• Kolom
  • NGULIK BANDUNG: Jalan Gunung Tangkuban Parahu dan Cerita-cerita di Baliknya (2)

NGULIK BANDUNG: Jalan Gunung Tangkuban Parahu dan Cerita-cerita di Baliknya (2)

Jalan Gunung Tangkuban Parahu, yang pembangunannya diinisiasi oleh Bandoeng Vooruit, diresmikan pada tanggal 8 September 1928. Ia diberi nama Hooglandweg.

Merrina Listiandari

Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB: Merrina Kertowidjojo, IG: merrina_kertowidjojo, atau FB page: Djiwadjaman

Suasana parkir kendaraan di pelataran bibir Kawah Ratu Gunung Tangkuban Parahu tahun 1934. (Sumber foto https://digitalcollections.universiteitleiden.nl)

23 September 2021


BandungBergerak.id - Hilangnya tiga pelajar Hoogere Burgerschool te Bandoeng, sekarang SMAN 3 Bandung, di Gunung Tangkuban Parahu, yang sering ditulis Tangkuban Perahu, pada tanggal 29 Juni 1924 menggegerkan masyarakat Bandung kala itu. Van Deelen bersaudara bukanlah pendaki gunung amatir, menurut guru pembimbing mereka kepada harian Sumatera Bode, 7 Juli 1924. Karena itulah, ketika Henry Peter Maasdam, seorang anak muda, fotografer profesional yang bergabung dalam anggota klub fotografi amatir ikut dalam perjalanan bersama keduanya, tidak ada kekhawatiran dari guru tersebut.

“Maasdam ingin mencari sarang burung elang dan mengabadikan burung-burung yang berada di gunung tersebut dengan kameranya” tambah Moereels.

Gunung Tangkuban Parahu saat itu tidak hanya dikenal sebagai gunung yang sangat sulit didaki, tapi juga angker dan telah banyak memakan korban. Berita hilangnya ketiga pelajar HBS tersebut memunculkan banyak rumor. Banyak berita yang menyebutkan bahwa ketiga pelajar tersebut tersesat karena pengaruh roh-roh penunggu gunung. Bahkan Nieuwe Rotterdamsche Courant, 3 Mei 1925, setahun setelah kejadian tersebut, menuliskan keterangan dari  penduduk setempat yang menyebutkan bahwa saksi melihat pelajar-pelajar itu ditarik oleh roh Kawah Ratu. Uniknya, masyarakat saat itu mempercayai hal-hal semacam ini.

Sehari setelah hilangnya ketiga anak muda tersebut terkonfirmasi, dua majalah terbitan kolonial saat itu, Dezer Schreef Het Blad dan Dezer Meldde Het Blad, rajin memberitakan perkembangan proses pencarian mereka. Dengan mempertimbangkan ganasnya gunung yang akan ditempuh, sedikitnya 300 orang tentara di bawah kepemimpinan Kapten Eisma, serta 600 warga Lembang dan Cisarua disebar untuk menyusuri lereng Gunung Tangkuban Parahu. Bantuan juga datang dari ahli vulkanologi serta puluhan anggota kepolisian. Total relawan yang menyisir gunung Tangkuban Parahu dari segala arah, diperkirakan sebanyak dua ribu orang (Sumatra Bode, 7 Juli 1924)

Sumatra Bode edisi 7 juli 1924 melaporkan bahwa kantor Kepolisian saat itu kewalahan dengan deringan telepon terus-menerus dari warga yang menunggu kabar tentang ketiga anak muda tersebut. Bahkan Ursone bersaudara, pengusaha peternakan sapi ternama kala itu, mengadakan sayembara. Orang yang dapat menemukan ketiga anak malang tersebut bakal diganjar hadiah uang sebesar 500 Gulden. Tuan Van Der Beek juga menjanjikan hadiah uang dengan jumlah yang sama. Beberapa warga lain pun turut berpartisipasi sebagai dukungan agar ketiganya dapat segera ditemukan.

Berita baik akhirnya didapat. Setelah lebih dari sepekan pencarian, ketiga pelajar tersebut ditemukan telah menjadi mayat di bibir Kawah Ratu, atau Kawah Ratoe dalam ejaan lama. Pemakaman ketiganya cukup dramatis, dihadiri ribuan orang. Perwakilan setiap anggota masyarakat hadir di depan gereja tempat ketiganya disemayamkan. Kawan-kawan sekolah mereka di HBS, anggota perkumpulan fotografi amatir, hingga walikota serta pejabat lain pun hadir, mengenang van Deelen bersaudara yang dikenal sebagai dua bersaudara berhati lembut, serta Masdaam, seorang fotografer amatir yang dikenal sangat profesional dalam karya-karya fotonya. Keputusan mendirikan monumen peringatan bagi ketiganya sangatlah tepat. (De Preanger Bode, 5 Juli 1924)

Bandoeng Vooruit dan Solusi yang Ditawarkannya

Van Deelen bersaudara serta Henry Peter Maasdam, tiga pelajar HBS yang menjadi korban dalam pendakian Gunung Parahu, telah dimakamkan. Monumen untuk mengingat kematian mereka yang tragis pun telah didirikan. Namun, koran Niews van den Dag Voor Nederlands-Indie, dalam sebuah kolomnya, bertanya apakah setelah didirikan monumen tersebut masalah telah selesai. Bukankah kematian akibat menghirup gas beracun di gunung berapi merupakan hal yang biasa terjadi? Karena Gunung Tangkuban Parahu begitu diminati wisatawan, yang terpenting adalah membuat solusi untuk itu. Sebuah jalan langsung menuju Kawah Ratu jauh lebih penting untuk dibangun, alih-alih sebuah monumen peringatan kematian belaka.

Adalah seorang warga Bandung yang bernama W. H. Hoogland, seorang insinyur dan Direktur Bank Denis (De Nederlandsch Indische Spaarks), yang memiliki ide untuk mencari pinjaman dana sebagai upaya untuk menjajaki kemungkinan membangun jalan menuju Kawah Ratu. Ia menggandeng C. J. Nauta, seorang penduduk Bandung, dengan dukungan dari Middenstaand Vereeniging (Perhimpunan Kelas Menengah).

Menurut harian Bataviaasch Niewsblad edisi 11 Juli 1925 dan Het Niews van Den Dag voor Nederlandsch-Indie edisi 12 Juli 1925,  Hoogland mulai mewujudkan ide itu dengan mendirikan sebuah perkumpulan yang dinamai Bandoeng Vooruit atau Perhimpunan Bandung Maju, yang beranggotakan perwakilan masyarakat menengah Bandung serta perwakilan pemerintahan. Anggotanya antara lain S. A Reitsma, walikota Bandung periode 1921-1928.

Bandoeng Vooruit, yang memiliki tujuan “Het Bevorderen van Het Belang van Bandoeng van Het Vreemdeli Ngenvekeer” (mempromosikan pentingnya pariwisata di Bandung), resmi didirikan pada tanggal 17 Februari 1925 dengan agenda pertama membangun jalan di Gunung Tangkuban Parahu hingga bibir Kawah Ratu.

Suasana Jalan Hoogland, atau Jalan Tangkuban Parahu tahun 1928. (Sumber foto: https://javapost.nl/2013/06/06/tangkoeban-prahoe-een-berg-met-verhalen/)
Suasana Jalan Hoogland, atau Jalan Tangkuban Parahu tahun 1928. (Sumber foto: https://javapost.nl/2013/06/06/tangkoeban-prahoe-een-berg-met-verhalen/)

Menentukan Rute Terbaik

Tuan Hoogland merencanakan sebaik-baiknya rencana pembangunan Jalan Tangkuban Parahu ini. Bersama Bandoeng Vooruit, ia menginginkan agar ada jalan yang dapat dengan mudah dilalui oleh mobil sehingga orang dengan kaki terlemah sekali pun, yang selama ini hanya bisa mendambakan dan mendengar cerita tentang keindahan Kawah Ratu, dapat tersenyum bahagia karena mereka akan bisa sampai ke kawah indah penuh misteri itu tanpa perlu bersusah-payah.

Bandoeng Vooruit pun berupaya untuk mendapatkan perizinan. Para rimbawan dengan senang hati memberikan izin pembukaan lahan dan akan membantu menebangi pepohonan di lintasan bakal jalan tersebut. Wilayah Pamanukan dan Tjiasem yang sebagian tanahnya kemungkinan besar akan digunakan pun tidak merasa keberatan. Bahkan mereka pun akan bekerja sama dengan Jenderal De Bruyn, karena wilayah tersebut merupakan wilayah militer yang merupakan daerah kekuasaannya. Jenderal De  Bruyn sendiri akan membantu untuk bersama-sama mencari jalur terbaik bagi pembangunn jalan tersebut. Diharapkan, pemerintah akan memberikan sokongan dana. (Bataviaasch nieuwsblad, 18 Februari 1925)

Algemeen Handelsblad Voor Nederlandsch-Indie, 9 Maret 1925, melaporkan  bahwa Bandoeng Vooruit meminta izin kepada warga untuk membuka jalan dari satu titik jalur jalan militer, di kawasan Lembang, Sagalaherang dekat Wates. Jalan baru ini tidak melewati lahan penduduk, namun melewati daerah hutan lindung, sehingga restu dari para rimbawan sangat diharapkan. Tentu saja izin dari Dewan Militer pun sangat menentukan terlaksananya pembangunan jalan ini dengan segera atau tidak sama sekali.

Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Jalan Gunung Tangkuban Parahu dan Cerita-cerita di Baliknya (1)
NGULIK BANDUNG: Dokter Emilie Suzzan Houtman, Perempuan di balik Pendirian Sanatorium Dago Heuvel (1)
NGULIK BANDUNG: Dokter Emilie Suzzan Houtman, Perempuan di Balik Pendirian Sanatorium Dago Heuvel (2)

Tentangan dari Dewan Militer

Di luar dugaan, rencana pembangunan jalan yang selama ini sangat didukung oleh pihak militer ternyata mendapatkan tentangan dari Dewan Militer. Penyebabnya, jalur baru tersebut dianggap akan mengganggu serta membahayakan pertahanan militer. Sementara itu, para rimbawan tidak mempermasalahkan rute tersebut selama Bandoeng Vooruit tidak melanggar ketentuan mengenai aturan penebangan pohon pada hutan lindung. (De Locomotief, 30 Maret 1925)

Keberatan dari Dewan Militer tersebut sangatlah masuk akal. Bandung Utara, dari Dago Atas hingga Lembang, merupakan basis militer di zaman kolonial. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya sisa-sisa benteng pertahanan  yang masih dapat disaksikan di Gunung Putri, yang kini dikenal dengan nama Benteng Gunung Putri, serta Gua Belanda di Taman Hutan Raya (Tahura) Juanda, Dago.

Meski tidak merestui usulan jalur Jalan Tangkuban Parahu, Dewan Militer tidak serta-merta lepas tangan. Mereka berjanji akan mencari alternatif rute lain yang menguntungkan semua pihak. Bekerja sama dengan Dinas Topografi, Dinas Militer mengusulkan pengembangan jalan yang sudah ada dari lembang ke Gunung Putri, lalu lurus langsung menuju Kawah Ratu. (Bataviaasch Niewsblad, 30 Desember 1925)

Tugu Tangkoeban Prahoe aslinya dipasangi plakat berisi nama tiga nama anak laki-laki yang meninggal di bibir Kawah Ratu, yakni Jan Dirk van Deelen (lahir 31 Juli 1905), Antoni Hendrik van Deelen (lahir 23 Juli 1907), serta Hendrik Pieter Maasdam (lahir 13 September 1905). Tugu tersebut kini dinamai Algemeen Indisch Dagblad yang artinya Surat Kabar Hindia Belanda (de Preangerbode). (Sumber foto Sumber foto https://javapost.nl)
Tugu Tangkoeban Prahoe aslinya dipasangi plakat berisi nama tiga nama anak laki-laki yang meninggal di bibir Kawah Ratu, yakni Jan Dirk van Deelen (lahir 31 Juli 1905), Antoni Hendrik van Deelen (lahir 23 Juli 1907), serta Hendrik Pieter Maasdam (lahir 13 September 1905). Tugu tersebut kini dinamai Algemeen Indisch Dagblad yang artinya Surat Kabar Hindia Belanda (de Preangerbode). (Sumber foto Sumber foto https://javapost.nl)

Peresmian Jalan Baru dan Sistem Tol

Diberitakan oleh De Locomotief, tanggal 11 Agustus 1925, Dewan Militer yang pada awalnya menentang dan mengalihkan rute jalan yang dapat diakses dengan mobil ke jalur militer di utara Lembang, akhirnya luluh. Rute awal yang diajukan oleh Bandoeng Vooruit, meski jarak tempuhnya lebih jauh, namun dari segi pembiayaan jauh lebih menguntungkan. Selain itu, pihak militer juga mempertimbangkan segi keamanan yang dinilai dapat jauh lebih longgar.  

Pada akhirnya dewan militer menyetujui rute awal yang diajukan oleh Bandoeng Vooruit, yaitu jalan militer daerah Sagala Herang, Wates menuju Kawah Ratu. Deli Courant edisi 5 Juli 1927 melaporkan, melalui dekrit yang dikeluarkan oleh Dewan Militer pada tanggal 20 Juni 1927, dinyatakan bahwa tidak ada lagi keberatan dari pihak militer. Maka sejak saat itulah pembangunan jalan sepanjang 4 kilometer tersebut dilaksanakan.

Setelah melalui perjalanan panjang, pada akhirnya jalan yang diinisiasi oleh Bandoeng Vooruit tersebut rampung pada tahun 1928. Pada tanggal 8 September 1928, jalan yang diberi nama Hooglandweg tersebut diresmikan lewat uji coba penggunaan jalan tersebut dengan menggunakan mobil.

“Dulu diperlukan perjalanan dengan menggunakan kuda dan dilanjutkan dengan pejalanan kaki. Kini sepanjang jalan ini dipenuhi oleh pemandangan mobil yang berderet. Semoga jalan ini dapat segera diperbaiki dengan sistem pengaspalan,” tulis Algemeen Handelsblad yang memberitakan peristiwa ini dengan sangat menarik dalam edisi 11 September 1928.

Sejak saat itu Jalan Tangkuban Parahu dibuka untuk umum. Yang menarik, untuk biaya pemeliharaan jalan ini, selain Dewan Kotapraja Bandung yang memberikan subsidi sebesar 1.500 Gulden, diberlakukan sistem tol dengan tarif sebesar 2,5 Gulden untuk mobil dan 1 Gulden untuk motor. (Algemeen Handelsblad, 11 September 1928)

Pembangunan jalan oleh Bandoeng Vooruit ini dapat dikatakan berhasil dalam memajukan pariwisata Bandung.  Kendati harus merogoh kocek agak dalam untuk sekadar melintasi jalan ini, jumlah turis yang kebanyakan adalah orang Belanda tidak surut. Sejak diresmikan pada tahun 1928 itulah, Gunung Tangkuban Parahu memiliki akses jalan langsung menuju Kawah Ratu yang dapat dinikmati oleh masyarakat hingga kini.

Catatan:

Penamaan monumen di bibir Kawah Ratu Gunung Tangkuban Parahu sebagai Algemeen Indisch Dagblad (AID) tampaknya tidak tepat. Nama tersebut (AID) merupakan sebutan untuk de Preangerbode koran berbahasa Belanda yang terbit di Bandung pada zaman kolonial. Mengapa nama koran tersebut dijadikan nama gerbang menuju monumen tersebut, alih-alih menggunakan Bandoeng Vooruit atau nama perkumpulan masyarakat yang memiliki peran terhadap pembangunan monumen tersebut, atau cukup dengan nama Monumen Tangkuban Parahu? Dari penelusuran penulis, monumen tersebut didirikan untuk mengenang peristiwa meninggalnya tiga pemuda siswa HBS di bibir Kawah Ratu yang memicu lahirnya ide membangun Jalan Tangkuban Parahu, jalan menuju kawasan puncak gunung itu Kawah Ratu. Semoga ini bisa menjadi perhatian pihak terkait.

*Tulisan kolom Ngulik Bandung, yang terbit setiap Kamis, merupakan bagian dari kolaborasi antara www.bandungbergerak.id dengan Komunitas Djiwadjaman

Editor: Redaksi

COMMENTS

//