukul 10 malam tiba-tiba terlihat nyala merah yang bergulung-gulung turun dari puncak Gunung Guntur di Garut. Bersamaan dengan itu penduduk Tarogong, kota utama di Garut kala itu, merasakan guncangan keras. Harian Bataviasche courant, tanggal 7 November 1818 mencatat nyala api merah yang bergulung turun ke berbagai arah berikut bumi yang berguncang terjadi sepanjang malam. Puncaknya pada pagi hari, sekitar pukul 6 terdengar suara ledakan keras yang berasal dari nyala api yang terlontar cukup tinggi dari puncak gunung tersebut.
Suara dentuman, lontaran nyala api, berikut asap, dan debu yang dihamburkan Gunung Guntur terjadi sepanjang hari, Kamis, 22 Oktober 1818. Beruntung angin tenggara yang mendorong material hasil letusan Gunung Guntur menjauhi daerah permukiman penduduk yang ada di lereng gunung itu. Sebagian warga yang tinggal terlalu dekat gunung mengungsi. Tidak ada korban jiwa, juga kerusakan berarti akibat letusan gunung yang terjadi tiba-tiba malam itu.
Berhari-hari nyala api letusan membakar Gunung Guntur. Deretan mata air yang menyemburkan air panas di lereng barat daya gunung itu mengepulkan uap. Pada Sabtu, 24 Oktober 1818, tiba-tiba letusan berhenti. Esoknya, semburan asap menghilang dari puncak Guntur.
Sepekan setelah letusan Gunung Guntur, Caspar Georg Karl Reinwardt, ahli botani perintis pendirian Kebun Raya Bogor, tiba di Tarogong pada 28 Oktober 1818. Reindwardt yang kala itu menjabat sebagai Direktur Pertanian, Seni dan Ilmu Pengetahuan Hindia Belanda sengaja datang karena tertarik dengan kabar letusan Gunung Guntur. Esoknya dia nekat mendakinya (Bataviasche courant, 7 November 1818).
Ditemani sekelompok lelaki yang sebagian besar adalah warga yang tinggal di gunung itu, Reindwart berjalan kaki menuju puncak Gunung Guntur. Perjalanan yang sungguh berbahaya. Bebatuan lepas yang tersebar di sepanjang jalan, tanah yang masih terasa panas, sering terpaksa memutar untuk mencari jalan yang bisa dilewati. Makin tinggi, perjalanan semakin berbahaya. Satu demi satu rombongan menyerah karena lelah, juga luka-luka terkena lemparan batu yang terlepas. Hingga tersisa Reindwardt dan kawannya, Moenter, yang masih berkeras berjalan mencapai puncak.
Berjalan sejak matahari terbit, hingga pukul dua siang, Reindwart tak kunjung mencapai puncak Guntur. Langkahnya akhirnya benar-benar terhenti saat mencapai tanjakan yang curam, dan bebatuan yang berjatuhan dari atas. Reindwart akhirnya memutuskan kembali. Saat berjalan menuruni gunung tersebut dia melihat puncak gunung itu tiba-tiba menyala terang, berikut asap dan uapnya yang membumbung.
Reindwardt gagal mencapai puncak Gunung Guntur. Reindwardt mencatat bahwa letusan itu telah mengubah wajah puncak gunung tersebut. “Bentuk ujung gunung sangat berubah; sebelumnya itu adalah titik yang agak tajam, dan karena banyaknya batu yang menumpuk di atas dan di sekitar puncaknya pada ledakan terakhir, ujung punggungan telah mengambil bentuk yang lebih bulat dan tumpul,” begitu laporan Caspar Georg Karl Reinwardt (Bataviasche courant, 7 November 1818).
Reindwardt masih menyimpan penasaran. Setahun kemudian dia kembali ke Gunung Guntur. Tidak tanggung-tanggung, dia menyiapkan perjalanan panjang sekaligus menyambangi gunung-gunung lainnya di sana. Harian Bataviasche courant tanggal 25 September 1819 mencatat dia mendaki Gunung Patoeha, Tombak Roeijong (Tambak Ruyung), Gunung Tiloe, Malabar, Sumbong, Gadjah, Goenong Goentoer, serta Talaga Bodas dalam sekali perjalanan panjangnya.
Kali ini Reindwardt mendaki Gunung Guntur dari sisinya yang lain. Setelah meninggalkan Gunung Gadjah, dia menyusuri hutan yang tidak terputus. Dia mendaki dari lereng selatan Gunung Guntur, melewati pepohonan mati yang menyisakan tonggak-tonggak kayu berwarna hitam yang tersisa dari letusan gunung setahun yang lalu.
Orang Eropa Pertama Mencapai Tepi Kawah Guntur
Franz Wilhelm Junghuhn dan sejawatnya Fritze dan Nagel merupakan orang Eropa selanjutnya yang melakukan perjalanan mendaki Gunung Guntur. Junghuhn menjelajahi gunung tersebut sebagai bagian dari pekerjaannya melakukan penyelidikan alam, mencatat vegetasi, serta memperbarui peta yang sudah ada.
Dalam terbitan Tijdschrift voor Neerland's Indië jaargang 5 (Majalah untuk Hindia Belanda Volume 5) bagian pertama tahun 1843, Junghuhn mengkalim dirinya bersama Fritze dan Nagel menjadi orang Eropa pertama yang tiba di tepi kawah Gunung Guntur pada Juli 1837. Perjalanan yang disebutnya tidak mudah, menghadapi bahaya bongkahan lava yang masih bergerak yang menumpuk membentuk lereng.
“Tak sehelai rumput pun menghiasi Goenong Goentoer; benar-benar telanjang dari kaki ke atas, ia bangkit, dalam warna gelap masa abu-abu kehitaman, seperti gambar kehancuran,” tulis Junghuhn tentang gunung tersebut dalam Tijdschrift voor Neerland's Indië jaargang 5 (1843).
Junghuhn membandingkan yang dilihatnya dengan kesaksian penduduk sekitar, kesimpulannya kawah Gunung Guntur tersebut saat itu membuka lebih lebar akibat dua kali letusannya pada tahun 1810 dan 1818. Junghuhn menyebutkan gunung tersebut merupakan gunung api paling aktif nomor dua di Jawa setelah Gunung Lamongan, sementara Gunung Merapi berada di peringkat tiga. Akibat kengerian ancaman letusan Gunung Guntur yang menyebabkan pemerintah Hindia Belanda kala itu memindahkan pusat pemerintahan Garut yang asalnya berada di Tarogong ke sekitar Telaga Bodas.
Junghuhn mengumpulkan catatan mengenai sejarah letusan Gunung Guntur. Dari catatan pemerintah yang dikumpulkannya sedikitnya terjadi 4 kali letusan besar. Tahun 1803 Gunung Guntur meletus sejak tanggal 3-15 April menghasilkan letusan yang menyebarkan pasir dan abu. Tahun 1818 menghasilkan kuat dengan lontaran abu, pasir, batu, serta lava pijar. Letusan tersebut menyebabkan hutan di sekitarnya terbakar.
Letusan selanjutnya terjadi pada 1840 pada tanggal 24 Mei. Gunung Guntur tiba-tiba saja melepaskan kolom api dan asap. Aliran lava mengalir ke semua sisinya mengubah setengah badan gunung menjadi masa api. Beberapa jam kemudian terdengar suara yang menggelegar disertai pancaran api dan pasir yang berlangsung selama 9 jam lamanya. Langit kala itu berubah gelap sehingga di siang hari penduduk terpaksa menyalakan obor.
Setahun kemudian, tahun 1841 Gunung Guntur kembali meletus yang ditandai dengan suara keras. Letusan tersebut menghasilkan hujan abu dan pasir. Letusan ini menyebabkan 400 ribu pohon kopi rusak.
Junghuhn juga mengumpulkan informasi tentang letusan Gunung Guntur dari laporan kepala suku yang ada di sekitar gunung. Di antaranya pada tahun 1807, 1809, 1815, 1816, 1828, 1832, 1833, serta 1836.
Di bukunya yang lain, yakni Java, zijne gedaante, zijn plantentooi en inwendige bouw yang terbit tahun 1853-8154, Junghuhn memerinci penjelasannya tentang kawah Gunung Guntur. Kawah yang dilihatnya berbentuk seperit kuali dengan bagian dasar tertutup air, nyaris tidak ada tanaman yang tumbuh di sekitarnya.
“...bahkan tidak ada satu pun lumut yang terlihat. Penyebab infertilitas ini terlihat jelas. Di sekeliling kami mendengar desis uap; mereka muncul dari lubang dan celah, yang ditutupi dengan endapan belerang dan sebagian dikelilingi oleh tepi yang terangkat,” tulis Franz Wilhelm Junghuhn (1853-8154).
Gunung yang Tiba-tiba Diam
Gunung Guntur masih tercatat terus meletus. Koran Bataviaasch handelsblad tanggal 1 Juli 1882 melaporkan aktivitas gunung api itu. Gunung Guntur diberitakan menghasilkan letusan berupa semburan lumpur. Banyak yang khawatir gunung itu akan kembali menghasilkan letusan yang tiba-tiba karena tabiatnya itu.
Badan Geologi dalam lamannya tentang Data Dasar Gunung Api memberikan penjelasan lengkap tentang Gunung Guntur. Gunung Guntur disebutkan memiliki karakter letusan eksplosif. Antara tahun 1800 sampai 1847 tercatat sudah 21 kali meletus. Jeda tiap letusan berbeda. Antara 1 tahun hingga paling lama 7 tahun. Letusannya berulang dalam tempo pendek, berlangsung paling lama 5 sampai 12 hari.
Misalnya letusan Gunung Guntur tahun 1825 menyebabkan hutan di sektiar gunung terbakar. Lalu letusan tahun 1829 menyebabkan korban jiwa dan beberapa kampung hancur. Tahun 1840 menghasilkan aliran lava mencapai Cipanas, Garut. Tahun 1843 letusan menyebabkan tanah rusak dan beberapa kampung terlanda.
Hingga saat ini sudah lebih dari 150 tahun Gunung Guntur belum pernah meletus lagi.
*Tulisan kolom Ngulik Bandung, yang terbit setiap Kamis, merupakan bagian dari kolaborasi antara www.bandungbergerak.id dengan Komunitas Djiwadjaman