• Kolom
  • NGULIK BANDUNG: Situ Patengan Favorit Junghuhn

NGULIK BANDUNG: Situ Patengan Favorit Junghuhn

Junghuhn mengenalkan Situ Patengan pada dunia. Kina membukakan jalan menuju danau yang dulu tersembunyi di tengah rimba hutan.

Ahmad Fikri

Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB page: Djiwadjaman

Situ Patengan. Foto diambil sebelum tahun 1880. (Sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)

30 Desember 2021


BandungBergerak.id – Franz Wilhelm Junghuhn menghabiskan 13 tahun (1835-1848) dalam lawatannya pertama di Hindia Belanda dengan menjelajahi alam Sumatera dan dan Jawa. Dari sekian banyak tempat yang disinggahinya, Telaga (Situ) Patengan, danau di kaki Gunung Patuha mendapat tempat yang istimewa bagi Junghuhn.

Catatan penjelajahan Junghuhn sebagai Perwira Kesehatan yang mendapat tugas dari pemerintah Hindia Belanda untuk melakukan penyelidikan tentang alam tersebut dituangkannya dalam buku Java, seine Gestalt, Pflanzendecke und Innere Bauart (Jawa - Bentuknya, Permukaannya dan Susunan Dalamnya) yang terbit di Belanda tahun 1853. Buku yang mencuatkan namanya hingga dikenal luas.

Di buku tersebut Junghuhn menceritakan Situ Patengan “danau gunung tebesar di Jawa” dengan rinci juga melankolis. Di tepi danau yang menjorok, di antara pepohohonan Junghuhn mendirikan pondok kayu untuk melakukan pengamatan di sana pada Juli 1837.

Danau gunung tersebut berada di ketinggian 4.790 kaki di atas permukaan laut, dari puncak Gunung Patuha danau tersebut terlihat mirip mata di tengah hutan hijau yang gelap dan luas, dikelilingi rimba yang belum terjamah, hutan dengan vegetasi dominan pohon ki merak dan ki putri. Junghuhhn membutuhkan beberapa hari perjalanan menembus hutan belantara untuk mencapai danau tersebut. Kera hitam, lutung, sering dijumpai di sepanjang perjalanan.

Telaga Patengan, begitu Junghuhn menyebutnya. Danau yang sepi. Tidak ada angin yang berembus, tidak ada ombak di atasnya, bayang-bayang puncak Patuha terpatri jelas di permukaannya.

“Di antara batang kayu di sana, di dekat gubuk, saya berdiri bersama Dr. Fritze, teman lamaku; dari sana kami melihat pemandangan damai ini, danau yang tenang, masih berkilauan di bawah sinar matahari sore. Sementara kami berdiri terpesona di tempat ini dalam kekaguman, matahari turun perlahan dan tak terlihat di bawah cakrawala dan kegelapan malam menyebar jauh dan luas di sekitar kami” (Junghuhn, 1853).

Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Mendaki Tangkuban Parahu
NGULIK BANDUNG: Kisah Badak di Gunung-gunung Bandung

Sketa Telaga Patengan oleh F.W. Junghuhn. (Sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)
Sketa Telaga Patengan oleh F.W. Junghuhn. (Sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Kina yang Membuka Jalan

Franz Wilhelm Junghuhn memang bukan yang pertama menjelajahi Gunung Patoeha dan Danau Patengan. Dua pendahulunya adalah naturalis asal Amerika Dr. Thomas Horsfield pada tahun 1804, selanjutnya ahli botani asal Jerman Profesor Reindwardt pada tahun 1819. Tapi Junghuhn yang membukakan Danau Patengan pada dunia dalam lawatannya yang kedua di Hindia Belanda.

Junghun kembali ke Hindia Belanda pada tahun 1855 dengan membawa tugas untuk membantu membiakkan kina. Junghuhn kembali menjelajahi Jawa, kali ini dia diangkat menjadi inspektur yang tugasnya mencari lokasi yang pas untuk menanam kina.

Harian Twentsche Courant,tanggal 9 Juli 1864 menuliskan tentang perkembangan penanaman kina di Jawa. Kulit kina menjadi komoditas yang berharga, bahan obat penurun panas, dengan pemasok tunggal dari Amerika Selatan. Belanda tertarik mengembangkannya di Hindia Belanda.

Pemerintah Belanda menugaskan Haskarl untuk membudidayakan kina di Jawa, dengan memanfaatkan tanah-tanah yang berada di pegunungan tinggi. Tahun 1861, jerih payah membawa bibit kina berbuah manis. Pohon kina yang ditanam sudah menembus 135 ribu pohon. Junghuhn yang kemudian ditugasi membantu pengembangan mengusulkan untuk memperluas penanaman kina di tiga lokasi baru. Gubernur Jenderal Hindia Belanda kala itu memberi lampu hijau dengan menerbitkan Surat Keputusan tanggal 12 November 1861 untuk membangun lokasi penanaman kina di tiga tempat yakni di Telaga Patengan, Djampang Wetan, serta pegunungan Tengger.

Junghuhn menjelajahi sejumlah gunung tinggi, mempekerjakan penduduk setempat untuk menyemai bibit-bibit kina di antara rimbunan hutan. Sebagian dibiarkan tumbuh liar begitu saja. Sayang, Junghun tak pernah bisa melihat hasilnya. Dia meninggal tanggal, 24 April 1864 malam, di kediamannya di Lembang.

Sepeninggalnya, perkebunan kina tumbuh subur dan berkembang menjadi  komoditas yang membuat Belanda menjadi salah satu penguasa pasarnya di dunia. Dari semua pohon kina yang ditanam Junghuhn, justru yang ditanam di sekitaran Telaga Patengan tidak berkembang. Ribuan pohon kina Pahudiana yang dibiarkan bertahun-tahun di sana tidak bisa tumbuh (Nieuw tijdschrift voor de pharmacie in Nederland; tevens orgaan van de Nederlandsche Maatschappij ter Bevordering der Pharmacie, 1871).

Tapi dengan kina, Junghuhn membukakan Situ Patengan pada dunia. Keindahan danau di tengah rimba di kaki Gunung Patuha menarik perhatian pelancong walau pun menempuhnya bukan perkara mudah juga.

Foto diambil sekitar tahun 1860 di Talaga Patengan. Junghuhn di sebelah kiri dan von Richthofen di kanan. Foto yang terbit di Majalah Mooi Bandoeng edisi Juni 1934. (Sumber colonialarchitecture.eu)
Foto diambil sekitar tahun 1860 di Talaga Patengan. Junghuhn di sebelah kiri dan von Richthofen di kanan. Foto yang terbit di Majalah Mooi Bandoeng edisi Juni 1934. (Sumber colonialarchitecture.eu)

Menembus Patengan

Koran Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie tanggal 18 dan 23 Februari 1887 mengisahkan rumitnya perjalanan melancong menuju Telaga Patengan. Perjalanan dimulai dengan menempuh jalan menuju Desa Tji Sundari (sekarang Ciwidey) yang berada 18 mil di selatan Bandung. Jalannya sempit berkerikil, lalu menumpang rakit untuk menyeberangi Tji Tarum (Citarum) yang lebar dan berarus deras untuk mencapai Tji Sundari. Dari sana perjalanan dilanjutkan menembus hutan di kaki Gunung Patuha sebelum mencapai perbatasan perkebunan teh milik perusahaan Ranca Walini. Lalu melanjutkan melewati perkebunan Rancabali sebelum mencapai Telaga Patengan.

Koran De Preanger Bode tanggal 7 Desember 1896 menggambarkan Telaga Patengan yang memiliki luas 84 bahu (1 bahu 7 ribu meter persegi, sehingga 84 bahu setara 59 hektare), di selatannya berbatasan dengan hutan perawan yang masih dihuni oleh banteng, menjangan, babi hutan, dan macan kumbang. Di atas danau melayang bangau, dan elang.

Seiring berkembangnya zaman, pemerintah Hindia Belanda akhirnya baru memberikan izin membuka jalan menuju Telaga Patengan pada tahun 1903. Koran Bataviaasch Nieuwsblad tanggal 09 Mei 1903 memberitakan pemerintah memberikan izin bagi Residen Preanger Regents membuka hutan untuk membangun jalan dari Tjoekoepin di Kecamatan Tjisondari menuju Telaga Patengan.

Pemerintah Hindia Belanda kemudian membangun jembatan melintasi Sungai Citarum, lalu membangun jalan kereta menuju Ciwidey hingga Telaga Patengan makin mudah disambangi. Danau yang dulu tersembunyi di tengah belantara hutan, dua puluh tahun kemudian sudah bisa disambangi menggunakan mobil (Mooi Bandoeng Volume 1 Nomor 11, terbitan Mei 1934).

Peta Telaga Patengan yang terbit di majalah Mooi Bandoeng edisi Juni 1934. (Sumber colonialarchitecture.eu)
Peta Telaga Patengan yang terbit di majalah Mooi Bandoeng edisi Juni 1934. (Sumber colonialarchitecture.eu)

Indahnya Telaga Patengan

Telaga Patengan memang unik. Salah satu misterinya adalah dari mana sumber airnya, dan mengalirnya. W. Winckel dalam artikelnya di majalah Mooi Bandoeng Volume 1 Nomor 12 yang terbit pada Juni 1934 memecahkan “misteri itu”.

“Pada pandangan pertama agak membingungkan bahwa Telaga ini, yang entah bagaimana mendapatkan semua air hujan yang jatuh di dalam dinding cincin, tidak memiliki drainase. Namun, selama musim timur yang sangat parah, ketika permukaan air rendah, misteri itu terpecahkan. Di tengah masa blok lava, drainase bawah tanah menjadi terlihat, yang, lebih jauh ke bawah, memunculkan mata air yang tak terhitung banyaknya.”

Majalah Mooi Bandoeng edisi Juni 1934 menuliskan asal penamaan Patengan pada danau di kaki Gunung Patuha itu. Kemungkinan berasal dari kata bahasa Jawa, peteng, yang artinya gelap, yang kemudian oleh lidah orang Sunda di ubah menjadi “patengan”. Telaga Patengan, klaim majalah itu berarti “Danau Kawah Tersembunyi”.

Telaga tersebut tidak direkomendasikan untuk berenang dengan kedalamannya menembus 10 meter di bagian tengah, dan beberapa sisi di di tepinya  kedalamannya berkisar 4-6 meter. Pemancing bisa menjadi alternatif dengan banyaknya ikan yang hidup dan berkembang biak di sana. Unggas air kerap singgah di danau tersebut, termasuk menyaksikan bebek mallard jika sedang beruntung. Itu yang dituliskan Winckel di Mooi Bandoeng edisi Juni 1934.

Kini Telaga atau Situ Patengan menjadi salah tempat favorit wisatawan yang melancong ke Bandung Selatan. Sebagian mungkin sudah berubah, sebagian besar tidak. Semoga alamnya masih terus lestari.

*Tulisan kolom Ngulik Bandung, yang terbit setiap Kamis, merupakan bagian dari kolaborasi antara www.bandungbergerak.id dengan Komunitas Djiwadjaman

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//