• Cerita
  • Bandung Hari Ini: Kolom Asap Setinggi Dua Kilometer dalam Erupsi Tangkuban Parahu

Bandung Hari Ini: Kolom Asap Setinggi Dua Kilometer dalam Erupsi Tangkuban Parahu

Pada 7 April 1910, atau tepat hari ini 111 tahun lalu Gunung Tangkuban Parahu meletus. Kolom asap membubung setinggi dua kilometer dari Kawah Ratu.

Erupsi Gunung Tangkuban Parahu pada April 1910 terekam oleh kamera J. M. van Dahlen dari Cimahi. (Sumber foto: buku Bandung Citra Sebuah Kota)

Penulis Tri Joko Her Riadi7 April 2021


BandungBergerak.idGumpalan asap terlihat membubung begitu tinggi. Gunung Tangkuban Parahu, atau sering salah ditulis sebagai Tangkuban Perahu, meletus. Dari tepi sebuah jalan di Cimahi, yang jaraknya lebih dari 16 kilometer dari gunung itu, fotografer J. M. van Dahlen mengabadikan peristiwa alam itu.

Foto hitam putih jepretan van Dahlen itu, yang menampilkan kesan betapa kecilnya manusia di hadapan kekuatan alam, dimuat oleh Robert P. G. A. Voskuil dalam buku Bandung Citra Sebuah Kota (2017). Erupsi Gunung Tangkuban Parahu yang berlangsung lebih dari dua pekan itu diketahui dimulai pada 7 April 1910, atau tepat hari ini 111 tahun lalu.

Jarak antara Gunung Tangkuban Parahu dan Kota Cimahi, tempat van Dahlen mengambil foto yang menampakkan bubungan kolom asap pada saat erupsi.
Jarak antara Gunung Tangkuban Parahu dan Kota Cimahi, tempat van Dahlen mengambil foto yang menampakkan bubungan kolom asap pada saat erupsi.

Sejarah Erupsi

Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), dalam situs webnya, menyebut erupsi Gunung Tangkuban Parahu tergolong erupusi eksplosif berintensitas kecil yang kadang diselingi oleh erupsi freatif. Jarak antarletusan antara dua hingga 50 tahun. Erupsi Gunung Tangkuban Parahu pada 1910 itu jelas bukanlah erupsi yang pertama atau yang terbesar.

PVMBG Badan Geologi menampilkan kronologi sejarah erupsi Gunung Tangkuban Parahu yang dimulai dari tahun 1829 dalam tabel. Ketika itu terjadi erupsi batu dan abu dari Kawah Ratu dan Kawah Domas. Sebelum erupsi pada 1910, tercatat ada tiga kali erupsi yang masing-masing terjadi pada tahun 1846, 1896, dan 1900.

Tentang erupsi tahun 1910 itu, PVMBG Badan Geologi menambahkan keterangan: “Kolom asap membubung setinggi dua kilometer di atas dinding kawah. Erupsi berasal dari Kawah Ratu.” Tidak ada keterangan lebih lanjut tentang adakah korban jiwa dalam peristiwa tersebut atau berapa banyak warga yang dipaksa mengungsi.

Setelah tahun 1910, tercatat ada beberapa kali erupsi freatik namun tidak sebanding besarnya. Pada 1992, misalnya, bubungan awan abu yang lagi-lagi muncul dari Kawah Ratu tercatat setinggi ‘hanya’ 159 meter. Erupsi freatif terjadi karena dorongan tekanan uap air yang terjadi ketika air di bawah tanah atau permukaan dipanaskan oleh magma, lahar, batuan panas, atau endapan vulkanik baru.

Mulai Juli 2019 pagi, kembali terjadi erupsi freatik Gunung Tangkuban Parahu. Aktivitas wisata di kawasan tersebut dihentikan sementara.

Letusan Mahadahsyat Gunung Sunda 

Gunung Tangkuban Parahu, memiliki ketinggian 2.087 meter di atas permukaan air laut, terletak di dua daerah administratif, yakni Kabupaten Subang dan Kabupaten Bandung Barat. Ada sembilan kawah aktif yang terbentuk akibat banyaknya erupsi dalam 1,5 abad terakhir, yakni Kawah Ratu, Upas, Domas, Baru, Jurig, Badak, Jurian, Siluman, serta Pangguyungan Badak.

Gunung yang memiliki bentuk unik ini, seperti sebuah sebuah perahu raksasa terbalik, merupakan gunungapi starto-composite, yakni gunungapi berlapis-lapis antara lava dan bahan-bahan produk letusan atau piroklastik. Di Indonesia, ia digolongkan sebagai gunungapi aktif tipe A karena tercatat pernah meletus sejak tahun 1600.

Budi Brahmantyo, dalam buku Geologi Cekungan Bandung (2011), mengutip penelitian oleh M. A. C. Dam yang mengungkap adanya dua kali letusan mahadahsyat (kataklismik) di Cekungan Bandung yang diduga masing-masing terjadi pada 105 ribu tahun dan 55 ribu tahun lalu.

“Letusan 105 ribu tahun yang lalu dikenal sebagai letusan gunung api yang dirujuk dikenal sebagai Gunung Sunda,” tulis Budi.

Letusan mahadahsyat Gunung Sunda memuntahkan berjuta-juta meter kubik material dari dalam perut bumi. Ruang kosong di dalam bumi memicu keruntuhan permukaan yang disebut sebagai kaldera. Dasar kaldera besar ini sekarang dikenal sebagai Situ Lembang.

Keruntuhan permukaan bumi akibat letusan mahadahsyat Gunung Sunda juga menjadi penyebab terbentuknya Sesar Lembang sepanjang 29 kilometer dari kaki Gunung Manglayang hingga ke Padalarang. Penelitin terkini memastikan sesar yang melintas di utara kota Bandung ini aktif, dengan pergerakan 4 milimeter per tahun.

“Bagian utara (Kota Lembang hingga Maribaya) ambles turun disbanding bagian selatannya dan membentuk gawir sesar (fault scarp), berupa tebing memanjang berarah timur-barat. Di daerah Maribaya-Palasari, tinggi tebing ini mencapai 450 meter,” tulis Budi yang selain mengajar di Institut Teknologi Bandung (ITB), juga aktif di Kelompok Riset Cekungan Bandung (KRCB).

T. Bachtiar, dalam buku Bandung Purba: Panduan Wisata Bumi (2014) menyatakan, letusan mahadahsyat Gunung Sunda inilah, bukan Gunung Tangkuban Parahu sebagaimana keliru diyakini oleh tidak sedikit orang, yang telah mengurug Ci Tarum Purba di utara Padalarang.

Gunung Tangkuban Parahu dengan demikian disebut sebagai anak Gunung Sunda yang lahir di timur kalderanya sekitar 90 ribu tahun lalu. Ia lahir setelah terbentuknya Sesar Lembang.

Bachtiar menyebut, pada 2005 PVMBG Badan Geologi sudah membuat Peta Kawasan Rawan Bencana Gunung Tangkuban Parahu. Disarankan, di kawasan terdekat dengan sumber letusan sebaiknya tidak ada izin bagi pendirian bangunan komersial.

Untuk warga yang tinggal di lereng atau kaki gunung api, Bachtiar menyarankan agar mereka memberikan perhatian khusus pada bentuk atap rumah. Kemiringannya dibuat curam agar air dan abu bisa segera turun.

“Banyak kejadian, abu yang menempel di atap terlalu banyak mengakibatkan rumah itu roboh,” tulisnya.

Tiga turis berjalan kaki di Kawah Ratu, Gunung Tangkuban Parahu. (Sumber foto: buku Short Guide Djakarta Bogor Bandung)
Tiga turis berjalan kaki di Kawah Ratu, Gunung Tangkuban Parahu. (Sumber foto: buku Short Guide Djakarta Bogor Bandung)

Baca Juga:BANDUNG HARI INI: Perjalanan Panjang Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung dari Hanya Satu Ruang Kuliah
BANDUNG HARI INI: Peresmian Masjid Cipaganti, Masjid Pertama di Bandung Utara
BANDUNG HARI INI: Kolom Asap Setinggi Dua Kilometer dalam Erupsi Tangkuban Parahu

Destinasi Wisata

Meski tergolong gunungapi aktif, Tangkuban Parahu sejak dulu kesohor untuk keindahan dan keeksotisannya. Ia menjadi destinasi wisata favorit yang relatif mudah dicapai dari pusat Kota Bandung.

Dalam Boekoe Penoendjoek Djalan Boeat Pelesiran di Kota Bandoeng dan Daerahnja yang diperkirakan terbit di dasawarsa pertama abad ke-20, Kwee Khay Khee menceritakan bagaimana jalan menuju Tangkuban Parahu, ketika itu ditulis Tangkoeban Prahoe, terpelihara dengan baik. Dari perhentian kendaraan dokar, pengunjung harus melanjutkan perjalanan dengan naik kuda atau tandu. Setelah 2,5 jam, sampailah orang di puncak.

“Djika orang baroe meliat keadaan kawah itoe taboleh tida ia merasa ngeri sebagai meliat soeatoe tempat jang baharoe terlanggar keroesakan ataoe tempat kematian,” tulis Kwee.

Buku ini, atau juga buku awal yang disalin, pastilah terbit sebelum 1910 karena sang pengarang, sembari menggambarkan pemandangan elok berupa dua rawa di Lembang dan rumah-rumah penduduk di Lembang dan Bandung ketika meninggalkan kawasan puncak, menyebut erupsi Gunung Tangkuban Parahu yang terbesar dan yang terakhir kali terjadi pada 1846.

Dalam buku “An Invitation to Bandung Region” (1962), yang ditulis dalam dua bahasa, kawah-kawah di Gunung Tangkuban Parahu ditampilkan secara demikian menggoda. Pengunjung disebut bisa membawa mobilnya hingga ke bibir kawah. Pengalaman yang disebut sebagai “sesuatu yang begitu tak biasa dalam daftar atraksi wisata di mana pun di muka bumi ini.”

Buku ini kemudian mengiming-imingi pembacanya untuk segera memiliki koleksi foto baru selain pose-pose di candi atau taman bunga yang sudah jadi lumrah. Di Gunung Tangkuban Parahu, mereka bisa mejeng di bibir kawah gunungapi.

“Berdiri di bibir salah satu kawah Gunung Tangkuban Parahu berarti berdiri di sebuah tempat yang merupakan keajaiban alam, di pinggiran mulut gunung api yang mendidih, yang terbentuk oleh erupsi gunung di periode mesolitikum sekitar 20 ribu tahun lalu, sebuah masa ketika homo sapiens masih berada dalam tahap-tahap awalnya,” begitu bujuk rayu dalam buku itu.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//