• Cerita
  • SEJARAH KERETA API DI BANDUNG RAYA (11): Stasiun Kiaracondong

SEJARAH KERETA API DI BANDUNG RAYA (11): Stasiun Kiaracondong

Sejarah Stasiun Kiaracondong ada kaitannya dengan pemindahan pabrik senjata di Surabaya, dan pendirian pabrik gas di Bandung.

Stasiun Kiaracondong, Bandung, Senin (19/9/2021). Stasiun Kiaracondong dibandung abad ke-19 oleh Belanda. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Atep Kurnia17 Oktober 2021


BandungBergerak.idBagi saya, Stasiun Kiaracondong adalah tempat yang terbilang istimewa. Alasannya bukan saja karena menjadi stasiun tujuan ketika bekerja ke Kota Bandung sejak tahun lalu, melainkan lebih dari itu karena bertalian juga dengan sejarah pekerjaan anggota keluarga. Nenek sempat berjualan dan bapak saya menarik becak di sekitar stasiun itu.           

Seperti yang sempat ditulis pada seri “Geografi Ingatan”, ketika saya kecil, nenek biasa berdagang hasil bumi di lapak Pasar Kiaracondong. Ia antara lain menjual umbi dan daun singkong, pepaya, jagung, ubi, cabai, dan lain-lain yang dikumpulkan atau dibeli dari sekitar Cikancung. Biasanya ia berangkat dari Cicalengka dengan menumpang mobil omprengan sehabis dini hari. Setelah menjajakan dagangannya, siang hari nenek baru kembali lagi ke Cikancung. Biasanya dengan menggunakan kereta api.           

Suatu kali di masa kecil, saya dengan seorang bibi pernah diajak serta berdagang ke Pasar Kiaracondong. Bibi saya dari pihak ibu itu pasti masih ingat peristiwanya, karena sudah agak besar, sementara saya lupa lagi persisnya. Namun, yang terus saya ingat hingga sekarang adalah kebiasaan nenek saya bila pulang berdagang. Ia akan senantiasa membawakan kue marie. Biasanya yang sudah tidak lagi utuh atau bubuk. Itulah makanan yang paling saya sukai saat itu, sehingga gigi banyak yang rusak, akibat kerap mengulum kue tersebut. O ya, karena pekerjaan di Bandung itulah saya menyebut nenek dengan panggilan Ema Bandung.           

Kemudian bapak saya. Setelah kerbau satu-satunya dijual untuk biaya membangun rumah, bapak saya beralih kerja menjadi penarik becak di sekitar Stasiun Kiaracondong. Hingga lulus SMU dan bahkan setelah saya bekerja di pabrik dan di Bandung sejak 2006, bapak saya masih menarik becak. Di antaranya, yang persis teringat adalah ketika memutuskan untuk kuliah di universitas terbuka, saya sempat diantar bapak berbelanja modul-modul kuliah. Tentu dengan mengayuh becak dari Kiaracondong ke arah Cinunuk. Meski, tentu saja tidak sampai ke tujuan, karena saya naik angkot.         

Dalam kerangka mengenang keberangkatan ke dan kepulangan dari Kiaracondong yang juga melibatkan nenek dan bapak, sekaligus mencicil sejarah perkembangan stasiun kereta api di Bandung Raya, saya akan menjejaki data-data lama stasiun yang ada di batas Kelurahan Babakansari dan Kebonjayanti, Kecamatan Kiaracondong, Kota Bandung itu.

Baca Juga: SEJARAH KERETA API DI BANDUNG RAYA (10): Stasiun Cikudapateuh
SEJARAH KERETA API DI BANDUNG RAYA (9): Stasiun Bandung (2)
SEJARAH KERETA API DI BANDUNG RAYA (8): Stasiun Bandung (1)
SEJARAH KERETA API DI BANDUNG RAYA (7): Stasiun Ciroyom
SEJARAH KERETA API DI BANDUNG RAYA (6): Stasiun Andir

Bagian dalam pabrik senjata yang dipindahkan dari Surabaya ke Kiaracondong pada 1918. (Sumber: KITLV 55784)
Bagian dalam pabrik senjata yang dipindahkan dari Surabaya ke Kiaracondong pada 1918. (Sumber: KITLV 55784)

Dari Stopplaats hingga Emplasemen Langsir

Kepala pusat kereta api jalur barat Jawa (De Chef der Exploitatie op Java Westerlijnen) membuat pengumuman pada 6 September 1893. Dari kantornya di Bogor, dia menyatakan mulai 16 September 1893, Stopplaats Kiaracondong yang berada di antara Stasiun Bandung dan Halte Gedebage akan dioperasikan. Dalam pengumuman yang sama, kepala itu mengumumkan pembukaan jalur Cibatu-Tasikmalaya pada tanggal yang sama (Bataviaasch Handelsblad, BN, dan Java-Bode, JB, 7 September 1893).           

Pengumuman itu jelas menyatakan Stasiun Bandung dan Stasiun Gedebage lebih dulu ada sebelum dioperasikannya Stasiun Kiaracondong. Jadi, artinya Stasiun Kiaracondong mulai dioperasikan setelah ada Stasiun Bandung dan Gedebage, tetapi sebelum Stasiun Cikudapateuh yang baru dioperasikan pada 1899.       

Bahkan, dapat dibilang dioperasikannya Stasiun Cikudapateuh mulanya nampak dijadikan alasan untuk mengganti Stasiun Kiaracondong yang kurang diminati penumpang pribumi. Alasannya Cikudapateuh berada pada posisi yang strategis, yakni berada di tepi Jalan Raya Pos yang menghubungkan antara Bandung dan Sumedang atau sebaliknya. Inilah yang diajukan oleh penulis surat berinisial B dalam AID De Preanger-bode edisi 4 Oktober 1897.

Surat itu juga secara tersirat menyatakan posisi stasiun yang masih berstatus sebagai stopplaats masih memungkinkan untuk dihapus. Ini memang terbukti dengan misalnya Stopplaats Rancakendal di antara Stasiun Rancaekek dan Stasiun Gedebage. Stopplaats Rancakendal hanya bertahan beberapa bulan saja. Tercatat mulai dioperasikan pada 20 Februari 1899 dan dihapuskan pada 1 Agustus 1899 (AID, 15 Februari 1899 dan 26 dan 27 Juli 1899). Lalu, bagaimana dengan Stopplaats Kiaracondong?

Ternyata, oleh jawatan kereta api, stopplaats itu terus dipertahankan bahkan dinaikkan statusnya. Mula-mula sebagai halte. Peningkatan Stopplaats Kiracondong menjadi Halte Kiaracondong mulai diwacanakan pada 1919. Dalam AID (5 Juni 1919) dan Sumatra-bode (14 Juni 1919), Kiaracondong direncanakan akan dijadikan halte (uitbouw van de stopplaats Kiaratjondong tot halte). Hal ini terkait perkembangan kondisi rel kereta api di Bandung (Spoorwegtoestand te Bandoeng), sebagaimana yang dibahas Dewan Rakyat (De Volksraad). Saat itu, Volksraad setuju terhadap rencana perbaikan dan pembangunan emplasemen barang, serta los bongkar-muat di Bandung dan Batavia.

Bahkan pada tahun itu, di sekitar Kiaracondong akan didirikan emplasemen yang baru untuk kereta barang (het nieuwe emplacement Kiaratjondong weer met het goederenvervoer gecombineerd wordt) serta pembangunan jalur ganda dari Cimindi ke Kiaracondong (van af Tjimindi wester Bandoeng tot Kiaratjondong [tostel van Bandoeng] gedacht als dubbel spoor) (AID, 13 November 1919).

Rencana peningkatan status Kiaracondong kian menemukan momentumnya seiring pembangunan jalur simpangan ke Bandung Selatan. Dalam De Locomotief (DL, 29 Januari 1920) antara lain dikatakan kereta api ke Bandung Selatan paling tidak hingga Citeureup bisa jadi mulai dioperasikan pada Mei 1920. Sejak Mei 1919, pembangunan jalur Bandung-Banjaran-Kopo sudah dimulai. Demikian pula jalur cabang ke Majalaya. Jalur itu akan diperpanjang dari Banjaran ke Pangalengan dan dari Kopo (Soreang) ke Ciwidey. Bila jalurnya diresmikan, maka Kiaracondong dipromosikan menjadi halte (de stopplaats Kiara Tjondong, die tot een halte wordt gepromoveerd).

Rel-rel yang lurus dan berbelok ke sebelah kiri saat pembangunan emplasemen langsir Kiaracondong. (Sumber: collectie.wereldculturen.nl)
Rel-rel yang lurus dan berbelok ke sebelah kiri saat pembangunan emplasemen langsir Kiaracondong. (Sumber: collectie.wereldculturen.nl)

Dengan pembangunan dan peresmian jalur itu pula, Kiaracondong ditetapkan sebagai stasiun sinyal (seinstation) pada 2 Mei 1920 (AID, 3 Mei 1920). Pada 12 Februari 1921, jalur kereta api Bandung-Soreang dan Rancaekek-Tanjungsari secara resmi dibuka (AID, 12 Februari 1921), demikian pula pada 17 Juni 1924 untuk jalur Soreang-Ciwidey (De Indische Courant, 13 Juni 1924). Bila demikian, saya kira Kiracondong paling awal tahun 1920 atau 1921 sudah mendapatkan statusnya sebagai halte.

Bila melihat laporan jawatan kereta api sebelumnya, pembangunan emplasemen di Kiaracondong sudah mengemuka sejak 1918, sebagaimana yang dilaporkan dalam AID edisi 26 September 1918. Saat itu masih dikatakan emplasemen di Kiaracondong masih ada dalam tahapan perancangan (Begonnen werd met een ontwerp van een emplacement te Kiara Tjondong). Sementara dalam berita AID edisi 2 November 1918 disebutkan pengukuran lahan untuk Halte Kiaracondong sudah berakhir dan gambar emplasemennya juga selesai.

Sejak awal Mei 1921, di Halte Kiaracondong direncanakan akan dibangun emplasemen langsir besar (een groot rangeer-emplacement) oleh jawatan kereta api (AID, 2 Mei 1921). Pembukaan emplasemennya terjadi setahun berikutnya, tahun 1922, sebagaimana yang dilaporkan AID edisi 28 Juli 1922.

Wartawan AID mendatangi Halte Kiaracondong atas undangan Inspektur Holtrop. Menurut pandangan mata wartawan AID, kita jadi tahu bahwa di halte tersebut sudah terbangun bangunan besar. Ada banyak ruang kosong, karena sejak 1 Agustus 1922, sebanyak 15 kereta api akan datang dan berangkat dari Kiarcondong dalam setiap harinya.

Sebagai tambahan, ada pula kereta api campuran yang mengangkut barang atau terpaksa harus berhenti sebentar di stasiun tersebut. Plus kereta api Bandung-Banjaran yang bertaut juga dengan Cikudapateuh dan Kiaracondong. Menurut Inspektur Holtrop, paling tidak ada 21 rel, tujuh di antaranya untuk lalu-lintas biasa dan 13 untuk emplasemen. Ketujuh jalur utama itu dioperasikan berdasarkan sistem Alkmaar. Orang yang dipercaya untuk mengelola semua ini adalah J.A. Versigny yang masih bekerja di Stasiun Padalarang.

Informasi lainnya yang dapat ditimba dalam reportase bertajuk “Nieuw Rangeer-Emplacement” itu, pada emplasemen yang masih kosong nanti minggu berikutnya, semua kereta barang antara Padalarang-Cicalengka akan dipusatkan di Halte Kiaracondong. Dari stasiun itu, gerbong-gerbong akan dibagi-bagi lagi berdasarkan tujuannya. Dikatakan pula, sistem langsir termasuk baru di Hindia Belanda (Het systeem der rangeerheuvels is voor Indie nog nieuw) karena baru dikenal ada di Sidotopo (Surabaya), Cipinang (Mr. Cornelis), dan yang ketiga di Kiaracondong.

Dua tahun kemudian, pada 12 Agustus 1924, di sekitar emplasemen langsir Kiaracondong dibuka bengkel kerja yang diusahakan oleh afdeeling Signaalwezen van de S.S. Pembukaan fasilitas yang agak jauh posisinya dari pabrik gas itu antara lain dihadiri oleh Insinyur Kepala R. Bloemendal, kepala Signaalwezen Brugman, Kruyswyk, Berenstorff von Sperling, dan lain-lain, termasuk Sparnaay dari GEBEO (AID, 12 Agustus 1924).

Pindahnya Pabrik Senjata dari Surabaya

Sejak 1907 rencana pemindahan Artillerie Constructie Winkel (ACW) dan Pyrotechnische Werkplaatsen (PW) dari Surabaya ke Bandung mengemuka lagi. Beberapa tahun sebelumnya, wacana kepindahan tersebut bergulir terutama di lingkungan militer, kemudian ke kalangan sipil yang bekerja di situ. Termasuk pegawai pribumi. Mereka ditanya apakah mau ikut pindah ke Bandung bersama mereka. Beberapa di antaranya menyatakan siap pergi dengan harapan akan mendapatkan upah yang lebih besar, dan sudah pula membicarakan ihwal mendirikan perkampungan di Bandung, seperti halnya permukiman untuk pegawai kereta api di Madiun dan Jember bagi yang bekerja di Surabaya.

Namun, seiring waktu, wacana itu hilang lagi. Namun, pengukuran dan pembuatan gambar bangunannya untuk proses kepindahan itu selanjutnya dilakukan pada 1906. Hanya saja, untuk pindah semuanya dibutuhkan waktu dua tahun (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, HNDNI, 28 Juli 1906, dan DL, 16 Februari 1907). Kepindahan PW ke Cikudapateuh baru terjadi pada 1910. Sementara ACW jadinya pindah ke Kiaracondong pada 1918, bukan ke Cikudapateuh (Voorbereiding, A.J, Bakker, 1923).

Sejarah kepindahannya ke Kiaracondong dapat disimak dalam pidato yang disampaikan Direktur ACW Mayor H.W. Verment saat memperingati hari jadi ACW ke-75 (DL, 4 Januari 1926). Dalam sambutan itu, Verment antara lain menyatakan ACW dipindahkan ke Desa Kiaracondong, yang berada di tenggara Kota Bandung, dari Surabaya beberapa tahun lalu. Kepindahan tersebut diselenggarakan saat pucuk pimpinannya berada di tangan Letnan Kolonel J.D.A. de Fremery.

Menurut Mayor Verment, mula-mula ACW didirikan di Kalisosok, Surabaya pada 1 Januari 1851. Sebelumnya hanya ada bengkel kerja milik pemerintah yaitu Lands Constructie Winkel di Werfstraat, Surabaya, dan berada di bawah pengelolaan orang sipil. Pada 1850, pemerintah membeli pabrik De Phoenix milik Baier, bekas insinyur teknik di Lands Constructie Winkel dan ditetapkan menjadi ACW berdasarkan keputusan pemerintah nomor 7 tanggal 19 September 1850. Sementara 1 Januari 1851 dijadikan sebagai tanggal mulai beroperasinya ACW.  

Dalam perkembangannya kemudian, dengan pertimbangan pertahanan militer, usul-usul kepindahan ACW ke Bandung disetujui oleh pemerintah kolonial pada 1917. Kepindahan tersebut merupakan bagian dari pemusatan artileri di Bandung (“der hier op te richten artillerie inrichting gen”), yang terdiri atas PW, De Patroonfabriek, De Werkplaatsen voor draagbare wapenen dan het Algemeen Wapen-magazijn. Anggaran kepindahannya disediakan oleh pemerintah pada 1918.

Persiapan kepindahannya dilakukan pada awal 1918 dan pembangunannya dimulai pada akhir tahun itu. Pada akhir 1921, pembangunannya dapat dibilang pesat sekali sehingga bengkel-bengkel kerja dapat dipindahkan tanpa menyebabkan terjadinya stagnasi. Pada 1922, bengkel-bengkel kerja lainnya dipindahkan secara bertahap, demikian pula gudangnya. Pada awal 1923, ACW di Bandung sudah dapat dikatakan bekerja penuh.

Bagaimana kaitan antara pendirian ACW di Kiaracondong dan jawatan kereta api? Ternyata dari jalur utama di Stasiun Kiaracondong ada emplesemen atau rel yang bersambung ke pabrik senjata itu. Lebih jelasnya, keterangan tersebut dapat dibaca dalam berita BN dan HNDNI edisi 22 Januari 1923.

Koran tersebut mewartakan bahwa Halte Kiracondong, lokasi ACW, berada sekitar 5 kilometer di sebelah timur Stasiun Bandung dan 2 kilometer dari Stasiun Cikudapateuh. Halte Kiaracondong hanya beberapa menit saja dicapai dengan jalan kaki dari barak militer, sementara para serdadu atau pegawai di sekitar barak itu diangkut dengan kereta traktor (tractor-trein). ACW sendiri jaraknya sekitar satu kilometer dari Halte Kiaracondong. Lahan pabrik senjata itu bersambung dengan emplasemen ke Halte Kiaracondong.

Ternyata pembelian kereta traktor seharga 46.000 gulden untuk mengangkut para serdadu dan pegawai dengan jarak yang dapat ditempuh dengan jalan kaki itu menuai kritik. Di antaranya menyayangkan mengapa Departemen Peperangan dan Jawatan Kereta Api tidak bekerjasama. Misalnya menjadikan Stasiun Cikudapateuh sebagai tempat awal bagi kereta barang atau penumpang untuk membawa dan mengumpulkan para pegawai. Apagi jawatan kereta api memiliki banyak lokomotif kecil.

Para pegawai ACW baik Eropa maupun pribumi saat peringat HUT ke-75. (Sumber: KITLV 55759)
Para pegawai ACW baik Eropa maupun pribumi saat peringat HUT ke-75. (Sumber: KITLV 55759)

Pabrik Gas dan Arah Pembangunan Bandung

Stasiun Kiaracondong juga ternyata bertaut dengan pendirian pabrik gas di Bandung. Wacana penggunaan gas untuk penerangan di Bandung sudah mengemuka sejak 1911. Perusahaan yang hendak melakukannya adalah Nederlandsch Indische Gasmaatschappij, dengan direktur O.S. Knottnerus di Rotterdam. Selain di Makassar, perusahaan tersebut hendak memperoleh konsesinya di Bandung (AID, 15-16 Mei 1911).

J.W.L. Feisser dari Batavia juga punya kehendak yang sama. Melalui De Graaf, Dekker, Stoll dan Carli, Feisser mengajukannya kepada Dewan Kota Bandung (Gemeenteraad van Bandoeng) pada 16 November 1912 (AID, 2 Desember 1912). Proposal tersebut dibahas Dewan Kota Bandung pada sidangnya tanggal 19 Mei 1913 (AID, 15 Mei 1913 dan De Expres, 17 Mei 1913).

Baik ajuan Knottnerus maupun Feisser ditolak oleh Dewan Kota Bandung. Namun, nampaknya Knottnerus tetap penasaran, sehingga pada 3 Mei 1918 mengajukan lagi hal yang sama dengan masa konsesi selama 40 tahun (AID, 6 dan 13 Mei 1918). Ditambah permohonan baru dari W.J. Louet Feiffer di Cirebon (AID, 27 Mei 1918). Semuanya nampak ditolak oleh pemerintah Kota Bandung. Karena pemerintah kota ini juga sudah memiliki dan mengoperasikan perusahaan listrik sendiri yang disebut Het Gemeenschappelijk electriciteits- bedrijft Bandoeng en omstreken (GEBEO) (AID, 30 Oktober 1918).

Ternyata, kalangan swasta tetap mempromosikan pentingnya mendirikan pabrik gas di Bandung. Pada akhir 1918, Bandoengsche Kiesvereeniging akan mengadakan ceramah dari direktur Semarangsche gasfabriek Sauter pada Rabu, 18 Desember 1918, di Societeit Ons Genoegen (AID, 14 Desember 1918). Para progandis pun gencar mengumpulkan tanda tangan para pendukung pembangunan pabrik gas di Bandung. Daftar penandatangannya ada di Toko Buku Vorkink (AID, 15 Januari 1919).

Apakah mereka berhasil? Ternyata memang berhasil. Dalam BN (31 Desember 1920) disebutkan bahwa pabrik gas di Bandung akan dioperasikan pada akhir Januari 1921. Tetapi hingga minggu kedua Januari 1921 masih dibilang akan segera dioperasikan (AID, 10 Februari 1921). Saat yang hampir bersamaan, dengan didirikannya GEBEO oleh pemerintah Kota Bandung, antuasiasme kepada pabrik gas menjadi hilang. Padahal jaringan pipa gas sudah terpasang lebih dari 50 kilometer. Kebanyakan di jalan utama sudah terpasang. Pada 2 April 1920, pertama-tama digali di Kiaracondong dan minggu ketiga Februari 1921 Bandung tinggal menerima pasokan gasnya (DL, 19 Februari 1921).

Ya, setelah menempuh berbagai kesulitan yang lama, akhirnya pabrik gas di Bandung (Bandoengsche gasfabriek) mulai dioperasikan sejak 17 Februari 1921 (AID, 25 Juli 1922). Sementara kenduri pembukaan pabriknya diselenggarakan pada 6 Maret 1921. Namun, menurut AID (5 Maret 1921), acara selamatan tersebut bukanlah pembukaan secara resmi, karena menunggu kepulangan Sauter dari Eropa. Hal tersebut juga berarti ceramah yang dilakukan Sauter di Societeit Ons Genoegen pada 18 Desember 1918, yang diikuti pengumpulan tanda tangan para pendukung pendirian pabrik gas ternyata berhasil mempengaruhi opini Dewan Kota Bandung. Sehingga akhirnya mau tidak mau memberikan izin kepada direktur Semarangsche gasfabriek itu.

Sementara yang bertindak sebagai direktur Bandoengsche gasfabriek adalah O.W. Kempkers, yang mengundurkan diri pada 5 Januari 1923. Penggantinya adalah Van Steenbergen, yang semula menjadi direktur pabrik gas sementara di Semarang (AID, 3 Desember 1923).

Bila dikaitkan dengan pembangunan di Bandung, baik pengembangan jalur kereta api dan bangunan stasiun maupun pabrik gas di sekitar Kiaracondong ternyata bertaut dengan penetapan wilayah Kiaracondong dan Cikudapateuh sebagai Centrum Industriewijk atau pusat kegiatan industri (AID, 17 Agustus 1920).

Menurut penulis yang menyebut diri Bandoenger (“Bandoegsche Causerie”, AID, 21 November 1920), di masa yang akan datang Bandung akan menjadi kota industri. Dan agar tidak menganggu tata kota, pusat industri harus dipindahkan ke lokasi yang berada di antara Jalan Pangeran Sumedang dan rel kereta api. Tentu saja maksudnya adalah ke sekitar Cikudapateuh dan Kiaracondong.

Ini maksudnya berarti memindahkan “Bandoeng’s industrie-wijk” (daerah industri di Bandung) yang semula ada di sekitar Stasiun Ciroyom. Di stu memang ada kompleks perusahaan, yang antara lain terdiri atas bengkel N.V. Technisch Bureau Soenda, De Nederlandsch-Indische Caoutchouc Fabriek, pabrik oksigen N.V. Don’s Zuurstof-fabriek, dan pabrik minyak mentega De Nederlanden (HNDNI, 26 Juni 1923). Ini sekaligus mengandung arti arah pembangunan Kota Bandung, sejak dulu pun terarah ke daerah timur, yang kebanyakannya masih berupa persawahan.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//