• Kolom
  • NGULIK BANDUNG: Jalan Bebas Hambatan antara Bandung dan Batavia

NGULIK BANDUNG: Jalan Bebas Hambatan antara Bandung dan Batavia

Ide membangun jalan tol antara Bandung dan Jakarta terlontar dalam rapat Volksraad pada Agustus 1933. Jalan itu terwujud 70 tahun kemudian. 

Ahmad Fikri

Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB page: Djiwadjaman

Mobil di jalan dengan latar belakang jembatan kereta. Foto diambil sekitar tahun 1920. (Sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl/*)

20 Januari 2022


BandungBergerak.id—“Auto-strade”, sebutan bagi jalan khusus bagi mobil dan truk diperkenalkan oleh Italia pada tahun 1924. Italia memperkenalkan jalan khusus, bahkan sepeda motor tidak boleh melintasinya, yang menghubungkan Kota Milan dengan Danau Varese, Maggiore, dan Como. Raja Italia sendiri yang meresmikan jalan tersebut. Jalan yang dibukanya adalah jalan khusus yang menghubungkan Milan dan Danau Varese sepanjang 48 kilometer (Deli Courant, 22 Oktober 1924).

Jalannya lebar, aspalnya mulus. Jalan impian bagi pemilik kendaraan karena bisa memacu kecepatan setinggi-tingginya. Tapi, mobil dan truk yang melintas tidak bisa sembarang karena wajib membayar sejumlah biaya tol untuk menggunakan jalan tersebut.

Konsep “auto-strade”, yang sekarang kita kenal sebagai jalan tol, tersebut bukan dibangun negara. Perusahaan swasta mengumpulkan modal, meminjam uang ke bank, untuk membangun jalan dengan biaya yang jauh lebih mahal dari biaya yang dikeluarkan untuk membangun jalan biasa. Uang  yang dikutip dari pengguna jalan tersebut yang dipergunakan untuk menutup modal yang dikeluarkan.

Koran De locomotief tanggal 11 Agustus 1930 menyebutkan sejumlah perusahaan Italia yang membangun jalan tersebut. Di antaranya Societa Milano-Laghi, yang membangun “auto-strade” dengan modal 50 juta Lira dan menggenapinya biaya membangun jalan dengan pinjaman sebanyak 40 juta Lira. Negara memberikan jaminan sehingga bank mau meminjamkan uangnya. Berturut-turut “Milarto-Bergamo” dan “Napoli-Pompeji” mengikutinya.

Keputusan Italia membiarkan perusahaan swasta membangun jalan dengan biaya mahal tersebut sempat memancing cibiran karena perekonomian negara itu tak kunjung pulih akibat perang. Namun, yang terjadi sebaliknya. Perusahaan yang mengoperasikan “auto-strade” tersebut, masing-masing menangguk pendapatan sedikitnya 1 juta Lira sejak pertama mengoperasikan jalan bebas hambatan berbayar tersebut.

Tak butuh waktu lama, auto-strade di Italia langsung menarik perhatian dunia. Tidak jarang pelancong sengaja dari mancanegara sengaja datang ke Italia untuk menjajal jalan tersebut. Koran De Sumatra Post tanggal 15 Juni 1926 mengisahkan pengalaman seorang Belanda yang sengaja menjajal jalan tersebut dengan menumpang layanan bus dari Milan menuju Camo. Bus yang ditumpanginya melaju kencang, dengan kecepatan yang bahkan mengalahkan kereta api.

“Jalannya cukup lebar untuk dilewati satu sama lain dalam tiga atau empat baris; setiap kecepatan yang diinginkan dapat dikembangkan tanpa bahaya dari pejalan kaki atau kendaraan lain. Jalan samping tidak berakhir di situ. Di mana ada persimpangan, jalan lama diletakkan di atas jalan raya atau dilewati di bawahnya. Tol di pintu masuk surga mobil ini adalah satu-satunya yang dibayar dengan senang hati,” tulis De Sumatra post (15 Juni 1926).

Sejumlah negara di Eropa kepincut ingin memiliki jalan bebas hambatan serupa. Tak terkecuali Belanda. Koran Bataviaasch nieuwsblad tanggal 8 November 1932 memberitakan, Belanda mengumumkan rencana pembangunan “auto-strade” (istilah tersebut kemudian disederhanakan menjadi “autostrada”) yang pertama yang melintasi sejumlah tempat di antaranya Diepenheim, Kanal Twente, Rijlesstraatweg, serta Goor.

Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Sejarah Letusan Gunung Guntur
NGULIK BANDUNG: Kawah Putih, dari Tempat Wisata ke Tambang Belerang
NGULIK BANDUNG: Situ Patengan Favorit Junghuhn

Ilustrasi jembatan kereta yang melintasi wilayah Priangan. Foto diambil dari udara sekitar tahun 1930-1932. (Sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl/*)
Ilustrasi jembatan kereta yang melintasi wilayah Priangan. Foto diambil dari udara sekitar tahun 1930-1932. (Sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl/*)

Autostrada antara Bandung dan Batavia

Dunia kepincut dengan autostrada. Demamnya juga merambat hingga Hindia Belanda. Adalah Hugo Jozias de Dreu, kepala sekolah yang kemudian berkarier menjadi politisi hingga diangkat menjadi anggota Volksraad mencetuskan ide membangun “autostrada” dari Bandung menuju Batavia.

Koran Bataviaasch nieuwsblad tanggal 12 Agustus 1933 memberitakan risalah rapat Volksraad sehari sebelumnya. Dalam rapat yang berjalan alot membicarakan konflik antara gubernur Jawa Barat dengan Burgerlijke Openbare Werken (BOW, atau Kementrian Pekerjaan Umum), H.J. de Dreu tiba-tiba melontarkan usulnya untuk membangun “autosrada” yang menghubungkan Bandung dan Batavia.

Dreu mengatakan keberadaan jalan tersebut akan memangkas waktu tempuh Bandung-Batavia yang biasanya 4 jam menggunakan kereta, bisa hanya 2 jam saja. Dreu menghitung, jalan tersebut bisa dibangun dalam 5 tahun, dan modalnya bisa dilunasi dalam 40 tahun. Pengerjaannya bisa melibatkan puluhan ribu orang, baik orang Eropa atau pun pribumi setempat.

Direktur BOW, J.A.M. van Buuren yang hadir dalam rapat Volksraad hari itu langsung menolaknya. Dia beralasan Bandung-Batavia sudah cukup dilayani dengan dua perjalanan kereta api, dan sekali penerbangan pesawat untuk menghubungkan kedua tempat itu. Uang yang dibutuhkan untuk membangunnya juga terlalu besar jika harus dibiayai oleh dana pemerintah.

“Pemerintah telah memperhatikan saran tersebut dan tidak akan menahan minatnya,” kata Buuren di dalam rapat Volkraad itu (Bataviaasch nieuwsblad, 12 Agustus 1933).

Dreu keukeuh dengan usulnya. Dia beralasan, proyek sebesar itu akan menarik minat pemodal, sekaligus menyelesaikan persoalan pengangguran dengan penyediaan lapangan kerja yang besar.

Anggota Volksraad lainnya terbelah. Thamrin misalnya setuju, dan mengusulkan ide tersebut diputuskan sebagai amandemen. Führi setuju, tapi ragu rencana itu bisa dikerjakan. Soangkoepon tertarik karena proyek sebesar itu akan mengurangi banyak penggangguran. Van Mook pesimis. Lalu Ratulangi meminta agar usul tersebut dibawa dalam debat umum.

Buuren, mewakili Departemen BOW masih bertahan dengan sikapnya. 

Usul Dreu tersebut akhirnya diputuskan lewat vooting. Hasilnya seri. Dewan akhirnya memutuskan untuk membahasnya lagi dalam rapat selanjutnya.

Mobil melaju di jalan raya di sekitar Bandung. Foto diambil antara tahun 1930-1940. (Sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl/*)
Mobil melaju di jalan raya di sekitar Bandung. Foto diambil antara tahun 1930-1940. (Sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl/*)

Dukungan Bandoeng Vooruit

Ide yang dilontarkan Dreu dalam rapat Volksraad tersebut memantik perhatian banyak kalangan. Terutama para pemilik kendaraan yang memimpikan bisa memacu mobilnya di jalan bebas hambatan dengan kecepatan penuh melibas Bandung-Batavia hanya dalam dua jam saja.

Bandoeng Vooruit atau Perhimpunan Bandung Maju, yang beranggotakan perwakilan masyarakat menengah Bandung serta perwakilan pemerintahan di Kota Bandung termasuk yang mendukung ide tersebut. Perhimpunan yang dipimpin W.H. Hoogland, seorang insinyur dan Direktur Bank Denis (De Nederlandsch Indische Spaarks), sejak awal selalu mendukung ide-ide nyeleneh demi kemajuan Bandung. Kelompok itu yang memodali membangun Jalan Tangkubanparahu, jalan berbayar bagi pengguna mobil untuk menjangkau kawah kembar Gunung Tangkubanparahu. Kelompok tersebut juga saat itu juga tengah menyiapkan jalan serupa menuju puncak Gunung Papandayan (Bataviaasch nieuwsblad, 6 Oktober 1933).

Dukungan Bandoeng Vooruit dituangkan dalam tulisan panjang yang terbit dalam majalah wisata Mooi Bandeong edisi September 1933. Isinya kira-kira sebagai berikut:

Jalan itu harus cukup lebar, dirancang tanpa halangan agar bisa menempuh jarak 130 kilometer hanya dalam 2 jam saja. Biaya membangunnya ditaksir mencapai 19 juta Gulden dikerjakan dalam 5 tahun (ribuan orang bisa mendapat pekerjaan selama masa pembangunannya). Mobil dan truk yang melintas wajib membayar biaya tol cukup 2,5 Gulden, dengan asumsi 500 kendaraan saja setahun, uang yang terkumpul menembus 900 ribu Gulden. Dengan menghitung pengurangan suku bunga setiap tahun maka biaya pembangunannya bisa dilunasi dalam 40 tahun saja. Seluruh material untuk membangun jalan tersebut tersedia di Hindia Belanda. Pemilik kendaraan akan dengan senang hati membayar tol tersebut karena justru lebih hemat, murah, dan praktis untuk menempuh perjalanan cepat hanya 2 jam saja dari Bandung menuju Batavia ketimbang menggunakan kereta api yang memakan waktu 4 jam, atau bahkan pesawat terbang (karena bandara berada di pinggiran kota).

Bandung juga pantas mendapat jalan ini yang pertama karena kota tersebut dipercaya akan berkembang menjadi kota utama di Hindia Belanda. Pemerintah memang wajar pesimis atas ide tersebut karena ide tersebut dilontarkan tiba-tiba dan tidak cukup waktu untuk menghitung rincinya. Pemerintah juga harus memperhitungkan secara serius rute jalan tersebut agar bisa selurus mungkin untuk memangkas waktu tempuhnya.

“Kami menyimpulkan bahwa ide tersebut cukup mampu direalisasikan.  Tidak diragukan lagi, pemerintah akan terus memberikan perhatian penuh,” tulis Bandoeng Vooruit  dalam Mooi Bandoeng, edisi September 1933.

Semuanya tinggal menunggu keputusan akhir dalam rapat Volksraad tentang ide autostrada Bandung-Batavia yang dilontarkan Dreu. Baru setahun kemudian Volksraad membahasnya kembali.

Koran Bataviaasch nieuwsblad tanggal 4 Agustus 1934 memberitakan risalah rapat Volkraad yang berlangsung sehari sebelumnya. De Dreu kembali melontarkan usulannya membangun jalan khusus tersebut, tapi dia tidak sengotot rapat-rapat sebelumnya. Dia mengusulkan agar dana pemerintah yang ada agar dipergunakan membangun perumahan skala kecil, atau jalan raya. Kini tidak ada satu pun rekannya yang mendukung usulnya itu. Mimpi jalan bebas hambatan Bandung-Batavia pun padam.

Situs Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat melansir, Indonesia memiliki jalan bebas hambatan pertama kalinya pada tahun 1978. Yakni Jalan Tol Jagorawi yang menghubungkan Jakarta, Bogor, dan Ciawi sepanjang 59 kilometer. Sejak itu Indonesia memulai membangun jalan tol di berbagai wilayahnya. Pada April 2005, dengan beroperasinya Jalan tol Cipularang yang diresmikan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono akhirnya menggenapi rangkaian jalan tol yang menghubungkan Bandung menuju Jakarta. Jalan tol tersebut pertama kali dipergunakan oleh puluhan kepala negara delegasi peserta Konferensi Asia-Afrika ke 50 menuju Bandung.

*Tulisan kolom Ngulik Bandung, yang terbit setiap Kamis, merupakan bagian dari kolaborasi antara www.bandungbergerak.id dengan Komunitas Djiwadjaman

Editor: Redaksi

COMMENTS

//