• Kolom
  • NGULIK BANDUNG: Taman-Taman di Bandung  

NGULIK BANDUNG: Taman-Taman di Bandung  

Bandung dulu terkenal dengan taman-taman dan jalan yang teduh dan asri. Ada masanya di mana kota ini sempat dijuluki Meksiko dari Preanger.

Ahmad Fikri

Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB page: Djiwadjaman

Insulindepark dengan latar belakang kantor Departemen Perang di Bandung. Foto diambil sekitar tahun 1915. (Sumber: digitalcollections.universiteitleiden.nl)

28 Januari 2022


BandungBergerak.id—Peta Kota Bandung yang terbit tahun 1910 menggambarkan pembangunan masih terpusat di seputaran Grotepost-weg, atau Jalan Raya Pos yang dibangun Gubernur Hindia Belanda Herman Willem Daendels. Permukiman warga dan pusat keramaian belum menjangkau wilayah utara dan timur kota. Bandung kala itu belum memiliki banyak taman. Di peta itu hanya ada 3 taman di Kota Bandung. Yakni Pieterspark, Insulindepark, dan Soendapark.

Pieters-park kita kenal sekarang sebagai Taman Balai Kota Bandung. Insulindepark, kini Taman Lulu Lintas Ade Irma Suryani Nasution. Dan Soendapark, kini Taman Maluku.

Pieterspark yang tertua. Koran Bataviaasch Handelsblad, tanggal 30 Juli 1890, menyebutkan keberadaan taman tersebut. Koran tersebut mengisahkan Bandung yang dikesankan sebagai kota yang menyenangkan dengan jalan-jalan yang teduh, kebun, dan taman. Di antaranya taman St.Pieterspark, nama diberikan mantan asisten residen Petrus Sythoff. Sementara Insulinde-park, serta Soenda-park berdiri belakangan.

Insulinde-park misalnya, baru serius ditata setelah pemerintah Hindia Belanda mengumumkan wilayah di sisi timur taman tersebut diperuntukkan sebagai lokasi pemindahan pusat militer Hindia Belanda dari Batavia.

Koran Bataviaasch Nieuwsblad tanggal 24 Mei 1910 memberitakan rencana pemerintah Belanda yang sudah mematok lahan di timur Kota Bandung di dekat Insulinde-park untuk ditempati Deperteman Perang (Departement van Oorlog) yang saat itu bermarkas di Batavia. Rencana tersebut nampaknya akan segera dimulai. Departemen Perang saat itu mulai membangun rumah tinggal perwira di bagian belakang Jalan Merdika Baroe yang berhadapan dengan Insulinde-park

Koran tersebut mengingatkan pada warga kota atas konsekuensi pemindahan Departemen Perang ke wilayah tersebut. Setidaknya, tanah yang tak berpenghuni di sekitar Insulinde-park akan penuh terisi bangunan.

Bertahun-tahun lamanya Insulinde-park seperti ditelantarkan. Kendati dinamai taman, Insulinde-park lebih mirip hutan belantara.

Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Amelia Earhart Mampir di Bandung (2)
NGULIK BANDUNG: Amelia Earhart Mampir di Bandung (1)

Suasana jalan Merdeka yang gersang tanpa pepohonan peneduh. Foto diambil tahun 1910. (Sumber: digitalcollections.universiteitleiden.nl)
Suasana jalan Merdeka yang gersang tanpa pepohonan peneduh. Foto diambil tahun 1910. (Sumber: digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Dari Belantara Menjadi Kompleks Tentara

Dewan Kota Bandung memutuskan untuk memugar Insulinde-park. Koran De Preanger-bode tanggal 3 Februari 1912 mencatat risalah rapat Dewan Kota Bandung sehari sebelumnya. Pemerintah Kota Bandung diminta secepatnya mempercantik Insulinde-park karena sudah mulai banyak rumah yang berdiri di sekitar Jalan Sumatera. Dewan memutuskan mengirimi surat pada Departemen Pekerjaan Umum atau BOW (Burgerlijke Openbare Werken) untuk memulai membangun kembali taman tersebut.

Setahun kemudian pembangunan taman tak kunjung dimulai. Departemen Pekerjaan Umum beralasan masih disibukkan dengan pekerjaannya membenahi infrastruktur vital kota mulai dari instalasi pipa air minum, drainase kota, hingga perbaikan jalan. Dewan Kota kemudian meminta pemerintah Kota Bandung mengambil alih pekerjaan membangun Insulinde-park. Pemerintah kota yang sudah kadung setuju, belakangan angkat tangan karena kas kota yang cekak. Sempat tercetus usul pekerjaan memugar taman itu diserahkan saja pada Departemen Perang (De Preanger-bode, 11 Oktober 1913).

Setelah dua tahun berjalan tanpa kepastian, pemerintah Hindia Belanda akhirnya mengalah. Koran De Preanger-bode tanggal 7 Mei 1914 menyebutkan, pemerintah menyanggupi membiayai pembangunan Insulinde-park. Pemerintah menyiapkan dana hingga 2 ribu Gulden untuk membangun taman yang lokasinya berada persis di depan kantor Panglima Perang Hindia Belanda di Bandung.

Kawasan seputaran Insulinde-park yang saat itu berubah menjadi daerah militer, membuatnya tak sembarang orang bisa keluar-masuk. Di seputaran Insulinde-park, Departemen Perang tengah membangun gedung-gedung perkantoran, rumah tinggal perwira, gudang penyimpanan, hingga barak tentara (De Preanger-bode,1 Oktober 1914).

Lambatnya pembangunan Insulinde-park membuat Departemen Perang was-was karena taman itu berada persis di depan kantor Panglima. Departemen Perang mengirim surat pada pemerintah agar mengizinkan mengambil alih pembangunan taman tersebut. Permintaan tersebut menyulut kontroversi karena dianggap melampaui kewenangan Departemen Perang (De Preanger-bode, 6 September 1916).

Tahun 1916, pembangunan Insulinde-park memang belum rampung, tapi kawasan seputarannya sudah berubah. Daerah yang tadinya belantara, kini tumbuh beragam gedung dan rumah.

Gedung yang terbesar adalah kantor Departemen Perang yang berada persis di depan Insulinde-park. Koran Bataviaasch nieuwsblad tanggal 3 Oktober 1916 menyebutkan, istana panglima tentara memang tidak begitu besar, tapi terlihat yang paling menonjol dibandingkan gedung-gedung lain di sekelilingnya.

Gaya bangunan kantor panglima tentara Hindia Belanda disebut Bataviaasch nieuwsblad mengambil gaya Wina moderen, tenang berkesan kuat dengan warna kuning pekat yang terlihat kontras dengan warna pegunungan yang melatarinya.

Istilah “insulinde” yang berarti Kepulauan Hindia Belanda diperkenalkan Douwes Dekker dalam karyanya Max Havelar dengan menggunakan nama pena Multatuli. Sementara koran De Preanger-bode, tanggal 4 Februari 1917 menyebut kawasan seputar Insulinde-park sebagai “archipelwijk” yang artinya kurang lebih pulau-pulau di daerah khatulistiwa. Penamaan tersebut dikaitkan dengan nama-nama jalan yang ada di sekitar Insulinde-park yang mengambil nama-nama pulau di Indonesia. Insulinde-park misalnya berada persis di Jalan Sumatera.

De Preanger-bode menyebutkan kawasan tersebut sebagai daerah baru perluasan Kota Bandung. Dalam rencana perluasan tersebut, termasuk di dalamnya rencana membangun Soenda-park, yang namanya berganti menjadi Molukkenpark, atau Taman Maluku.

Molukkenpark akan berfungsi sebagai taman olahraga. Di dalamnya misalnya akan dibangun lapangan tenis. “Area olahraga ini mencakup sekitar seperempat dari seluruh area taman,” tulis De Preanger-bode (4 Februari 1917).

Suasana Jubileum-park di lembah Sungai Cikapundung. Foto diambil tahun 1933. (Sumber: digitalcollections.universiteitleiden.nl)
Suasana Jubileum-park di lembah Sungai Cikapundung. Foto diambil tahun 1933. (Sumber: digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Meksiko dari Preanger

Tahun 1920an pembangunan di Bandung makin pesat. Rencana pemerintah Hindia Belanda memindahkan pusat pemerintahan dari Batavia ke Bandung bukan lagi isapan jempol. Menyusul Departemen Perang, sejumlah departemen mulai menyusul membangun kantornya di Bandung. Seakan tak mau kalah, kantor-kantor swasta juga satu-satu membuka kantornya di Bandung.

Pembangunan di Bandung kala itu berpusat di sisi utara. Gencarnya geliat pembangunan kota mengubah wajahnya yang dulu resik, berubah kusam. Koran De Sumatra Post, tanggal 4 Juli 1922 dalam satu beritanya menggambarkan suasana Bandung kala itu. 

“Tapi tepat di luar, lebih ke utara, pemandangan kota berubah seolah-olah dengan sihir. Jalan-jalan baru tanpa pohon, baru digulung, alun-alun berumput, rumah-rumah yang sedang dibangun, selokan dan konstruksi,” tulis koran itu.  

Gerobak hilir mudik mengangkut bahan bangunan untuk rumah-rumah yang pondasinya sudah digali. Di satu daerah misalnya tengah dibangun kompleks perumahan berisi 106 unit rumah untuk pejabat departemen. Di Cibeunying (Tjebeunjing) dan Bengawan ada 238 rumah sedang dibangun.

Pembangunan memang sedang pesat-pesatnya. Tidak semua orang senang.

Koran Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie? tanggal 13 September 1922 menuliskan kritikan pedas yang menyoroti jalan-jalan di Bandung yang kini tanpa pohon. Koran Sumatra-bode menerbitkan tulisan yang sama tanggal 19 September 1922.

“Bandung membuat kesan yang agak sepi bagi orang asing, meskipun memiliki taman yang luas dan jalan yang lebar. Semuanya gundul, hanya di sana-sini orang menemukan pohon muda di jalan baru. Rupanya telah terjadi kegagalan untuk membangun pembibitan dengan kapasitas yang memadai pada waktunya. Akibatnya, diperkirakan 12 hingga 16.000 pohon saat ini kekurangan untuk penanaman rasional yang layak di banyak jalan lama dan baru.”

Kritikan berganti jadi cemooh. Majalah Mooi Bandoeng, yang diterbitkan Bandoeng Vooruit edisi Februari 1934 masih merekamnya. Majalah itu menyebutkan Bandung sempat mendapat julukan het Mexico der Preanger” karena jalan-jalan gundul tanpa pohon. Pepohonan banyak yang ditebangi demi pelebaran jalan karena pesatnya perkembangan Bandung.

“Karena lalu lintas yang terus berkembang dan tuntutan baru yang ditempatkan pada konstruksi jalan modern, pohon-pohon yang ada harus ditebang untuk memperlebar trotoar, sementara di sepanjang jalan baru, di mana rumah-rumah dibangun. dibangun dengan sangat cepat, ketika jamur muncul dari tanah, belum ada pohon peneduh yang bisa ditanam,” tulis Mooi Bandoeng (1934).

Dewan dan pemerintah Kota Bandung bukannya diam saja. Warga kota yang tergabung dalam berbagai komunitas juga turun tangan. Upaya menanam kembali pepohonan yang ditebang terus dilakukan. Bibit pohon diburu, termasuk memesan pada Direktorat Kebun Raya di Buitenzorg (Bogor).

Pieterpark, kini Taman Balaikota Bandung. Foto diambil tahun 1920. (Sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)
Pieterpark, kini Taman Balaikota Bandung. Foto diambil tahun 1920. (Sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Membangun Taman Alami

Tapi perkembangan Kota Bandung yang pesat tidak bisa diimbangi. Rumah dan jalan bisa dibangun dalam waktu cepat, tapi tidak untuk mengganti pepohonan yang ditebang. Butuh waktu bertahun-tahun untuk mengembalikan keteduhan jalan-jalan Kota Bandung. Pelajaran yang memang pahit bagi Kota Bandung.

Dewan dan pemerintah Kota Bandung pada perayaan hari jadi kota itu yang ke 25 memutuskan untuk membangun sepanjang lembah Cikapundung mulai dari Dago hingga Lembang menjadi taman raksasa. Taman yang dinamakan Jubileum-park, nama yang bisa diartikan “taman peringatan” (jubileum = peringatan tahunan).

Koran De-locomotief tanggal 26 Februari 1931 mengisahkan, keputusan rapat Dewan Kota Bandung untuk menggunakan dana yang terkumpul sebanyak 25 ribu Gulden untuk membangun Jubileum-park di Lembang Cikapundung. Taman tersebut kelak akan dikelola oleh sebuah yayasan yang menyusul pendiriannya. Keputusan yang mengejutkan, sekaligus menggembirakan bagi warga kota.

Lahan yang disediakan untuk membangun taman tersebut mencapai 100 bahu, atau setara 80 hektare, membentang sepanjang lembah Sungai Cikapundung. Taman tersebut sekaligus akan menjadi cagar alam untuk tempat berlindung hewan, terutama burung-burung.

Majalah Mooi Bandoeng edisi Februari 1934 menyebutkan dalam taman itu akan ditanami pohon-pohon langka, tanaman bambu warna-warni, dan dibiarkan tumbuh alami. Lembah Cikapundung akan menjadi sabuk hijau mengiringi aliran sungainya.

Waktu berjalan. Zaman berganti. Kota Bandung seperti meniti lagi jalan yang sama. Pembangunan berjalan makin cepat. (Beruntung) kota ini kembali membangun lagi taman-tamannya.

*Tulisan kolom Ngulik Bandung, yang terbit setiap Kamis, merupakan bagian dari kolaborasi antara www.bandungbergerak.id dengan Komunitas Djiwadjaman

Editor: Redaksi

COMMENTS

//