SEJARAH KERETA API DI BANDUNG RAYA (6): Stasiun Andir
Stasiun Andir dibuka pertama kali pada 20 Februari 1899. Berperan penting dalam pengembangan kawasan, mulai dari urusan kopi, pasar, hingga lapangan terbang.
Atep Kurnia
Peminat literasi dan budaya Sunda
13 September 2021
BandungBergerak.id - Stasiun Andir terletak di Jalan Ciroyom Nomor 1, Kelurahan Dungus Cariang, Kecamatan Andir, Kota Bandung. Menurut data dalam situs heritage.kai.id dan id.wikipedia.org, Stasiun Andir yang berada di ketinggian +730 meter di atas permukaan laut (Mdpl) ini termasuk stasiun kelas tiga atau stasiun kecil di lingkungan Daerah Operasi (DAOP) II Bandung.
Konon, sebelum ada Stasiun Ciroyom, Stasiun Andir berfungsi sebagai tempat pemberhentian baik kereta api lokal maupun kereta rel diesel (KRD) Ekonomi. Pada 2008, KRD Ekonomi bisa berhenti lagi di Andir. Namun karena dirasai mengganggu perjalanan baik kereta api maupun kendaraan bermotor, kebijakan tersebut dicabut kembali.
Sekarang, Stasiun Andir hanya berfungsi sebagai rumah sinyal. Berpuluh-puluh tahun sebelumnya, Spoor en Tramwegen edisi 31 Januari 1939 menampilkan bahwa Stasiun Andir telah direncanakan sebagai stasiun untuk mengontrol persinyalan dan wesel.
Sebegitu jauh, itulah data yang saya temukan dalam kaitannya dengan Stasiun Andir. Apakah pada masa lalu data yang berkaitan dengan Stasiun Andir pun hanya sedikit? Bagaimana kaitan antara perkembangan daerah Andir dengan perkembangan Kota Bandung pada masa sebelum Perang Dunia Kedua? Dengan kata lain, apa saja yang terjadi di Andir dan sekitar Stasiun Andir sebelum tahun 1942?
Pertanyaan-pertanyaan itulah yang menuntun saya melakukan pencarian dan penggalian data masa lalu Andir dan perkembangannya, termasuk Stasiun Andir. Sumber yang saya gunakan berupa berbagai pustaka berbahasa Belanda yang terbit pada paruh kedua abad ke-19 hingga sebelum Perang Dunia Kedua terjadi.
Hal pertama yang harus dikedepankan tentu saja adalah cakupan administratifnya. Dari Regeeringsalmanak voor Nederlandsch-Indie 1884 (RA, eerste gedeelte) hingga RA 1913, terlihat perkembangan signifikan kawasan Andir. Pada tahun 1884, ketika jalur kereta api Cianjur-Bandung dan Bandung-Cicalengka diresmikan, Andir bersama Bandung, Lembang, dan Balubur berstatus kecamatan di lingkungan Onderdistrik Bandung, Distrik Ujungberung-kulon, Kabupaten Bandung.
Status Andir sebagai kecamatan hanya berlaku hingga 1912, karena mulai 1913, kecamatan-kecamatan yang masuk ke Onderdistrik Bandung, Distrik Bandung, terdiri atasWest-Bandoeng, Oost-Bandoeng, Bojongloa, Cipaganti, dan Lembang (RA 1913, eerste gedeelte, 1913: 408). Selain sebagai nama kecamatan, Andir juga dikenal sebagai nama desa (Java-bode, JB, 9 Juni 1880, Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indie, HNDNI, 25 Agustus 1900, dan De Preanger-bode, AID, 2 Maret 1903).
Tetap Menjadi Stopplaats
Selanjutnya, sejak kapan ada Stasiun Andir? Koran AID edisi 13 hingga 17 Februari 1899 memuat keputusan kepala eksploitasi jalur kereta api bagian barat (De Chef der Exploitatie) S. Schaafsma. Di sana disebutkan bahwa sejak 20 Februari 1899 Stopplaats Andir beroperasi sebagai perhentian kereta api lokal yang melayani jalur Bandung-Cimahi.
Lebih jelasnya, Schaafsma menyebutkan bahwa Stopplaats Andir berada di kilometer 152 antara Stasiun Cimahi dan Stasiun Bandung. Di situ akan berhenti kereta api-kereta api bernomor 31, 32, 101, 18, 9, 104, 22, 11, 105, 106, dan 26 yang melayani jalur lokal Bandung-Cimahi.
Dari “Dienstregeling Tusschen Bandoeng en Tjimahi” (Jadwal untuk Bandung dan Cimahi) yang dimuat dalam AID antara 3 Juli hingga 20 November 1899, diketahui bahwa ada 11 kali keberangkatan dari Bandung ke Cimahi dan sebaliknya. Kereta pertama yang berangkat dari Bandung pukul 05.40 dan kereta terakhirnya pukul 16.33, sementara dari Cimahi yang pertama berangkat pukul 06.45 dan yang terakhir pukul 17.50.
Dari ke-11 kali keberangkatan tersebut, tidak semua berhenti di Andir. Kereta pertama dari Bandung tidak berhenti, demikian pula kereta yang diberangkatkan pada pukul 11.57 dari Bandung. Sedangkan dari Cimahi, kereta yang tidak berhenti di Andir adalah untuk keberangkatan pada pukul 12.09.
Setahun kemudian, tampaknya kabel telepon sudah terpasang antara Stasiun Andir ke arah Stasiun Rajamandala. Karena terbukti, pada 20 Agustus 1900, terjadi pencurian kabel tembaga yang terentang pada tiang-tiang dari Andir ke Rajamandala. Tidak tanggung-tanggung, pencuri bisa memotong 1.385 meter kabel miliki Intercommunale Telefoon-maatschappij. Konon, tiga orang terduganya sudah ditangkap (AID, 21 Agustus 1900).
Daerah Andir dan sekitarnya juga sempat beberapa kali dibidik oleh para pengusaha yang mengajukan konsesi pembuatan jalur trem di Bandung. Pada 1902, J. C. van de Kasteele mengajukan usulan untuk membuat trem yang akan melewati antara lain Dungus Cariang, Kaca-kaca Kulon, Andir, Citepus, kemudian ke arah Groote Kanoman, Alun-alun, dan Societeitsweg. Namun, proposalnya ditolak, karena dokumennya tidak akurat (AID, 29 Januari 1902).
Demikian pula nasib proposal yang diajukan oleh J. G. A. Müklnickel pada 27 Januari 1902. Usulannya membuat jalur trem sepanjang 1.067 meter yang melewati Bandung ke Citepus, Kajaksaangirang, Ujungberung, lalu berakhir di Cileunyi, ditolak pemerintah melalui keputusan tanggal 8 April 1902 Nomor 64 (S.A. Reitsma, Indische Spoorwegpolitiek, deel VIII, 1926).
Lalu, apakah seperti stasiun-stasiun sebelumnya, Stopplaats Andir berubah menjadi halte? Dari berbagai pustaka antara 1899 hingga 1947, ternyata statusnya tidak berubah. Andir tetaplah stopplaats, tidak sempat naik menjadi halte. Meski demikian, dalam rentang antara 1899 hingga 1935, Andir sempat menjadi perhentian berbagai kereta. Selain melayani rute Cimahi-Bandung atau sebaliknya, sejak tahun 1900 ada kereta lokal Bandung-Padalarang yang di antaranya berhenti di Andir (Van Dorp's Officieele Reisgids voor Spoor- en Tramwegen op Java, 1900).
Pada tahun 1926 kereta api jurusan Cikampek-Bandung dan Padalarang-Cikudapateuh (Officieele reisgids der spoor- en tramwegen, en Aansluitende Aütomobieldiensten op Java en Madoera. Uitgave van 1 Mei 1926) juga berhenti di Andir. Memasuki tahun 1930-an, Stasiun Andir menjadi salah satu perhentian bagi kereta api jurusan Sukabumi-Bandung, Cikampek-Bandung, dan Padalarang-Kiaracondong (Officieele reisgids der spoor- en tramwegen, en Aansluitende Aütomobieldiensten op Java en Madoera. Elfde Uitgave geldig van 1 Mei 1931 tot en met 31 October 1931 dan van 1 Mei 19315 tot en met 31 October 1935).
Dengan bertambahnya lalu-lintas kereta api di Bandung, wajar belaka bila kemudian, menjelang akhir tahun 1930-an, terjadi perluasan emplasemen. Dengan demikian, sejak Januari 1939, kereta api dari dan ke Padalarang yang meninggalkan Stasiun Andir dapat langsung berjalan. Hal ini bermula dari berfungsinya Stasiun Kiaracondong sebagai tempat langsir kereta pada 1931, sementara penumpang berhenti di Stasiun Bandung dan barang di Stasiun Ciroyom. Untuk mengatasi ketidaknyamanan tersebut, maka dibangunlah sambungan emplasemen di Stasiun Andir, sepanjang 1.729 kilometer dari Stasiun Bandung (Spoor- en tramwegen, No. 3, 31 Januari 1939 dan No. 12, 10 Juni 1939).
Meskipun hingga 1947, Andir masih berstatus stopplaats, tetapi kemudian hingga sekarang di sekitarnya dikenal adanya Jalan Halte Utara dan Jalan Halte Selatan. Apakah ini menjadi pertanda setelah tahun 1947, status Stopplaats Andir naik status menjadi halte? Saya belum menemukan jawabannya.
Pecinan Citepus
Apa arti penting Stasiun Andir? Untuk menjawabnya, saya antara lain akan melihatnya dari posisi Andir sebagai tempat bermukimnya orang Tionghoa di Bandung, sekaligus tempat bisnisnya.
Agar mendapatkan gambaran yang agak luas, ada baiknya untuk melihat dulu sejarah kehadiran orang Tionghoa di Bandung, meski secara sekilas. Bahan-bahan bacaannya dapat ditimba dari Perubahan Sosial di Bandung 1810-1906 (2002) karya A. Sobana Hardjasaputra, “Jejak Komunitas Tionghoa dan Perkembangan Kota Bandung” oleh Sugiri Kustedja (dalam Jurnal Sosioteknologi Edisi 26 Tahun 11, Agustus 2012), dan “Jejak Leluhur dari Fu Jian sampai ke Tanah Parahyangan” karya Tan Soey Beng (dalam Jurnal Sosioteknologi, Vol. 14, No 3, Desember 2015).
Dari ketiga sumber tersebut dapat diketahui bahwa Gubernur Jenderal H. W. Daendels adalah orang yang punya inisiatif untuk memasukkan orang Tionghoa ke Priangan. Daendels menerbitkan besluit tanggal 9 Juni 1810 mengenai pembentukan kampung khusus Tionghoa (Chineesche kamp) atau pecinan, bersamaan di keresidenan Priangan (Cianjur, Bandung, Parakanmuncang, Sumedang, Sukapura, Limbangan, dan Galuh). Tujuannya untuk memberdayakan tanah-tanah kosong yang tidak bisa ditanami kopi dan padi serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan menggiatkan perdagangan, sebagai agen.
Dengan berdirinya Pasar Ciguriang pada 1812, orang-orang Tionghoa kembali berdatangan ke Bandung. Selain berdagang di pasar, mereka dipercayai untuk memungut pajak pasar. Semula mereka tinggal di dalam kota, yaitu di daerah Banceuy, yang kemudian disebut sebagai Pacinan Lama. Setelah jumlah orang Tionghoa di Bandung bertambah, mereka membangun perkampungan di bagian barat kota dan disebut “Pacinan”. Itulah daerah Suniaraja dan Pasar Baru.
Selain di sekitar Suniaraja dan Pasar Baru, kawasan pecinan juga ada di Citepus. Setiap pecinan dipimpin oleh wijkmeester (kepala kampung). Kepala kampung Suniaraja adalah Thung Pek Koey, sedangkan untuk daerah Citepus Tan Nyim Coy. Wijkmeester pun punya atasan, yakni Luitenant der Chineeschen, yang di Bandung dijabat oleh Tan Djoen Liong (H. Buning, Maleische Almanak, 1914 dalam Tan Soey Beng). Dalam AID (12 Januari 1906), Tan Njien Tzoy atau Tan Nyim Coy pun sudah menjabat sebagai Wijkmeester Citepus.
Selain dari ketiga sumber pustaka itu, saya mendapatkan keterangan lainnya dari sumber berbahasa Belanda. Misalnya, dari AID (26 Juli 1922) sebagai awalnya. Dalam koran ini disebutkan bahwa saat itu jumlah orang Tionghoa di Bandung sebanyak 10.000 orang, dengan 7000 orang di antaranya tinggal di ibu kota Afdeeling Bandung. Mereka tinggal di dua pecinan (twee wijken), yakni di Citepus dan Suniaraja, terpisah oleh Sungai Cikapundung.
Konon, Suniaraja adalah pecinan yang paling penting. Di sana para tokoh Tionghoa tinggal. Namun setelah meninggalnya kapten Tionghoa tituler meninggal dunia pada pertengahan 1917, kepengurusan untuk orang Tionghoa Bandung tidak lagi diperhatikan. Kepengurusannya tidak ada lagi pengaruhnya, dan yang tersisa hanyalah kepengurusan wijkmeester. Oleh karena itu, ketika ada rencana untuk mengangkat Tjen Djin Tjiong sebagai kapten tituler Tionghoa Bandung pada 1921, gagasan tersebut langsung ditolak.
Lebih jauh lagi, Bandung bersama Cianjur ditetapkan sebagai tempat bermukimnya orang-orang Timur Asing (Tionghoa dan Arab) berdasarkan keputusan pemerintah kolonial dalam Stbl. No. 146. Ordonnantie dd. 9 Oktober 1871: Aanwijzing van plaattsen voor afzonderlijke wijken der Oostersche vreemdelingen (dalam Staatsblad van Nederlandsch-Indie voor het Jaar 1871, STBL).
Di mana persisnya letak pecinan di Bandung yang ada dalam aturan tersebut? Bila membuka-buka RA antara 1888-1889, pecinan tersebut berada di Afdeeling Bandong, District Oedjoengbroengkoelon, Plaats Bandong. Karena disebutkan Distrik Ujungberung-kulon tentu saja termasuk Suniaraja dan Citepus. Menurut AID (3 April 1912), Citepus yang termasuk pecinan adalah Citepus Negri, yang berbeda dengan Citepus Girang.
Kemudian, adakah bukti kegiatan bisnis orang Tionghoa di Citepus? Tentu saja ada. Bila membuka-buka RA untuk tahun 1888 hingga 1894, kita akan bersua dengan tokoh Thio Oetan yang memiliki usaha penggilingan singkong di Citepus dan penggilingan padi di Cisitudago. Sementara pengusaha The Tjiauw Hok punya bisnis penggilingan singkong di Andir. Menurut JB (14 Desember 1895), The Tjiauw Hok dengan modal sebesar 78479.86 gulden turut pada tender untuk transportasi kopi, garam, dan lain-lain yang dimiliki pemerintah di Priangan.
Thio Oetan lebih menarik lagi. Pada 1883, dia salah seorang dari Bandung yang mendapatkan Diplome Commémoratif kelas 19 atas peringatan terhadap raja Belanda (Herinnerings-Diploma's. Z. M. de Koning der Nederlanden. Z. K. H. de Prins van Wales) (Algemeen Handelsblad, AH, 16 September 1883).
Kemudian untuk meluaskan bisnisnya, pada 13 Mei 1897, bersama Thio Boen Pang, Thio Oetan mengajukan penggunaan lahan di Desa Dago dan Cintu untuk pendirian pabrik gula, dengan menggunakan tenaga air. Bahkan, daerah usahanya konon akan meliputi Desa Cibabat, Pasirkaliki, Cigugurtengah, Cibeureum dan Cijerah (Distrik Cilokotot), Desa Cjihideung, Cirateun, Geger Kalong Girang, Cidadap, Buniwangi, Dago, Cisitu, Tjipaganti, Geger Kalong Hilir, Jerokaso, Cibeureum, Citepus, Garunggang, Cicendo, Merdika, Balubur, Sekeloa,Cibeunying, Kosambi, Gumuruh, Cikawao, Andir, Ciborerang, Ciparay, Bojongloa, Cigereleng, Buahbatu, Babakanjati, Sukapura, Citeureup, Cangkuang, Bojongpacing, Cedok, dan Sadang (Distrik Ujungberung-kulon) (AID, 24 Mei 1897).
Thio Oetan pula yang merintis pemakaman untuk orang Tionghoa di Cikadut (Chineesche Begraafplaats). Ia mengajukan permohonan lahannya kepada pemerintah Kota Bandung pada Januari 1917 (AID, 27 Januari 1917). Namun, konon, pada rapat dewan Kota Bandung, permohonan Thio tersebut mendapatkan tanggapan negatif (AID, 4 Februari 1917).
Hal lain yang berkaitan dengan orang Tionghoa di Pecinan Citepus adalah soal opium. Ini bahkan sudah berlangsung sejak abad ke-19 hingga tahun 1920-an. Misalnya, Ong Bet yang menyelundupkan 6 boks opium dan diselidiki oleh camat dan mantri kota (Bataviaasch Nieuwsblad, BN, 7 September 1888). Camat kota dibantuWijkmeester Citepus dan mata-mata perempuan indo melakukan penyelidikan terhadap opium yang dimiliki kongsi Poej Tiam Hok (AID, 27 Oktober 1902).
Dalam kaitan dengan opium selundupan pula, pada awal Maret 1903 tersiar kabar di antara Stopplaats Andir dan Stasiun Bandung, kerap kali ada paket yang dilemparkan dari kereta api oleh orang Tionghoa. Kemungkinan paket tersebut opium gelap (AID, 5 Maret 1903). Selain itu, kemungkinan Stasiun Andir dijadikan perhentian bagi orang yang membawa opium gelap dengan tujuan Bandung. Setelah turun di Andir, pembawa barang haram itu naik sado atau jalan kaki ke kota (HNDNI, 19 Agustus 1908).
Baca Juga: SEJARAH KERETA API DI BANDUNG RAYA (5): Stasiun Cimindi
SEJARAH KERETA API DI BANDUNG RAYA (4): Stasiun Cimahi
SEJARAH KERETA API DI BANDUNG RAYA (3): Stasiun Gadobangkong
Gudang Kopi Citepus
Keberadaan gudang kopi di Citepus juga memberikan arti tersendiri bagi Stasiun Andir. Informasi pertama yang menyebutkan keberadaan gudang pengolahan kopi milik pemerintah di Citepus (Gouvernements koffiebereidings etablissementen te Tjitepoes) tersebut adalah W.O.I. Nieuwenkamp melalui Gids voor Bandoeng (1908: 15). Di situ antara lain disebutkan di Bandung sudah berdiri pabrik kina, gudang militer di Cikudapateuh, dan gudang kopi di Citepus.
Lalu, sejak kapan ada gudang kopi Citepus? Selidik punya selidik, ternyata itu bermula pada 1904. Hal ini berkaitan dengan terbitnya besluit No. 492 tanggal 21 Desember 1904, yang berisi tentang penetapan Desa Cisomang dan Cipada (Distrik Rajamandala), Distrik Cilokotot, Distrik Ujungberung-kulon, Distrik Ujungberung-wetan, Distrik Cicalengka dan Distrik Cipeujeuh (Afdeeling Bandung) serta Distrik Tanjungsari (Afdeeling Sumedang) sebagai fasilitas pembuatan kopi.
Dalam aturan tersebut juga ditentukan harga kopi yang diserahkan oleh penduduk untuk tahun 1905. Untuk kopi dalam bentuk “hoornschil” yaitu kopi luwak, kopi bajing, kopi tikus, dan kopi codot dibayar 7 gulden per pikul. Buah kopi yang matang dan segar seharga 3 gulden per pikul, buah kopi yang tua tapi tidak masak karena penyakit akan dibayar 2,5 gulden, dan kopi lelesan akan dibayar 1 gulden sepikulnya (STBL 1904).
Karena menyebut-nyebut Ujungberung-kulon, tentu saja gudang kopinya berada di sekitar Citepus, sebagaimana yang dimaksud Nieuwenkamp. Apa fungsi gudang tersebut? Ternyata bukan hanya untuk menyimpan kopi, melainkan juga dijadikan sebagai tempat pelelangannya. Lelang pertama di gudang kopi di Citepus mulai dilakukan pada paruh kedua Agustus 1905 (AH, 30 Agustus 1905).
Orang yang berwenang mengumumkan pelelangan kopi di Citepus adalah asisten residen Bandung. Misalnya, pada untuk pelelangan kopi (koffieveiling) pada Sabtu, 7 September 1912, Asisten Residen Bandung H. Van Vleuten yang mengumumkan penjualan Preanger Koffie itu (AID, 4 September 1912). Demikian pula yang dilakukan pada Sabtu, 24 April 1915, Asisten Residen Bandung B. Coops yang membuat pengumuman pelelangannya (AID, 23 April 1915).
Namun, ternyata gudang tersebut tidak terus berfungsi untuk menyimpan dan melelang kopi. Karena pada tahun 1918, gudang tersebut difungsikan sebagai tempat penggilingan padi sekaligus penyimpanannya oleh pihak jawatan kereta api Hindia Belanda. Pada Mei 1918, diberitakan bahwa gudang tersebut sebagian digunakan oleh jawatan kereta api untuk menggiling padi sebanyak 20.000 pikul yang setara dengan satu ton. Sementara stok padi di Afdeeling Bandung yang dapat disimpan di sana diperkirakan senilai 270.000 gulden (AID, 24 Mei 1918). Urusan penggilingan dan penyimpanan padi di bekas gudang kopi tersebut ada di bawah kepala bengkel kerja jawatan kereta (chef van de hoofdwerkplaatsen der S.S.) Van Schaik (AID, 15 April 1919).
Pada tahun 1918, ada pula usulan untuk menggunakan bekas gudang kopi di Citepus sebagai tempat diselenggarakannya sensus modern pertama di Hindia Belanda. Karena konon, bekas gudang tersebut mampu menampung ribuan orang untuk memproses bahan-bahan sensus penduduk secara modern itu (De Nieuwe Courant, 15 November 1918).
Pasar Andir
Stasiun Andir sudah pasti berkaitan dengan Pasar Andir. Riwayat perkembangan pasar ini pun sangat menarik untuk diikuti. Datanya banyak saya temukan dalam pemberitaan AID antara 1911 hingga 1917, ditambah koran lainnya.
Bulan Juli 1911 dikabarkan pemerintah Kota Bandung membeli lahan Pasar Baru dan Pasar Andir. Semuanya ada ratusan orang pemiliknya. Pemerintah Kota Bandung lalu membuat daftar dan semua pemilik lahan di kedua pasar tersebut diminta datang. Dengan cara demikian, pemerintah mendapatkannya dengan harga murah. Pasar Baru yang ukurannya lebih dari dua bau (ukuran tanah) dibayar 127.000 gulden. Sementara Pasar Andir hanya dibayar 9000 gulden (BN, 27 Juli 1911).
Inilah awal pengelolaan Pasar Baru dan Pasar Andir oleh pemerintah Kota Bandung, termasuk nantinya ditambah dengan Pasar Bojim alias Pasar Cikudapateuh.
Dalam AID (21 November 1911), disebutkan pemerintah Kota Bandung telah membeli lahan Pasar Andir sebesar 9.000 gulden, dengan biaya pembangunan los pasar dan lain-lain sebesar 24.725 gulden, ditambah bunga dan pembayaran kembali selama dua tahun sebesar 46.275 gulden, sehingga totalnya 300.000 gulden. Sementara di lingkungan Pasar Andir sendiri disebutkan ada 1.100 orang pedagang yang membutuhkan lahan seluas 2.500 meter.
Dari ketiga pasar yang dikelolanya, pemerintah Kota Bandung diperkirakan beroleh keuntungan sebagai berikut: Pasar Suniaraja atau Pasar Baru sebesar 1.000 gulden per bulan atau 12.000 gulden per tahun, dari Pasar Andir sebesar 120 gulden per bulan atau 1.440 gulden setahun, dan dari Pasar Bojim sebesar 150 gulden per bulan atau 1.800 gulden dalam setahun (AID, 30 September 1912). Namun, hingga awal November 1912, pemerintah Kota Bandung masih membicarakan ihwal renovasi Pasar Baru (Suniaraja), pembangunan Pasar Andir dan Pasar Bojim (Cikudapateuh) (AID, 2 November 1912).
Setahun kemudian, barulah diwartakan bahwa los pasar yang baru sudah terbangun lengkap di Pasar Andir (AID, 17 November 1913). Apakah selanjutnya ada lagi pembangunan Pasar Andir? Dari penelusuran dalam AID, pasar tersebut bersama dua pasar lainnya yang dikelola pemerintah Kota Bandung memang dibangun lagi.
Itu terjadi sejak awal tahun 1915. Dalam AID (18 April 1915), dirinci kemajuan pembangunan Pasar Kosambi dan Andir hingga kwartal pertama tahun 1915. Khusus untuk Pasar Andir disebutkan bahwa tiang-tiang dipancangkan dan mulai dilakukan penggalian untuk fondasi kolom-kolom. Penggalian fondasi untuk pintu masuk sudah selesai. Selanjutnya, pada Juli 1915, pembentonan sudah dikatakan beres, termasuk atap, hingga pertengahan November 1915, pembangunan Pasar Andir direncanakan usai (AID, 27 dan 28-Juli 1915).
Akhirnya, hari peresmiannya tiba pada Senin, 28 November 1915. Menurut AID (24 November 1915), pasar yang selesai dibangun di Andir akan digunakan pada hari Senin pukul 09.00. Namun, betapa redaksi AID merasa kecewa mendapati Pasar Andir yang baru itu, karena ternyata nampak terlalu kecil. Lorong jalan untuk pembeli sesak dengan berbagai barang, sehingga terasa kekurangan ruang (AID, 30 November 1915).
Selanjutnya, selain membangun lagi empat los di Pasar Andir (AID, 25 Januari 1916), dengan ditutupnya pasar khusus untuk tepung tapioka di Sukahaji (Andir), pemerintah Kota Bandung harus membangun atau menata lagi penjualan produk dari singkong tersebut di Pasar Andir. Mengingat jumlah pedagang di Pasar Sukahaji mencapai 200 hingga 300 orang setiap harinya (AID dan BN, 26 Januari 1916).
Sebegitu jauh, bila membaca jumlah pedagangnya yang mencapai ribuan orang, pasti Pasar Andir memainkan peranan penting. Kalangan pribumi, Eropa, dan Tionghoa berdagang di situ dan mendatangkan barang dagangannya melalui Stasiun Andir. Orang-orang di sekitar Distrik Ujungberung-kulon atau Distrik Bandung, dapat pula dipastikan sehari-hari berbelanja di Pasar Andir. Bagi yang jauh jaraknya, tentu saja pilihannya menggunakan kereta api lokal jurusan Cimahi-Bandung, Padalarang-Cikudapateuh, atau Padalarang-Kiaracondong, dan berhenti di Stasiun Andir.
Lapangan Terbang Andir
Keberadaan lapangan terbang Andir menambah nilai strategis Stasiun Andir. Lapangan terbang yang kini menjadi Bandar Udara Internasional Husein Sastranegara itu merupakan tahap ketiga atau tahap dari perkembangan lapangan terbang di Bandung, setelah masa Lapangan Terbang Rancaekek (1917-1918) dan Lapangan Terbang Sukamiskin (1918-1923).
Dalam AID (6 April 1921) dikatakan sebuah area yang luas di dekat Stasiun Andir akan digunakan sebagai lapangan terbang permanen bagi posisi Priangan. Semula, peran tersebut jatuh pada Sukamiskin, tetapi karena tanahnya tidak cocok, sangat mahal untuk membersihkan areanya, serta hanya efisien bila digunakan pada musim kemarau. Pilihan terhadap Andir tersebut antara lain merupakan hasil amatan komandan Luchtvaart-afdeeling Kapten Infanteri O. van Houten.
Demi terciptanya Andir sebagai lapangan terbang, Gubernur Jenderal Hindia Belanda J.v. Limburg Stirum menerbitkan aturan akuisisi lahannya, melalui Besluit van den Gouverneur-Generaal van 15 September 1920. Tajuk aturannya sendiri panjang, “No. 684. ONTEIGENING. PREANGER-REGENTSCHAPPEN. Onteigening van de bezitsrechten op eenige stukken grond, gelegen in de afdeeling Bandoeng, benoodigd voor de inrichting van een landingterrein voor vliegtuigen op de Bandoengsche hoogvlakte ten behoeve van de verdediging en het luchtverkeer” (STBL 1920). Kira-kira artinya, pembebasan lahan yang terletak di Afdeeling Bandung demi keperluan pembangunan lahan pendaratan pesawat terbang di Dataran Tinggi Bandung. Tujuannya untuk pertahanan dan lalu-lintas udara.
Menurut aturan tersebut, batas-batas lahan yang akan dijadikan lapangan terbang yang dekat Stasiun Andir itu Cibeureum di sebelah barat, jalan tanah dari arah Stasiun Andir di sebelah utara, di timur dan utara dibatas rel kereta yang membentang dari arah timur-barat. Di batas timur sepanjang 1.400 meter dari Stasiun Andir, lahan-lahan yang harus dibebaskan adalah milik Hanapi, Raden Haji Asikin, Martapura dan Mas Sujana.
Pada 11 Januari 1922, lapangan terbang Andir sudah dinyatakan dinyatakan siap. Bahkan Kapitein-vliegenier (Kapten penerbang) B. Stom sudah melakukan pendaratan kapal terbang untuk pertama kalinya di Andir (HNDNI, 12 Januari 1922).
Pembukaan resmi lapangan terbang Andir terjadi pada 1 Maret 1922. Pada hari itu, meski sedang hujan, Kapten W. Leendert menerbangkan kapal Haviland dengan penumpang Komandan Luchtvaart-afdeeling Mayor J. D. Boukons. Mereka mendarat di Andir pada pukul 07.30. Selanjutnya Haviland yang dibawa Kapten B. Stom tiba dari Lapangan Terbang Sukamiskin. Disusul Fokker yang dipiloti Letnan Giel, lima Avro dari Kalijati yang dipimpin Letnan ten Seldam, dan akhirnya Avro dari Sukamiskin (De Indische Courant dan HNDNI, 1 Maret 1922).
Demikianlah, sejak saat itu hingga sekarang di Andir tetap ada lapangan terbang. Dan sebagaimana sudah diuraikan di atas, lapangan terbang tersebut memang berkaitan dengan Stasiun Andir karena kawasan di sekitar stasiun tersebut menjadi batas-batas lapangan terbang, seperti yang ditetapkan oleh Gubernur Jenderal van Limburg Stirum. Pengaturan ini sekaligus pula menandai adanya motif pertahanan militer.