• Cerita
  • BANDUNG HARI INI: Perjalanan Panjang Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung dari Hanya Satu Ruang Kuliah

BANDUNG HARI INI: Perjalanan Panjang Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung dari Hanya Satu Ruang Kuliah

Ketika pertama kali dibuka di Jalan Merdeka, Bandung, pada 17 Januari 1955, Unpar hanya punya satu ruang kuliah. Jumlah mahasiswanya 38 orang.

Kampus Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) di Jalan Ciumbuleuit, Kota Bandung, melangsungkan semua perkuliahan secara daring, pertengahan tahun 2021 lalu. (Foto: Miftahudin Mulfi/BandungBergerak.id)

Penulis Tri Joko Her Riadi17 Januari 2022


BandungBergerak.id - Pada 17 Januari 1955, tepat hari ini 67 tahun lalu, Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung memulai perjalanan panjangnya. Di sebuah gedung di Jalan Merdeka Nomor 32, Kota Bandung, dalam upacara yang amat sederhana, diresmikan Akademi Perniagaan Parahyangan atau dalam ejaan ketika itu, Akademi Perniagaan Parahiangan. Akademi itulah yang kemudian tercatat sebagai perguruan tinggi Katolik pertama di Indonesia.

Dua tokoh pendirinya adalah Mgr. Petrus Marimus Arntz, OSC dan Mgr. Nicolaus Johannes Cornelis Geise, OFM. Mgr. Arntz, yang ketika itu menjabat Vikaris Apostolik Bandung, kemudian menjadi Uskup Keuskupan Bandung. Sementara Mgr. Geise, yang waktu itu menjabat Prefek Apostolik Sukabumi, kemudian menjadi Uskup Keuskupan Bogor.

Sama-sama memiliki kepedulian terhadap dunia pendidikan dengan latar belakangnya sebagai pengajar, kedua pastor itu membuat keputusan berani mendirikan perguruan tinggi Katolik yang sebenarnya sudah dibahas secara serius oleh para waligereja se-Jawa setidaknya sejak 1952. Ketika itu diusulkan agar yang pertama didirikan adalah sebuah institut bahasa di Bandung.

Meski keinginan mendirikan universitas sudah tersebar luas di tengah umat Katolik Indonesia, langkah mewujudkannya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ada sedikitnya dua keraguan yang dihadapi waligereja ketika itu, yakni manfaat perguruan tinggi Katolik bagi daerah-daerah di luar Jawa dan beban biaya pengelolaannya yang pastilah tidak murah.

Dalam suasana gamang seperti itulah, ditambah desakan dari tokoh-tokoh Katolik seperti Ignatius Joseph Kasimo Hendrowahyono, Mgr. Arntz dan Mgr. Geise tampil sebagai pionir. Bukan institut bahasa yang mereka dirikan di Bandung, tapi sebuah akademi perniagaan yang diyakini akan memiliki manfaat praktis secara langsung dalam kehidupan masyarakat.

“Gagasan untuk mendirikan Unpar bukan ide saya, melainkan dari umat Katolik yang mendesak MAWI (Majelis Agung Waligereja Indonesia, sekarang Konferensi Wali Gereja Indonesia/KWI) agar mencontoh apa yang dilakukan pihak Protestan dan kalangan agama lainnya, yakni mendirikan perguruan tinggi swasta. Kalau mereka bisa, mengapa Katolik tidak?” ujar Mgr. Geise dengan rendah hati, dikutip dari buku Persembahan kepada Nusa Pertiwi: Enam Puluh Tahun Universitas Katolik Parahyangan 1955-2015 (2015).

Dari kampus dengan satu ruang kuliah di Jalan Merdeka, kini Unpar kokoh sebagai salah satu perguruan tinggi swasta terpercaya di Indonesia dengan kampus utamanya di Jalan Ciumbuleuit, Bandung.  

Potret dua tokoh pendiri Unpar Bandung, Mgr. Petrus Marimus Arntz, OSC dan Mgr. Nicolaus Johannes Cornelis Geise, OFM. (Sumber foto: buku Persembahan kepada Nusa Pertiwi, 2015)
Potret dua tokoh pendiri Unpar Bandung, Mgr. Petrus Marimus Arntz, OSC dan Mgr. Nicolaus Johannes Cornelis Geise, OFM. (Sumber foto: buku Persembahan kepada Nusa Pertiwi, 2015)

Kenapa di Bandung?

Adalah I. G. Kasimo yang menyodorkan Kota Bandung sebagai lokasi pendirian perguran tinggi Katolik Pertama di Indonesia. Tokoh pendiri Partai Katolik Indonesia itu menyampaikannya ketika bersama delegasi umat Katolik menemui para waligereja se-Jawa yang sedang berkumpul di Jakarta.  

Tentu ada alasan-alasan kuat kenapa harus Bandung dan bukan di kota lain di Indonesia. Salah satunya, pada pertengahan dasawarsa 1950-an itu, Bandung sudah menjelma kota pendidikan dengan keberadaan beberapa perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta.

Hampir semua kampus negeri di Bandung ketika itu merupakan bagian dari Universitas Indonesia. Selain Fakultas Teknik, ada Fakultas Ilmu Pasti dan Pengetahuan Alam. Juga terdapat dua akademi, yakni Akademi Pendidikan Djasmani dan Akademi Seni Rupa.

Untuk perguruan tinggi swasta, sudah ada Universitas Merdeka dan Universitas Sawerigading (Unsa).

Selain lingkungan akademik yang relatif sudah kuat, Bandung terbukti juga menyediakan sokongan sosial-politik yang memungkinkan perguruan tinggi Katolik berkembang. Tokoh-tokoh masyarakat di Bandung, dan juga Jawa Barat secara umum, menyambut baik pendirian dan pengembangan Unpar.

Wali Kota Bandung R. Enoch menghadiri perayaan dies natalis pertama pada 17 Januari 1956. Gubernur Jawa Barat R. Moh. Sanusi Hardjadinata juga menunjukkan dukungannya ke Unpar.  

“Yang merupakan keuntungan bagi Perguruan Tinggi Sosial Ekonomi Parahyangan waktu itu hanyalah bahwa masyarakat Kota Bandung khususnya memberikan dukungan yang baik, antara lain dengan kesediaan para tokoh masyarakat Jawa Barat untuk duduk dalam Dewan Kurator tahun 1957,” demikian tertulis dalam buku Lustrum VII Universitas Katolik Parahyangan (1950-1990) sebagaimana dikutip oleh buku Persembahan kepada Nusa Pertiwi: Enam Puluh Tahun Universitas Katolik Parahyangan 1955-2015 (2015). 

Bulan-bulan Pertama

Sama seperti semua lembaga lain, bulan-bulan pertama Akademi Perniagaan Parahyangan bukan waktu yang mudah. Gedung di Jalan Merdeka yang digunakan sebagai kampus itu hanya memiliki satu ruang kuliah. Konon, ruangan itu adalah bekas kamar tidur mahasiswa. Sementara itu, ruang depan gedung itu digunakan sebagai kantor administrasi.  

“Meskipun hanya menggunakan satu ruangan kuliah, tetapi hal ini tidak menjadi masalah karena mahasiswanya baru satu angkatan sehingga tidak ada kuliah-kuliah yang bersamaan waktu,” tulis Hasan Sidik, satu dari 38 orang mahasiswa angkatan pertama.

Dari satu ruang kuliah, kampus Akademi Perniagaan Parahyangan terus berkembang. Tambahan ruangan diperoleh di kompleks Santa Angela, Jalan Merdeka.

Jalan Merdeka ketika itu masih lengang. Tidak seperti sekarang yang jadi jalur utama aktivitas warga Bandung. Perkuliahan, yang dilangsungkan pada sore hari, berjalan dengan tenang bagi para mahasiswa yang sebagian besar datang ke kampus dengan bersepeda atau berjalan kaki.

Baca Juga: HopeHelps Unpar Menyediakan Tempat Aman bagi Korban Kekerasan Seksual
Mengenalkan Seni Reak lewat Permainan Papan Anak
Rangkaian Menifesto 2021 Unpar Diwarnai Webinar dan Hiburan Virtual

Tonggak-tonggak Perjalanan

Kampus rintisan Mgr. Arntz dan Mgr. Geise di Jalan Merdeka itu terus tumbuh membesar. Salah satunya lewat pembukaan fakultas-fakultas baru. Tonggak-tonggak perjalanannya dapat disimak di situs resmi Unpar.

Pada bulan Agustus 1955, Akademi Perniagaan Parahyangan berubah menjadi Perguruan Tinggi Sosio Ekonomi Parahyangan. Inilah cikal bakal Fakultas Ekonomi Unpar sekarang.

Pada 15 September 1958, nama Perguruan Tinggi Sosio Ekonomi Parahyangan diubah menjadi Perguruan Tinggi Katolik Parahyangan. Bersamaan dengan itu, Fakultas Hukum dibuka.

Pada 31 Oktober 1958, dibentuk yayasan yang berstatus badan hukum sebagai penyelenggara Perguruan Tinggi Katolik Parahyangan.

Pada tahun 1960, Fakultas Teknik dibuka dengan dua jurusannya, yakni Teknik Sipil dan Teknik Arsitektur.

Pada tahun 1961, dibuka Fakultas Sosial Politik. Masih di tahun yang sama, nama Perguruan Tinggi Katolik Parahyangan diganti menjadi Universitas Katolik Parahyangan.

Pada 19 April 1962, Unpar ditetapkan sebagai perguruan tinggi dengan status disamakan dengan perguruan tinggi negeri.

Pada 1 Januari 1983, Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Suryagung Bumi bergabung ke Unpar sebagai Fakultas Filsafat.

Pada tahun 1993, dibuka dua fakultas baru, yakni Fakultas Teknologi Industri dan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. 

Editor: Redaksi

COMMENTS

//