BANDUNG HARI INI: Peresmian Masjid Cipaganti, Masjid Pertama di Bandung Utara
Masjid Cipaganti menjadi bangunan tempat ibadah umat Islam satu-satunya yang dirancang Wolff Schoemaker di Bandung.
Penulis Reza Khoerul Iman27 Januari 2022
BandungBergerak.id - Peninggalan arsitek Charles Prosper Wolff Schoemaker bertebaran di Bandung. Salah satunya, Masjid Besar Cipaganti di Jalan Cipaganti (R.A.A. Wiranatakusumah). Masjid ini dibangun di masa Hindia Belanda ketika Jalan Cipaganti (Jalan R.A.A. Wiranatakusumah) masih bernama Nijlandweg, sebuah kawasan permukiman elite untuk bangsawan Eropa (Een Western Enclave).
Tanggal 7 Februari 1933 dilakukan peletakan batu pertama oleh Asta Kandjeng Bupati Bandung, Raden Tumenggung Hassan Soemadipradja, didampingi oleh Patih Bandung, Raden Rg Wirijadinata dan Hoopd Panghulu Bandung, Raden Hadji Abdul Kadir. Setahun kemudian, 27 Januari 1934 atau 88 tahun dari hari ini, Kamis (27/1/2022), masjid ini diresmikan.
Informasi pembangunan Masjid Besar Cipaganti termuat dalam dua plakat berbahasa Sunda di masjid yang kini menjadi ikon di Jalan Cipaganti. Masjid yang dikenal dengan sebuatan kaum tersebut diyakini sebagai masjid pertama yang dibandung di daerah utara Bandung.
Pada masa Bandung tempo dulu, selain menjadi tujuan untuk melaksanakan salat lima waktu, Masjid Cipaganti sering kali digunakan oleh orang Bandung sebagai tempat melaksanakan pernikahan. Buku Basa Bandung Halimunan karya Us Tiarsa menyebutkan, masa itu hanya ada dua tempat yang digunakan sebagai tempat pernikahan, yaitu kaum di Alun-alun (Kaum Bandung) dan Kaum Cipaganti.
Pernikahan di masa lalu dianggap kurang lumrah jika dihelat di rumah sendiri. Orang Bandung jika ingin menggelar pernikahan pasti beriringan menuju kaum. Pemilihan Kaum Bandung atau Kaum Cipaganti diserahkan sepenuhnya pada yang punya hajat. Pernah ada orang Cidadap (di utara) yang menikah di Kaum Bandung (selatan), sementara orang Pagarsih (selatan) malah menikah di Kaum Cipaganti di utara.
Selain itu, sekitar tahun 1930-an, masjid Kaum Cipaganti biasa digunakan oleh alim ulama untuk untuk melihat hilal sebagai penanda awal atau akhir Ramadan (bulan puasa).
”Pernah terjadi di Kota Bandung tahun 1930-an. Sore hari, para alim ulama di beberapa mesjid, terutama di Mesjid Kaum Cipaganti yang letaknya pada lahan ketinggian, beramai-ramai mengamati garis cakrawala di arah barat. Guna mengintip datangnya ru’yatul hilal, saat sekelumit bulan muncul sedikit di garis cakrawala barat, yang menandakan datangnya hari pertama bulan Puasa (Ramadhan), atau tibanya 1 Syawal kala umat Islam merayakan Hari Raya Idul Fitri (Lebaran),” tutur Haryoto Kunto, dikutip dari buku Ramadhan di Priangan.
Namun pada kala itu, masyarakat dayeuh Bandung dilingkupi ketidakpastian tentang keputusan hari raya Idul Fitri. Sebab hilal terhalang oleh cuaca di Kota Bandung yang hujan. Baru pada pukul 10 malam, datang berita terlihatnya hilal di daerah lain.
“Begitu mendengar pengumuman tadi, dayeuh Bandung yang sunyi sepi, dingin menggigit daging, tiba-tiba berubah suasana menjadi meriah. Kaum Ibu berlarian ke pasar yang mendadak dibuka malam itu. Begitu pula toko dan warung ramai dirubung pengunjung yang butuh bahan makanan buat hidangan “hajat walilat” atau “hajat lebaran”,” ujar Haryoto Kunto.
Baca Juga: BANDUNG HARI INI: Perjalanan Panjang Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung dari Hanya Satu Ruang Kuliah
Bandung Hari Ini: Kolom Asap Setinggi Dua Kilometer dalam Erupsi Tangkuban Parahu
Bandung Hari Ini: Lahirnya Oto Iskandar, Pahlawan yang Mati Dituduh Mata-mata
Kemal Schoemaker dan Islam
Hingga hari ini, Masjid Cipaganti masih utuh berdiri, bahkan bangunan asli masjid masih dipertahankan dan ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya. Adapun pada 28 Oktober 1983, Masjid Cipaganti pernah direhabilitasi dan diresmikan oleh Wali Kota Ateng Wahyudi. Diketahui, rehabilitasi dilakukan sejak 2 Agustus 1979 hingga 31 Agustus 1983. Hasil dari rehabilitasi ini menghasilkan sayap kiri dan kanan pada Mesjid Cipaganti.
Masjid Cipaganti terus menjalankan agenda rutinnya sampai sekarang, seperti kajian, pelatihan mubalig, publikasi syiar Islam, pelayanan sosial, murotal Qur’an, dan agenda keagamaan lainnya yang membuat masjid tersebut tetap hidup.
Ada sekelumit kisah menarik tentang kehidupan arsitek Masjid Cipaganti, yaitu Prof. Charles Prosper Wolff Schoemaker. Ia merupakan pria kelahiran Banyubiru, Ambarawa, Jawa Tengah, 25 Juli 1882. Namanya berkibar sebagai arsitektur ternama di Kota Bandung. Bahkan Kota Kembang menjadi laboratoriumnya dalam menghasilkan banyak karya seni bangunan.
Schoemaker yang pernah mendoseni Sukarno ketika kuliah di Technische Hoogeschool Bandung (kini, ITB), membangun Masjid Cipaganti dengan pendekatan seni arsitektur tradisional, Arab, dan Eropa. Atap masjid ini menjadi salah satu bukti perpaduan antara gaya arsitektur tradisional dan modern. Pengaruh Arab dapat dilihat pada hiasan teks Arab pada lengkung tapal kuda di pintu masuk.
Dalam buku Arsitektur Tropis Modern: Karya dan Biografi C.P. Wolff Schoemaker yang ditulis C.J. Van Dullemen, Masjid Cipaganti adalah tempat peribadatan terakhir yang didesain Schoemaker. Ia membangun masjid ini dengan anggaran terbatas setelah adanya intervensi dari bupati Bandung, yaitu Hasan Sumadipraja.
Disebutkan, Masjid Cipaganti menjadi satu-satunya tempat peribadatan umat islam yang dibangun oleh Schoemaker. Artinya, masjid ini menjadi satu-satunya ungkapan keyakinan Islam Wolff Schoemaker dalam bentuk gedung.
Meski demikian, C.J. Van Dullemen mengaku tidak mengetahui alasan Wolff Schoemaker masuk agama Islam. Ia keluar dari agama Kristen Katolik sekitar tahun 1915 dan menjadi seorang muslim. Keputusan ini mendapat apresiasi dari kalangan mahasiswa pribumi di Technische Hoogeschool Bandung. Di sisi lain, rekan kerja dan mahasiswa Belanda tidak memahami atas apa yang diputuskan Schoemaker.
Wolff Schoemaker meninggal di kamp interniran Jepang di Bandung. Walau semasa hidupnya ia menjalani hidupnya sebagai muslim bahkan namanya menjadi Kemal Schoemaker, namun ia dimakamkan di permakaman Kristen Pandu, blok CB Kelas 1 nomor 1086.