Permendikbudristek PPKS telah Terbit, bagaimana Perlindungan Buruh Perempuan dari Kekerasan Seksual di Tempat Kerja?
Kasus kekerasan seksual di luar universitas, seperti di dunia kerja, bahkan di ranah keluarga, berpotensi terjadi. RUU TPKS mendesak disahkan.
Penulis Sarah Ashilah26 November 2021
BandungBergerak.id - Lahirnya Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi diharapkan bisa mencegah kasus kekerasan seksual di lingkup kampus. Tetapi bagaimana dengan kasus kekerasan seksual di dunia kerja, di pabrik-pabrik yang banyak mempekerjakan buruh perempuan, bahkan di ranah keluarga?
Munculnya Permendikbudristek PPKS memantik kembali pentingnya pengesahan Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) yang lama terkatung-katung di DPR. Padahal jika RUU TPKS disahkan sesuai versi aslinya, maka undang-undang ini diyakini akan memberikan perlindungan terhadap semua orang dengan posisi rentan, termasuk buruh-buruh perempuan.
RUU TPKS merupakan RUU yang dirumuskan sejumlah organisasi perempuan beserta Komnas Perempuan. RUU ini kemudian diusulkan ke parlemen. Rentannya kaum buruh perempuan menjadi salah satu latar belakang perumusan RUU ini.
Isu tersebut dibahas dalam diskusi bertajuk “RUU TPKS dan Perlindungan Buruh Perempuan: Amankah Buruh dari Kekerasan Seksual?” yang diselenggarakan Indonesia Inklusi dan Pamflet Generasi, Kamis (25/11/2021).
Vivi Widyawati, perwakilan dari organisasi Perempuan Mahardhika yang menjadi narasumber diskusi, menyoroti nasib buruh perempuan yang banyak bekerja di pabrik garmen. Menurut Vivi, sejak awal industri garmen memang mengutamakan penyerapan tenaga kerja perempuan. Fenomena ini tidak terlepas dari konstruksi sosial patriarki di mana pekerjaan menjahit dan melipat dilekatkan pada identitas perempuan.
“Ketika kita berbicara tentang buruh garmen, memang 90 persen pekerjanya adalah perempuan. Walau begitu kita juga perlu ingat, kalau ekspresi gender itu sangat beragam dan tidak terbatas hanya pada gender perempuan saja (cis-gender). Banyak juga kan pekerja di pabrik garmen yang mengidentifikasi dirinya seperti ‘saya tomboy’, misalkan,” terang Vivi.
Vivi juga menerangkan, ketika membicarakan permasalahan yang menimpa para pekerja ini, latar belakang pun menjadi sesuatu yang harus diperhatikan. Karena, banyak di antara mereka yang juga merupakan seorang ibu tunggal, ibu sekaligus seorang istri, bahkan ada juga mereka yang ternyata korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Pengetahuan latar belakang seperti itu diperlukan untuk mengidentifiasi sebuah kasus, serta mengetahui langkah yang tepat untuk membantu korban.
Vivi bercerita, bahwa sudah banyak menangani kasus keguguran buruh perempuan akibat beban kerja berat dan jam kerja yang panjang. Perusahaan-perusahaan tempat para buruh ini bekerja, tidak memiliki suatu kebijakan atau perlakuan khusus terhadap pekerjanya yang tengah hamil.
Selain itu dalam penelitiannya, organisasi Perempuan Mahardhika banyak menemukan kasus-kasus pelecehan seksual di dalam industri. Bentuk dari pelecehaan seksual ini biasanya berupa colekan pada anggota tubuh, sentuhan pada bokong, bahkan payudara. Hal seperti itu terjadi di dalam pabrik saat mereka bekerja.
“Jadi si pengawas itu bisa sambil lewat lalu melakukan pelecehan seksual terhadap buruh perempuan ini. Di luar pabrik, mereka juga mengalami lagi bentuk kekerasan, seperti KDRT dengan beragam bentuk,” ungkap Vivi.
Di tengah situasi masyarakat yang tidak mendukung perceraian, banyak perempuan yang terpaksa bertahan dalam situasi kekerasan dalam rumah tangganya. Korban merasa kesulitan untuk keluar dari situasi ini. Menurut Vivi, hal ini seharusnya menjadi pemerintah dan serikat buruh.
RUU TPKS Perlindungan untuk Semua
RUU TPKS diusulkan untuk menegakkan keadilan bagi korban kekerasan seksual. Namun RUU ini menghadapi tandangan berat di tengah masyarakat Indonesia yang umumnya patriarki, di mana banyak orang masih menganggap kekerasan seksual tidak termasuk pelanggaran HAM.
Di lingkungan buruh pabrik pun kekerasan seksual dianggap sebagai ranah personal. Akibatnya korban tidak berani melaporkan kasus yang menimpa dirinya.
Isi dari rancangan asli RUU TPKS mencakup definisi yang jelas terkait apa itu kekerasan seksual, 9 bentuk kekerasan seksual, pencegahan, perlindungan, penanganan, bahkan ganti rugi. Rancangan undang-undang yang cukup komprehensif ini diharapkan akan menjadi payung hukum bagi para korban kekerasan seksual, bukan hanya di tempat bekerja, namun juga di dalam relasi keluarga, perkawinan, pacaran, sekolah, universitas, bahkan tempat ibadah sekalipun.
Tetapi Vivi menyayangkan, proses RUU TPKS banyak menemui hambatan dan perdebatan di DPR. Semula, RUU TPKS adalah RUU PKS yang dalam perjalanannya banyak dipangkas di sana sini.
“Singkat cerita, hasil dari perdebatan ini salah satunya adalah dari RUU PKS lalu menjadi RUU TPKS. Lalu isinya pun banyak dipangkas, seperti dari sembilan bentuk kekerasan seksual, yang diambil hanya lima. Kemudian dalam perlindungan korban pun menjadi bias, karena adanya peraturan yang harus melibatkan keluarga dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual. Sementara, kita tahu kalau kebanyakan pelaku itu adalah keluarganya sendiri. Pasal itu tentu sangat bias,” ucap Vivi.
Permasalahan lainnya adalah, RUU TPKS versi campur tangan parlemen kini hanya berfokus pada tindak pencegehan. Sementara di lapangan, kekerasan sudah banyak terjadi. Jika hanya terfokus pada pencegahan, hal ini dikhawatirkan akan membuat korban kesulitan mengakses keadilan.
Proses legislasi yang banyak memangkas RUU TPKS di DPR dinilai sebagai ancaman bagi masa depan perlindungan korban kekerasan seksual. Sehingga Perempuan Mahardhika bersama organisasi perempuan lainnya terus memperjuangkan agar RUU TPKS tidak melenceng dari tujuan awalnya, yakni terfokus pada kebutuhan korban.
Menurutnya, jika RUU TPKS berhasil menjadi undang-undang yang disahkan, undang-undang ini tentunya juga bisa menjadi payung hukum para buruh perempuan. Di pasal 50 tentang ruang lingkup hak korban, tertulis adanya perlindungan dari kehilangan pekerjaan, pendidikan, dan akses politik.
Dengan adanya undang-undang tersebut, korban yang merasa dilecehkan ataupun mengalami kekerasan seksual dapat melapor tanpa harus takut kehilangan pekerjaannya. Perusahaan yang melanggar undang-undang, dengan tetap memecat korban, akan dijatuhi sanksi.
Bentuk Kekerasan Seksual dan Diskriminasi Gender yang tak Disadari
Tika Maulani Agustina sebagai perwakilan dari Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita Pasoendang Digdaya (PPSW Pasoendan Digdaya) Jawa Barat dan Banten, mengungkapkan bahwa masih banyak para buruh perempuan yang tidak menyadari bahwa dirinya telah mengalami pelecehan, kekerasan, maupun diskriminasi.
Konstruksi sosial patriarki yang terlanjur terpatri dalam benak mereka, membuat mereka menganggap jika pekerjaan domestik hanyalah pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan. Sehingga para buruh perempuan ini mendapatkan beban ganda, di mana selepas bekerja mereka masih harus mengerjakan pekerjaan-pekerjaan domestik di rumahnya.
“PPSW Pasoendan Digdaya melatih para pekerja perempuan ini untuk bisa mengkomunikasikan kebutuhannya secara asertif pada pasangannya, agar dapat membagi beban pekerjaan domestik ini,” ujar Tika.
Sedangkan dalam kasus pelecehan seksual, mayoritas korban pelecehan tidak menyadari jika apa yang mereka alami merupakan bentuk pelecehan. Sementara, mereka yang menyadari akan kebingungan, apa yang seharusnya mereka lakukan.
Di sinilah peran PPSW Pasoendan Digdaya terhadap para buruh perempuan. Pada tahun 2019 PPSW Pasoendan Didaya menjalin kerjasama dengan Care untuk menjalankan program Worker Dignity Health and Leadership. Penerima manfaat dari program ini merupakan pekerja pabrik garmen perempuan di wilayah Sukabumi dan Purwakarta.
Demi menjangkau para pekerja ini, PPSW Pasoendan Didaya melakukan pendekatan melalui kader-kader lokal seperti ibu-ibu PKK dan Posyandu. Sebanyak 24 kelompok pekerja perempuan pun dibentuk, dengan satu kelompoknya yang berisikan 20 orang perempuan pekerja pabrik garmen. Dari setiap kelompok ini, dipilihlah satu orang yang menjadi focal point dan bertugas untuk melakukan diseminasi pada kelompoknya masing-masing.
“Itu salah satu proses pemberdayaan yang kami lakukan, demi membuka keran-keran berpikir bagi para pekerja garmen. Karena materi-materi yang disampaikan saat itu salah satunya terkait isu gender, kesehatan reproduksi, dan kepemimpinan perempuan,” ujar Tika.
Setelah mengikuti program yang diberikan PPSW Pasoendan Digdaya, para pekerja garmen yang mengikuti program pun jadi mengerti apa saja bentuk pelecehan seksual. Tidak sampai di situ, Tika bersama PPSW Pasoendan Digdaya juga memberikan arahan pada para pemangku kebijakan seperti pemerintah desa, dan manajemen perusahaan agar lebih tersadar akan isu-isu yang terjadi pada para pekerja garmen
“Hasil dari berjalannya program ini adalah munculnya peraturan antipelecehan seksual di salah satu pabrik, sehingga ketika ada kasus pelecehan yang terjadi di pabrik itu, korban dapat melapor pada pihak perusahaan dan pelaku juga bisa sampai diberhentikan,” ucap Tika.