• Buku
  • Bandung Hari Ini: Lahirnya Oto Iskandar, Pahlawan yang Mati Dituduh Mata-mata

Bandung Hari Ini: Lahirnya Oto Iskandar, Pahlawan yang Mati Dituduh Mata-mata

Sebilah belati terayun. Oto Iskandar Di Nata terhuyung dan jatuh. Oto Iskandar meninggal di tangan pemuda laskar yang menuduhnya mata-mata.

Oto Iskandar Di Nata, lahir di Bojongsoang, Bandung, 31 Maret 1897. (Foto repro dari buku Iip D Yahya, Oto Iskandar di Nata The Untold Stories)

Penulis Iman Herdiana31 Maret 2021


BandungBergerak.idLelaki separuh baya itu mencoba menghentikan amarah pemuda laskar yang membawa berbagai jenis senjata tajam, yang mengurungnya di tepi Pantai Ketapang, Tangerang, Banten. Ia mengeluarkan kain dari sakunya dan menyerahkan kepada pemuda yang marah.

“Ini bukti saya bukan agen NICA, bukan mata-mata, bawa ini pada Bung Karno!” kata lelaki yang tak lain Oto Iskandar di Nata. Tetapi pemuda laskar tidak tahu bahwa lelaki yang mereka culik adalah Oto.

Selanjutnya sebilah belati terayun. Oto terhuyung dan jatuh. Darah mengucur deras. Seorang lelaki lain yang turut digiring bersama Oto juga dibunuh. Mayat mereka kemudian dihanyutkan ke laut.

Kisah pembunuhan Oto direkonstruksi Iip D Yahya dalam bukunya, “Oto Iskandar di Nata The Untold Stories” (2017). Oto, tokoh besar Paguyuban Pasundan yang lahir di Bojongsoang, Bandung, 31 Maret 1897, tepat hari ini 124 tahun lalu.

Menurut Iip D Yahya, Oto diculik di rumahnya di Jakarta oleh sekelompok pemuda yuang menamakan diri Laskar Hitam pada saat Republik baru berumur 4 bulan, 10 Desember 1945. Pembunuhan Oto terjadi di Pantai Katapang, Mauk, Tangerang, pagi hari.

Sebelum penculikan dan pembunuhan Oto, Iip melukiskan kondisi Tanah Air khususnya Bandung dan Jakarta yang sedang gawat. Teror dan fitnah melanda. Isu dan provokasi mata-mata berembus tak terkendali. Oto termasuk orang yang difitnah sebagai mata-mata Belanda-NICA.  

“Siapa pun yang sudah dicap mata-mata NICA, hanya keberuntunganlah yang bisa menyelamatkannya,” tulis Iip, dikutip di halaman 16 buku “Oto Iskandar di Nata The Untold Stories”.

Iip juga mengutip AH Nasution yang menggambarkan situasi Jakarta yang tidak aman dan penuh teror antara September, Oktober, November dan Desember 1945. Jenderal Besar TNI tersebut menturkan, banyak warga Jakarta yang pindah ke luar kota demi menghindari cekaman teror.

“Setiap hari ada pertempuran-pertempuran kecil-kecilan antara mereka dengan pemuda-pemuda Indonesia dan mereka itu sampai meneror pemimpin RI, seperti penembakan-penembakan atas Rum SH, Perdana Menteri Sutan Sjahrir, dan Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin SH, untunglah tembakan-tembakan itu tidak sampai membahayakan tokoh-tokoh tersebut.”

Masa itu Indonesia memang sudah diproklamirkan merdeka oleh Sukarno-Hatta. Namun kelahiran bangsa baru bernama RI ini masih terancam kekuatan kompleks, mulai tentara Jepang yang masih bercokol, tentara Inggris dan Belanda atau NICA, serta konflik internal yang melahirkan pemberontakan-pemberontakan di sejumlah daerah.

Laskar Hitam yang menuding Oto mata-mata NICA, lalu menculik dan membunuhnya, kata Iip, adalah satu dari sekian masalah rumit yang muncul bersamaan dengan lahirnya Republik.

Iip menganalisa tudingan benarkah Oto sebagai mata-mata NICA seperti yang ditudingkan pemuda laskar. Menurutnya, pada akhir 1945 ada dua kekuatan besar yang mengancam Republik, yaitu Jepang dan NICA-Belanda yang datang bersama pasukan Sekutu Inggris.

Jika Oto mata-mata Jepang, alasan ini dinilai sangat lemah mengingat Jepang waktu itu sudah hancur akibat kalah Perang Dunia 2. Dai Nippon resmi menyerah pada Sekutu pada 15 Agustus 1945.

Seandainya Oto menjadi mata-mata NICA juga tidak masuk akal. Sebab NICA sangat membenci tokoh Indonesia yang dikenal dekat dengan Jepang. Oto sendiri dikenal sebagai tokoh yang dekat dengan Jepang, antara lain saat ia memimpin koran Tjahaja.

“Dengan demikian, baik tuduhan sebagai mata-mata Jepang maupun NICA, keduanya sangat lemah. Bisa dipastikan Oto memang telah menjadi korban sebuah fitnah, dan para pemuda pembunuhnya termakan oleh fitnah tersebut,” kata Iip.

Iip mengungkap surat terakhir yang dikirim Oto kepada istrinya. “Bapak sekarang sedang mendapat cobaan dari Tuhan. Tidak ada jalan lain selain pasrah pada kehendak-Nya. Tentu saja merasa prihatin sebab difitnah oleh orang,” demikian Iip mengutip surat Oto.

Siapa yang memfitnah Oto? Pertanyaan ini menurut Iip bisa dijawab dengan mengetahui siapa yang paling diuntungkan dengan kematian Oto. Mereka tidak lain adalah NICA-Belanda. Sedangkan yang paling dirugikan ialah konsolidarsi kepemimpinan negara baru Indonesia dan masyarakat Bandung.

NICA sangat berkepentingan menguasai Bandung, kota strategis yang sangat dekat dengan Jakarta. Oto adalah salah seorang tokoh pemimpin berpengaruh di Bandung, ia Ketua Umum Paguyuban Pasundan pada 1929. Sebelumnya ia juga aktif di Budi Utomo.   

Buku Oto Iskandar di Nata The Untold Stories karya Iip D Yahya. (Foto: Iman Herdiana)
Buku Oto Iskandar di Nata The Untold Stories karya Iip D Yahya. (Foto: Iman Herdiana)

Laskar Hitam

Menurut Iip, Laskar Hitam hanya operator penculikan dan pembunuhan Oto. Laskar ini menerima perintah dari Direktorium Tangerang, kelompok pimpinan Achmad Chairun yang mengambil alih pemerintahan Tangerang sekaligus memisahkan diri dari Republik.  

Jadi, Iip menyimpulkan, tudingan mata-mata terhadap Oto yang dialamatkan Laskar Hitam maupun Direktorium Tangerang, meragukan. Saat itu Laskar Hitam dan Direktorium Tangerang justru dalam posisi sebagai musuh Republik.

Iip curiga ada dalang di balik Direktorium Tangerang dan Laskar Hitam yang melakukan pembunuhan terhadap Oto. Terlebih dalam persidangan pembunuhan Oto yang digelar 1958, para terdakwa mengaku tidak mengenal Oto. Posisi ini menunjukkan bahwa mereka hanyalah eksekutor yang menjalankan perintah.

Guru di Jawa Tengah dan Bandung 

Oto lahir dari pasangan Nataatmaja (R.H Rachmat Adam) dan Siti Hadidjah di Bojongsoang yang kini masuk wilayah Kabupaten Bandung. Tahun 1907, Oto belajar di Sekolah Bumiputera ke 1 (berubah menjadi HIS Karangpawulang Bandung).  

Ia melanjutkan sekolah guru di HIK Bandung. Tahun 1917 ia meraih gelar diploma. Setelah itu hijrah ke Purworejo untuk mendalami sekolah guru tingkat atas di HIK Purworejo. Di daerah ini ia mulai aktif di Paguyuban Pasundan dan menjadi utusan Pasundan Cabang Purworejo.

Ia sempat menjadi guru di HIS Banjarnegara, Jawa Tengah, kemudian pada Juni 1921, kembali ke Bandung untuk mengajar di HIS Volksonderwijs atau perguruan rakyat Bandung. Di saat yang sama ia menjabat Wakil Ketua Budi Utomo Bandung.

Pada 1923, ia menikah dengan R.A. Soekirah Martodiwirjo dan dikaruniai 12 anak. Tahun 1928, ia tercatat sebagai anggota Paguyuban Pasundan. Selain aktif berorganisasi, ia juga sibuk sebagai jurnalis dan memimpin sejumlah koran seperti Tjahaja, Pemimpin Majalah Pradjoerit, Sipatahunan, dan lain-lain.

Tahun 1945, Oto menjadi anggota BPUPKI dan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia), serta mengusulkan Sukarno-Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia. Oto sendiri kemudian terpilih menjadi Menteri Negara dalam kabinet pertama RI. Pada 7 November 1956, Oto ditetapkan sebagai Bapak Sunda oleh Kongres Pemuda Sunda I. Kemudian 6 November 1973, Oto mendapat gelar Pahlawan Nasional.   

Di Bandung, setidaknya ada dua nama tempat yang memakai nama Oto Iskandar Di Nata. Pertama, Jalan Oto Iskandar Dinata yang kerap disingkat Otista. Jalan ini merupakan jalan utama di tengah kota. Di jalan ini berdiri Pasar Baru, pusat perbelanjaan yang hingga kini menjadi tujuan wisata belanja oleh warga Bandung maupun dari luar.

Tempat kedua, Pasir Pahlawan Lembang yang menjadi tempat monumen Oto Iskandar Di Nata. Tempat berupa bukit kecil di Jalan Raya Lembang, Kabupaten Bandung Barat, itu secara simbolik menjadi makam pahlawan berjuluk Si Jalak Harupat. Pada 20 Desember 1952, Pasir Pahlawan Lembang jadi prosesi pemakaman kembali di mana pasir dan air laut dari Pantai Mauk menjadi "syarat jenazah" almarhum, mengingat jenazah sesungguhnya hingga kini tidak pernah ditemukan.

Informasi Buku

Judul: Oto Iskandar di Nata The Untold Stories

Penulis: Iip D Yahya

Penerbit: Rumah Baca Buku Sunda

Cetakan: 2017

Editor: Redaksi

COMMENTS

//