• Kolom
  • SEJARAH KERETA API DI BANDUNG RAYA (13): Stasiun Cimekar  

SEJARAH KERETA API DI BANDUNG RAYA (13): Stasiun Cimekar  

Dalam peta sejarah, Stasiun Cimekar dikenal sebagai stasiun kecil Ciendog (Stopplaats Ciendog). Jalur kereta ini pernah disabotase.

Atep Kurnia

Peminat literasi dan budaya Sunda

Para penumpang turun dan naik kereta di Stasiun Cimekar, Kabupaten Bandung, Selasa (12/10/2021). Stasiun yang dulunya disebut Halte Ciendog ini berada di kawasan rentan banjir. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

31 Oktober 2021


BandungBergerak.idSatu hal yang tidak sempat saya lakukan selama tinggal di Cibiru adalah naik kereta api dari Stasiun Cimekar. Padahal tempat saya mengontrak kamar di sekitar Jalan Desa Cipadung cukup dekat ke Cimekar. Hanya sekitar 4 kilometer, yang bila ditempuh dengan menggunakan ojek hanya sekitar 14 menit.

Namun, selama sepuluh tahun tinggal di Cibiru, tidak sekalipun saya sempat ke Cimekar dan naik kereta api dari sana ke Cicalengka. Saya lebih memilih berganti-ganti angkot sejak menginjak tahun kedua masa kuliah di UIN Sunan Gunung Djati Bandung hingga akhirnya pandemi memaksa saya harus tinggal di kampung pada 2020.

Antara tahun 2010 hingga Agustus 2020, setiap akhir pekan saya biasa menggunakan angkot dari Cibiru ke Cikancung. Mula-mula saya biasanya naik angkot Cicaheum-Cileunyi, disambung angkot Cileunyi-Cicalengka, dan akhirnya angkot Cicalengka-Cikancung. Perjalanan yang hanya mengahabiskan sekitar satu jam bila naik kereta api, tentu dapat meningkat dua kali lipatnya bila menggunakan angkot.

Meski demikian, sebenarnya ada yang menyebabkan ingatan saya senantiasa bertautan dengan Stasiun Cimekar. Karena di stasiun kecil inilah kawan karib saya, mendiang Hendarto, sempat bekerja sebagai magang. Selama beberapa lama pada awal tahun 2000-an, ia bekerja di Stasiun Cimekar. Namun, selanjutnya Hendarto melanjutkan studi ke Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) dan diangkat menjadi pegawai negeri Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Lebih dari kawan, Hendarto, ayah-ibunya serta adik satu-satunya sudah saya anggap sebagai keluarga sendiri. Betapa tidak, sejak belajar SMP saya sudah berkawan akrab dengan Hendarto, kerap berkunjung bahkan menginap di rumahnya di Cikuya, sebelah selatan Stasiun Cicalengka, hanya terpisah oleh “rorogan” sawah. Pak Sutikto, ayahnya Hendarto dan Herjito, adalah masinis kereta api. Atas kebaikan Pak Tikto, saya berdua dengan Hendarto dapat bermain ke sekitar Gambir. Mengunjungi Monumen Nasional (Monas), Museum Nasional, dan Masjid Istiqlal semasa SMU. Itulah pengalaman saya pertama kali menggunakan kereta api ke Jakarta sekaligus bermain ke sekitar Gambir.

Dengan Hendarto pula saya pertama kali berkunjung ke Yogyakarta dengan kereta api, ketika saya sudah bekerja sebagai buruh pabrik. Saat Hendarto ditempatkan di Kalimantan, saya turut Pak Tikto dan ibu mengantarkan hingga Surabaya, naik kereta api malam. Sebelum meninggal pada 23 Januari 2021, Hendarto sempat pula saya temui di Kalimantan Utara, kala saya diajak meliput kebumian daerah Tarakan antara 29 April hingga 1 Mei 2016. Ia sempat mengajak saya ke kantornya di daerah Pamusian.

Kembali ke Stasiun Cimekar. Menurut id.wikipedia.org, meski namanya Stasiun Cimekar tetapi sebenarnya tidak terletak di Desa Cimekar, tetapi jauh berada di selatannya dan masuk wilayah administratif Desa Cibiru Hilir, Kecamatan Cileunyi. Stasiun Cimekar menjadi stasiun kereta api paling barat di Kabupaten Bandung.

Sejarah stasiun yang terletak pada ketinggian +668 m (sebelumnya +670 m) dan termasuk dalam Daerah Operasi II Bandung ini menarik juga untuk ditulis. Konon, menurut id.wikipedia.org, Stasiun Cimekar merupakan stasiun paling muda pada lintas Padalarang-Kesugihan karena baru diresmikan pada tanggal 21 Maret 2000. Menurut Buku Jarak Antarstasiun dan Perhentian (2004), stasiun ini dulu merupakan pengembangan dari perhentian yang diberi nama Ciendog (CED). Dengan demikian, dari dokumen-dokumen lawas saya menelusurinya sebagai Stopplaats Ciendog, bukan Stopplaats Cimekar. Karena seberapa lama dan keras pun saya berusaha mencarinya dengan menggunakan kata Cimekar, dari data lama tidak ditemukan.

Pengumuman tentang pembukaan Stopplaats Ciendog pada tahun 1899. Sumber: AID de Preanger-bode, 26 April 1899. (Dok. Penulis)
Pengumuman tentang pembukaan Stopplaats Ciendog pada tahun 1899. Sumber: AID de Preanger-bode, 26 April 1899. (Dok. Penulis)

Mulanya Stopplaats Ciendog

Saya akan memulainya dengan menelusuri dari buku-buku lama. Dalam Lijst van Plaatsnamen in Nederlandsch-Indie (1911: 298) susunan B. Wieringa, disebutkan “Tjiendog bij Rantjaèkek (Bandoeng) res. Preang. Reg. stoppl. s.s. W.L.” atau Ciendog ada di Rancaekek (Bandung), termasuk Keresidenan Preanger, dan menjadi salah satu stopplaats atau perhentian kereta api di wilayah barat (W.L., Westerlijnen). 

Yang lebih rinci agaknya yang termaktub dalam Aardrijkskundig Woordenboek van Nederlandsch Oost-Indie (1917: 606) karya Ch.F.H. Dumont. Di situ disebutkan demikian: “Tjiendog, pl., distr. Oedjoengbroeng Wetan, afd. Bandoeng, res. Preanger Regentschappen” atau Ciendog berada di Distrik Ujung Berung Wetan, Afdeeling Bandung, dan Keresidenan Priangan. Dengan demikian, bisa jadi saat itu Rancaekek dan Ciendog dapat dikatakan sama-sama termasuk ke Distrik Ujung Berung Wetan.

Rupanya keterangan tersebut terus bertahan hingga Indonesia merdeka. Karena S.M. Bahar dalam Kamus Ilmu Bumi Indonesia (1957: 234) masih mengatakan bahwa “Tjiendog, dekat Rantjaekek, tengg. Bandung, Keres. Priangan, st. K.A.” Bila saya uraikan lagi, keterangan tersebut bisa dinyatakan sebagai berikut: Ciendog, yang berada di dekat Rancaekek, terletak di tenggara Bandung dan termasuk Keresidenan Priangan, merupakan stasiun kereta api.

Dengan demikian, dapat disimpulkan paling tidak hingga 1957, nama stasiunnya masih Ciendog, belum berubah menjadi Cimekar. Penggunaan nama Cimekar barangkali baru terjadi pada 21 Maret 2000, saat stasiun tersebut diresmikan lagi sebagai pengembangan dari Stopplaats Ciendog. Menurut id.wikipedia.org, tanggal peresmian stasiun kereta api ini tertulis pada prasasti di bangunan utama Stasiun Cimekar.

Lalu, sejak kapan Stopplaats Ciendog mulai ada? Hasil penelusuran dokumen lama menunjukkan perhentian kereta api ini sudah ada sejak 1 Mei 1899. Koran AID de Preanger-bode antara 26 April 1899 hingga 1 Mei 1899 secara berulang mengumumkan pembukaan Stopplaats Ciendog. Di situ disebutkan “Wordt bekend gemaakt, dat van af den 1 en Mei 1899 tot het opnemen en uitlaten van reizigers met hunne bagage zullen stoppen bij Km. 169 (-075), tusschen GEDÉ BAGEH en RANTJA EKÈK (stopplaats TJI-ENDOG) de treinen 16, 18, 9, 11, 22 en 15”.

Artinya kira-kira: Diumumkan bahwa sejak 1 Mei 1899 mengenai kedatangan dan kepergian para penumpang dengan barang bawaannya akan dapat berhenti di km. 169 (-075), di antara Gedebage dan Rancaekek (yaitu Stopplaats Ciendog), yang menggunakan kereta api nomor 16, 18, 9, 11, 22 dan 15.

Di antara nomor-nomor kereta api tersebut tentu saja ada di antaranya yang melayani kereta api lokal Bandung-Cicalengka dan Ciendog sebagai salah satu perhentiannya. Dalam berita AID edisi 2 hingga 8 Agustus 1900, layanan kereta api Bandung-Cicalengka itu bermula dari Bandung kemudian berhenti di  Cikudapateuh, Kiaracondong, Ciendog, Rancaekek, Haurpugur, dan Cicalengka. Meskipun konteks pemberitaan AID itu dalam kerangka pemberlakuan kereta api istimewa untuk penumpang kelas satu, dua dan tiga saat berlangsungnya perlombaan balap kuda di Tegallega antara 4-6 Agustus 1900.

Baca Juga: SEJARAH KERETA API DI BANDUNG RAYA (12): Stasiun Gedebage
SEJARAH KERETA API DI BANDUNG RAYA (11): Stasiun Kiaracondong
SEJARAH KERETA API DI BANDUNG RAYA (10): Stasiun Cikudapateuh

Selain menjadi tempat berhenti kereta api lokal, Stopplaats Ciendog menjadi perhentian kereta api antarkota. Ini misalnya termaktub dalam Van Dorp's officieele reisgids voor spoor en tramwegen op Java (1900). Di situ disebutkan Stopplaats Ciendog menjadi perhentian kereta api jurusan Bandung-Maos. Selengkapnya stasiun-stasiun di Bandung yang dilewati kereta api jurusan Bandung-Maos adalah Bandung, Cikudapateuh, Kiaracondong, Ciendog, Rancaekek, Rancakendal, Haurpugur, Cicalengka, dan Nagreg (1900: 22-23).

Kemudian, berapa jumlah penumpang yang dilayani oleh Stopplaats Ciendog pada masa kolonial? Sebagai gambaran, kita antara lain dapat melihatnya dari Verslag betreffende het spoor- en tramwegwezen in Nederlandsch-Indie tahun 1921, 1924 dan 1925. Untuk 1921 ada 32.380 penumpang yang pergi dan 40.989 penumpang yang datang, dan totalnya sebanyak 73.399 orang penumpang yang menggunakan Stopplaats Ciendog.

Selanjutnya untuk 1924, jumlah penumpang yang pergi ada 31.324 orang dan 44.461 yang datang, dan totalnya sebanyak 75.785 orang. Sedangkan untuk 1925, ada 23.084 penumpang yang pergi dan 33.467 penumpang yang datang, dengan jumlah keseluruhannya sebanyak 56.551 orang. Meski memperlihatkan penurunan pada 1925, tetapi saya kira jumlah penumpang yang mencapai puluhan ribu orang setiap tahunnya, jelas memperlihatkan pentingnya Stopplaats Ciendog untuk sarana transportasi penduduk yang tinggal di sekitar Distrik Ujung Berung Wetan. Paling tidak untuk pergi dan pulang ke dan dari Kota Bandung.

Rangkaian gerbong yang mengalami kecelakaan pada 29 Maret 1924 di depan Stopplaats Ciendog. Sumber: Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 1 April 1924. (Dok. Penulis)
Rangkaian gerbong yang mengalami kecelakaan pada 29 Maret 1924 di depan Stopplaats Ciendog. Sumber: Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 1 April 1924. (Dok. Penulis)

Daerah Banjir dan Sabotase Kereta Api

Seperti halnya Stasiun Gedebage, Stasiun Cimekar termasuk berada di daerah yang rentan terkena banjir saat musim hujan datang. Ini terbukti dari warta-warta koran lama. Dalam De Expres edisi 3 April 1912, diberitakan bahwa Ciendog terlanda banjir. Di sana jembatan-jembatan rusak, menggenangi persawahan, dan menggusur seorang anak (“Bandjirs. De Tjiendog is aan het spoken; slaat bruggen weg, overstroomt padie-velden en heeft een kind medegesleurd).

Saat banjir besar (groote overstrooming) menerjang daerah Ujung Berung pada awal Maret 1930, sawah seluas 600 bahu (1 bahu= 7.000-7.400 meter persegi) yang terletak di antara Halte Gedebage dan Stopplaats Ciendog terendam air. Semua jalan desa di Cikijing rusak, di Desa Cidurian beberapa jalan tergenang hingga 60 cm (De Koerier, 4 Maret 1930). Setahun berikutnya juga terjadi hal yang sama. Sawah-sawah terendam. Desa Bobodolan, Bojongmalati, Ciluncat, Babakan, Ciendog dan desa-desa lain di selatan Rancaekek terkepung banjir. Banyak rumah dan sumur yang tergenang hingga menghilang dari penglihatan. Apalagi kampung-kampung yang ada di jalan dari rel kereta api hingga ke rumah camat Rancaekek, semuanya terendam (De Koerier, 21 Maret 1931).

Rupanya daerah Rancekek dan sekitarnya dari dulu memang langganan banjir. Peristiwanya terus berulang-ulang hampir setiap tahun. Ini terbukti setelah pada Maret 1931 terlanda banjir, setahun berikutnya terjadi lagi. Dalam De Koerier edisi 24 November 1932 disebutkan bahwa hujan besar menyebabkan banjir di sekitar Rancaekek, dan yang paling parah adalah persawahan di dekat Stopplaats Ciendog tergenang air.

Kabar mengenai Stopplaats Ciendog yang terendam air pula yang mengemuka saat terjadinya kecelekaan yang menimpa kereta api malam pada 29 Maret 1924.  Dalam Bataviaasch Nieuwsblad (31 Maret 1924) diwartakan bahwa pada Sabtu malam kereta api ekspres dari Surabaya yang sedianya tiba di Bandung pukul 20.00 telah mengalami kecelakaan setelah berangkat dari Rancaekek. Kecuali satu gerbong, rangkaian lainnya tergelincir dari rel. Menurut kabar pertama, tidak ada penumpang yang terluka.

Dari koran yang sama, kita dapat mengetahui kabar yang disebarkan kantor berita ANETA pada 30 Maret 1924. Menurut kantor berita itu kecelakaan tersebut jelas telah direncanakan, karena relnya dibuat kacau. ANETA lebih jauh memberi penjelasan bahwa kereta ekspres dari Surabaya itu mengalami kecelakaan pada pukul 19.30 di antara Rancekek dan Gedebage, persis di depan Stopplaats Ciendog. Masinis Versluys cepat mengerem kereta untuk menghentikan kecelakaan lebih parah. Namun, karena tidak ada sambungan telepon, laporan kecelakaan tersebut terlambat sampainya ke Bandung.

Yang terang, lokomotifnya terjerumus ke sawah dalam keadaan jungkir-balik. Demikian pula rangkaian gerbongnya kacau balau, kecuali gerbong yang terakhir. Kondektur bangsa pribumi, yang sedang berada di gerbong barang, terkubur tumpukan kopor dan terluka berat. Kepala polisi Bandung datang ke lokasi kejadian dengan mengendarai mobil bersama dengan polisi lapangan dan kepala detektif. Setelah dilakukan investigasi, pengawas rel setempat langsung ditahan sementara yang lainnya masih dicari-cari.

De Indische Courant edisi 2 April 1924 menurunkan laporan rinci sekaligus kesaksian korban kecelakaan kereta api itu. Katanya, kereta malam dari Surabaya yang terlambat tiba menjadi tanda tanya. Stasiun Cicalengka dan Rancekek dikontak melalui sambungan telepon dan telegraf. Kedua stasiun menyatakan kereta itu berangkat tepat waktu. Orang-orang yang menunggu kedatangan kereta di Bandung menjadi gelisah. Apalagi kemudian bagian telegraf mendapati hubungan dengan Rancaekek terputus dan menduga telah terjadi banjir di Stopplaats Ciendog.

Menurut kesaksian korban pertama yang diwawancarai reporter, tempat kecelakaan itu terletak sekitar 6 kilometer jauhnya. Dia bersama inspektur kereta api, yang kebetulan bepergian bareng, secepatnya mengirimkan telegram ke Halte Gedebage, untuk meminta bantuan. Saat itu, dia duduk di gerbong kedua untuk kelas tiga. Ia merasakan sesuatu yang aneh, karena gerbong berjalan tidak di atas rel, lalu tiba-tiba ia terbentur ke sisi kanan gerbong dan setengah tubuhnya terpental keluar jendela. Setelah sadar, ia merayap turun dan melihat apa yang sebenarnya terjadi.

Demikianlah riwayat masa lalu Stasiun Cimekar yang saya timba dari arsip-arsip lawas. Karena ada keperluan ke Cibiru lagi minggu ini, saya barangkali akan memanfaatkan kesempatan tersebut untuk turun di Stasiun Cimekar dan dari sana naik ojek ke Jalan Desa Cipadung. Ya, sekalian mengenang mendiang kawan karib saya yang sempat magang di stasiun kecil itu.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//