• Kampus
  • HopeHelps Unpar Menyediakan Tempat Aman bagi Korban Kekerasan Seksual

HopeHelps Unpar Menyediakan Tempat Aman bagi Korban Kekerasan Seksual

Permendikbudristek PPKS akan mengisi kekosongan hukum atas maraknya kasus kekerasan seksual di kampus.

HopeHelps Unpar, berdiri sejak November 2020, bergerak di bidang advokasi korban kekerasan seksual. (Dok. HopeHelps Unpar)

Penulis Sarah Ashilah3 Desember 2021


BandungBergerak.idHadirnya Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi (Permenristek PPKS) disambut positif komunitas HopeHelps Universitas Katolik Parahyangan (Unpar). Regulasi ini dinilai akan mengisi kekosongan hukum atas maraknya kasus kekerasan seksual di kampus.

HopeHelps merupakan organisasi nirlaba antikekerasan seksual di dalam lingkup kampus, yang akan merespons berbagai kasus kekerasan seksual, serta menyediakan pelayanan advokasi bagi korban. Jaringan organisasi HopeHelps, kini sudah tersebar di 15 kampus Jawa-Bali.

HopeHelps Unpar merupakan salah satu dari kelima belas jaringan HopeHelps. Berdiri sejak November 2020, HopeHelps Unpar hadir sebagai tempat yang aman bagi para korban untuk berani bersuara.

Menurut Raras Prasadja sebagai Direktur Lokal HopeHelps Unpar, dan Anastasya Jesslyn selaku Wakil Direktur Advokasi Bidang Kajian HopeHelps Unpar, Permenristek PPKS telah mendapatkan dukungan dari Rektor Unpar.

"Kasus kekerasan seksual ini kan fenomena 'gunung es', masih banyak yang perlu disingkap. Dalam konteks kampus, ada proses birokrasi yang menyulitkan, atau kampus yang tidak mau melihat perspektif korban. Tapi Unpar kan enggak begitu, ya. Rektor kita sudah memberikan respons positif tentang Permen PPKS," ujar Raras dan Jesslyn, seperti dikutip dari laman resmi Unpar yang diakses pada Jumat (3/12/2021).

Berdirinya HopeHelps Unpar dilatarbelakangi adanya kekosongan dalam penanganan kasus kekerasan seksual di kampus. Raras dan Jesslyn melihat bahwa korban kerap kali tidak mempunyai tempat aman untuk bercerita. Selain itu keinginan kuat untuk mengedukasi tentang persoalan ini, menjadi landasan didirikannya HopeHelps Unpar. Mereka menyayangkan jika selama ini bentuk kekerasan seksual hanya dipandang sebatas pemerkosaan. Padahal, banyak bentuk dari kekerasan seksual yang tidak disadari masyarakat.

Ruang lingkup kasus yang akan ditangani oleh HopeHelps Unpar tentunya adalah korban kekerasan yang merupakan bagian dari sivitas akademika Unpar, dengan pelaku kekerasan seksual dari sivitas akademika Unpar pula.

Ada tiga jenis pendampingan yang dilakukan oleh jaringan HopeHelps Unpar, yakni pendampingan psikologis, hukum, dan lainnya. Meski begitu, jenis pendampingan yang diambil benar-benar menyesuaikan dengan keinginan korban. Apakah akan dibawa ke ranah hukum atau tidak. Jika ya, HopeHelps akan mendampingi korban mengakses layanan hukum berperspektif korban.

Untuk pendampingan psikologis, HopeHelps Unpar akan mengarahkan korban ke tenaga psikologis profesional.

Raras dan Jesslyn juga menyayangkan berbagai pihak yang kontra akan Permendikbudristek PPKS. Padahal jika dilihat dari sudut pandang korban, regulasi ini akan menjadi naungan bagi para korban pelecehan di kampus. Korban yang semula tidak memiliki payung hukum, kini terlindungi secara hukum.

Esensi ruang aman di kampus menurut Raras dan Jesslyn sendiri adalah ketika semua pihak di lingkungan kampus dapat belajar dan bekerja tanpa adanya kekerasan seksual. Sekalinya terjadi suatu kasus, diharapkan pihak kampus pun tak abai terhadap kebutuhan korban. Di samping itu, kampus harus benar-benar memastikan korban bisa pulih dan tidak putus kuliah.

Pelaporan terhadap kekerasan seksual di wilayah kampus UNPAR dapat dilakukan melalui Hotline: +62 8211692 2358 (WA, SMS, dan telepon). Email: [email protected]. Temui HopeHelps Unpar juga di Instagram dan Twitter: @hopehelpsunpar; LINE@: @297bqoqx.

Baca Juga: Permendikbudristek PPKS telah Terbit, bagaimana Perlindungan Buruh Perempuan dari Kekerasan Seksual di Tempat Kerja?
Kampus Darurat Kekerasan Seksual, YLBHI dan 17 LBH Mendukung Permendikbudristek PPKS
https://bandungbergerak.id/article/detail/1762/kampus-darurat-kekerasan-seksual-ylbhi-dan-17-lbh-mendukung-permendikbudristek-ppks

Penyebab Rape Culture di Lingkungan Kampus

Mengacu pada jurnal “Quo Vadis, Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelecehan Seksual di Kampus” yang ditulis oleh Jeremya Chandra Sitorus, dari Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya, disebutkan bahwa di dalam kehidupan masyarakat luas terjadi dikotomisasi dengan membatasi identitas gender, ekspresi gender, dan alat kelamin. Padahal ketiga hal ini merupakan sebuah spektrum yang luas dan tidak memiliki batasan-batasan jelas sama sekali.

Dikotomi tersebut diakibatkan oleh kuatnya konstruksi sosial yang menciptakan ilusi stereotip bahwa satu gender dipandang lebih superior dibandingkan dengan gender lainnya. Konstruksi sosial masyarakat yang patriarkis cenderung memandang laki-laki berhak menduduki kelas sosial yang lebih tinggi. 

Hal itulah yang lalu mengakibatkan, terjadinya banyak kerugian di pihak gender perempuan atau bentuk gender selain laki-laki.

Gender yang dipandang inferior, biasanya kerap mengalami diskriminasi karena kesulitan mendapatkan hak yang setara. Bahkan tidak jarang gender yang dianggap inferior mengalami penindasan dalam bentuk kekerasan seksual, sebagai wujud dari rasa superioritas laki-laki.

Hal seperti itu jugalah yang melatarbelakangi terciptanya istilah rape culture atau budaya pemerkosaan. Istilah ini digunakan oleh kaum feminis Amerika Serikat pada tahun 1970'an. Salah satu aktivis yang menggagas dan mendefinisikan istilah rape culture adalah Emilie Buchwald.

Singkatnya, Emilie mendefinisikan budaya ini, sebagai satu set sistem kepercayaan yang kompleks, di mana laki-laki didorong untuk melakukan agresi seksual terhadap wanita. Di dalam masyarakat yang menganut budaya pemerkosaan, kekerasan seksual terhadap wanita dianggap tidak terelakan, dinormalisasi, bahkan dipandang sebagai bentuk ekspresi seksual yang wajar dari kaum laki-laki.

Jeremya Chandra Sitorus juga menerangkan rape culture pada akhirnya menimbulkan fenomena relasi kuasa yang mengakibatkan korban kesulitan untuk mendapatkan keadilannya.

Pelecehan seksual dan pemerkosaan di kampus tidak lepas dari sikap permisif dan normalisasi terhadap perbuatan tersebut. Ketakutan korban untuk melapor dilatarbelakangi oleh maraknya tindakan victim blaming yang biasanya akan mengenai korban.

Tidak heran jika kasus kekerasan seksual di kampus menjadi fenomena gunung es, masih banyak yang belum terkuak ke atas permukaan. Akibatnya, pelaku pun tetap bebas melakukan perbuatannya tanpa konsekuensi yang menimbulkan efek jera.

Masih menurut Jeremya Chandra Sitorus, pencabulan dan pemerkosaan sebetulnya sudah dirumuskan secara terpisah di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Namun sayangnya, pasal-pasal yang dimaksud tidak menjelaskan secara lebih rinci mengenai batasan antara bentuk pemerkosaan dan kekerasan seksual lainnya.

Jeremya berpendapat, pelecehan seksual di dalam kampus harus mendapatkan perhatian khusus, baik dari pemerintah sebagai pembuat kebijakan dan pihak kampus yang bukan saja berperan sebagai pembuat kebijakan, namun sekaligus pengelola dari sebuah institusi pendidikan.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//