Kampus Darurat Kekerasan Seksual, YLBHI dan 17 LBH Mendukung Permendikbudristek PPKS
Jangan sampai Permendikbudristek tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi jauh panggang dari api,
Penulis Delpedro Marhaen18 November 2021
BandungBergerak.id - Tidak adanya kebijakan penanggulangan kekerasan seksual di lembaga pendidikan disinyalir menjadi musabab kegentingan masalah pelecehan dan kekerasan seksual di Indonesia. Tak ayal, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan 17 kantor LBH-YLBHI di Indonesia mendukung diterbitkannya Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi.
"Perlu adanya kebijakan penanggulangan kekerasan seksual di lembaga pendidikan, kami satu tujuan punya visi yang sama," kata pengacara Publik LBH Jakarta, Aprilia Lisa dalam konferensi pers virtual, Selasa (16/11/2021) lalu.
Diungkap dia, Permendikbudristek PPKS di Lingkungan Perguruan Tinggi ini merupakan jawaban dari tuntutan YLBHI dan 17 kantor LBH-YLBHI selama ini. YLBHI-LBH menilai regulasi tersebut memiliki pasal yang dianggap penting bagi perlindungan untuk korban dan juga pasal yang lengkap untuk mendefinisikan apa saja bentuk kekerasan seksual dan berpihak kepada korban.
“Kami nilai ini menjawab dan sudah sangat bagus untuk diimplementasikan karena sangat detail. Dalam Permendikbudristek ini diatur supaya yang melakukan kekerasan seksual itu mendapatkan hukuman,” kata Aprilia.
Aprilia mengatakan, Permendikbudristek PPKS tak hanya mengatur soal hukuman, melainkan juga mengatur pencegahan, perlindungan terhadap korban dan saksi.
“Perlindungan terhadap korban ini sangat sulit, tapi di Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 ini juga diatur perihal perlindungan dengan detail,” kata Aprilia.
YLBHI-LBH juga berharap agar Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 bisa mengubah lingkungan kampus menjadi lingkungan yang aman. Mereka berharap aturan ini bisa segera dilaksanakan oleh setiap universitas di Indonesia.
“Semoga Permendikbud Ristek Nomor 30 ini dapat memberikan ruang aman untuk dosen, mahasiswa, staf dan semuanya. Kami percaya perguruan tinggi yang baik adalah yang bisa jadi ruang aman untuk semua,” ujar Aprilia.
Terakhir, Aprillia mengatakan, pelaksanaan dari Permendikbudristek PPKS diharapkan dapat berjalan dengan baik. Jangan sampai aturan ini jauh panggang dari api, lanjut Aprilia, banyak terjadi di Indonesia pelaksanaan aturan kerap berbeda dengan semestinya. Ia berharap aturan ini bisa dieksekusi dengan baik dan mendapatkan pengawasan dari masyarakat luas.
“Saat ini hal yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana implementasi Permendikbud ini di lapangan. Jangan sampai hanya bagus dalam perundang-undangannya saja tapi nyatanya implementasinya tidak demikian,” tutur Aprilia.
Tidak Ada Regulasi
Staf Divisi Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) LBH Yogyakarta, Kharisma Wardhatul mengatakan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang PPKS di Lingkungan Perguruan Tinggi sebagai langkah konkret untuk memutus rantai kekerasan seksual yang selama ini terjadi di lingkungan perguruan tinggi. Kharisma menuturkan, sepanjang 2020 hingga 2021 ada 6 perguruan tinggi di Yogyakarta yang belum menyelesaikan perkara kekerasan seksual yang terjadi di kampusnya.
“Kampus-kampus ini tidak punya regulasi, kemudian [pihak kampus] baru merespons ketika ada kasus, mereka tidak melakukan antisipasi dengan membuat regulasi pencegahannya terdahulu,” ujar Kharisma.
Dalam catatan pendampingannya, di salah satu universitas negeri di Yogyakarta baru membuat regulasi penanganan kekerasan seksual dengan membentuk standar operasional prosedur (SOP) dan unit pelaksana teknis (UPT) setelah ditemukannya kasus dan didesak oleh mahasiswa. Sayangnya, meski sudah ada regulasi yang mengatur, pihak kampus tersebut belum menangani kekerasan seksual dengan berpihak pada korban.
“Korban tidak ditangani dengan layak, sehingga korban masih terus dihantui perasaan-perasaan tidak aman, mendapat tekanan dari berbagai pihak, seperti dosen, ancaman dari teman-teman pelaku, serta respons kampus yang lamban,” ucap Kharisma.
Menurut Kharisma, respons lambat kampus dalam menangani kekerasan seksual akan berdampak besar pada psikologis korban yang tak memiliki masa depan hingga merasa sulit mendapat keadilan.
“Korban merasakan situasi kampus tidak aman, dia masih mungkin bertemu dengan pelaku di dalam kelas-kelasnya di kemudian hari,” ucap dia.
Permendikbudristek PPKS di Lingkungan Perguruan Tinggi dinilai Kharisma sebagai aturan yang komprehensif dan memberikan harapan baik untuk menangani banyak kasus kekerasan seksual di kampus.
“Karena dicantumkan upaya pendampingan dan pemulihan hingga sanksi administratif baik kepada pelaku maupun perguruan tinggi,” kata dia.
Kharisma juga mengapresiasi pelibatan mahasiswa dan tenaga pendidik di dalam pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Permendikbudristek PPKS.
“Sehingga tidak hanya dosen saja yang menjadi bagian dari Satgas tersebut. Permen ini juga menyarankan perguruan tinggi mengajak instansi terkait dalam upaya perlindungan dan pemulihan korban,” terang Kharisma.
Kharisma menegaskan, pihaknya mendorong implementasi Permendikbudristek tentang PPKS di Lingkungan Perguruan Tinggi ini dan berharap masyarakat sipil turut serta melakukan pengawasan.
“Jadi tidak ada alasan untuk menolak Permendikbud ini,” pungkas Kharisma.
Jalan Memutar Penanganan Kekerasan Seksual di Kampus
Perwakilan YLBHI-LBH Jakarta, Aprilia Lisa menuturkan berdasarkan data YLBHI dan 17 kantor LBH-YLBHI, pada tahun 2020 terdapat 12,17 persen kasus kekerasan seksual terkait relasi di dunia pendidikan.
“Salah satunya di perguruan tinggi. Di data ini, kami tidak mengelompokkan hanya khusus perguruan tinggi tapi disatukan untuk semua dunia pendidikan termasuk jenjang sekolah,” ujar Aprilia.
Merujuk pada data tersebut, Aprilia memaparkan, usia korban kekerasan seksual berada pada rentang 19-29 tahun yakni sebesar 14,77 persen atau sebanyak 22 kasus kekerasan seksual dalam lingkup di perguruan tinggi.
“Data ini menjadi PR bagi kita bersama di mana kekerasan seksual ternyata juga bisa terjadi di dunia pendidikan yang selama ini kita semua mengira aman,” tutur Aprilia.
Di tahun 2020, LBH Makassar bersama Seruan Perempuan melakukan testimoni kekerasan seksual di 10 perguruan tinggi. Berdasarkan data yang diterima dari 48 responden, ada 3 kasus pemerkosaan, 3 kasus mengenai kontrol seksual, 4 kasus mengenai eksploitasi seksual, 5 kasus pemaksaan aborsi, 5 kasus mengenai intimidasi seksual, dan 34 kasus pelecehan seksual.
“Ada pun pelaku kekerasan seksual di perguruan tinggi itu di antaranya ada alumni, dosen, mahasiswa dan orang yang tidak dikenal,” kata Melissa perwakilan LBH Makassar.
Melissa mengungkapkan, kekerasan seksual yang terjadi di lingkup perguruan tinggi tidak hanya terjadi di lingkungan kampus. Dalam catatanya, kekerasan seksual dilakukan di luar lingkungan kampus seperti di rumah dosen, angkutan umum, dan hotel. Nahasnya dari 48 responden, hanya 9 korban yang melaporkan ke kepolisian atau otoritas kampus.
Kendati melaporkan kasus kekerasan seksual ini ke kepolisian atau otoritas kampus, pelaporan kesembilan korban tersebut hanya dikategorikan sebagai bentuk tindak pidana penganiayaan. Selain tidak ada aturan yang jelas, hal ini terpaksa ditempuh korban karena takut terhadap ancaman yang diberikan oleh pihak kampus.
“Korban ini sudah takut duluan mendapatkan victim blaming dari kepolisian. Bahkan takut kasusnya ini diketahui orang tua dan teman-temannya. Masih ada stigmatisasi dari masyarakat terkait korban kekerasan seksual,” kata Melissa.