• Kolom
  • SEJARAH KERETA API DI BANDUNG RAYA (5): Stasiun Cimindi

SEJARAH KERETA API DI BANDUNG RAYA (5): Stasiun Cimindi

Sejarah panjang Stasiun Cimindi berawal dari sebuah stopplaats yang dibuka pada15 Oktober 1897. Ada cerita tentang hotel dan cikal bakal Kebun Binatang Bandung.

Atep Kurnia

Peminat literasi dan budaya Sunda

Petugas sedang memberikan aba-aba menjelang keberangkatan kereta api di Stasiun Cimindi, Kota Bandung, Senin (16/8.2021) siang. Stasiun ini pertama kali beroperasi, mulanya sebagai stopplaats, pada 15 Oktober 1897. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

6 September 2021


BandungBergerak.idSebelum masuk kerja di pabrik tekstil antara 1998 hingga 2006, saya sudah mengenal kehidupan buruh di sekitar Cimindi. Ketika masih sekolah menengah umum, saya beberapa kali menemani kerabat jauh, yang masih kecil, untuk menemui ayahnya yang bekerja di sekitar Leuwigajah. Dalam salah satu kesempatan kunjungan tersebut, saya sempat diajak ke pabrik tempat ayah kerabat saya itu bekerja untuk mengikuti acara tujuh belasan.

Di Cimindi, saya juga mulai mengenal apa yang disebut sebagai kontrakan, ruangan yang disewa buruh pabrik sebagai tempat tinggalnya sementara. Di Cimindi pula, saya mengenal sebuah permainan yang belum ada di Cicalengka: dingdong. Kesempatan tersebut tiba saat diajak ke tempat permainan di sekitar Cimindi. Selama mengantar itu, saya hanya melongo belaka melihat anak-anak lain memainkan dingdong. Tangan mereka demikian sibuk memainkan tombol, sementara matanya tertuju ke layar.

Itulah beberapa kesan yang berkilas dalam ingatan saya terkait Cimindi. Sementara kesan penampilan Stasiun Cimindi dan perjalanan dari stasiun tersebut ke kontrakan ayah kerabat saya itu, sama sekali lupa lagi. Yang saya ingat hanyalah jalanan besar ke arah Leuwigajah dan kontrakan di atas sungai dengan airnya yang legam.

Betapapun, saya penasaran mengenai asal-usul Stasiun Cimindi. Sama seperti stasiun-stasiun yang sudah dibahas sebelumnya, saya mula-mula mencari cakupan awal wilayah administratif Cimindi, disambung riwayat pendiriannya dan hal-hal lain yang bertaut dengan stasiun tersebut.

Informasi awal mengenai cakupan wilayah administratif Cimindi mula-mula saya temukan pada berita mengenai kabar mewabahnya penyakit kaki dan mulut yang menyerang ternak, terutama kerbau, pada pertengahan September 1899. Dalam De Preanger-bode (AID, 16 September 1899), disebutkan bahwa Leuwigajah dan Cimindi termasuk ke dalam Distrik Cilokotot. Ketika membahas Stasiun Cimahi, saya menemukan Distrik Cilokotot berubah menjadi Distrik Cimahi. Dengan demikian, Cimindi dapat dipastikan bagian dari Distrik Cimahi.

Namun, sekarang Stasiun Cimindi termasuk ke Kota Bandung, tepatnya Kelurahan Campaka, Kecamatan Andir, sekaligus menjadi stasiun paling barat Kota Bandung. Namun, menariknya, halaman depan dan wesel baratnya temasuk ke Kota Cimahi.

Stasiun Cimindi, yang berada di ketinggian +736 m ini, termasuk stasiun kelas dua di Daerah Operasi (DAOP) II Bandung. Stasiun di belakang Pasar Cimindi ini mempunyai tiga jalur kereta api dan sejak 6 April 1999 telah menggunakan persinyalan elektrik produksi Alstom (id.wikipedia.org dan en.wikipedia.org).

Potret suasana Stasiun Cimindi pada tahun 1991. (Sumber: Michiel van Ballegoijen de Jong, 1993: 129)
Potret suasana Stasiun Cimindi pada tahun 1991. (Sumber: Michiel van Ballegoijen de Jong, 1993: 129)

Stopplaats Menjadi Halte

Kapan Stasiun Cimindi didirikan? Saya mendapatkan titik terangnya dari surat pembaca dalam AID (4 Oktober 1897). Dalam surat yang mengomentari pengumuman jadwal kereta api yang efektif sejak 15 Oktober 1897, penulis surat menyatakan bahwa di balik beberapa stopplaats dan halte baru yang didirikan jawatan kereta api Hindia Belanda berangkat dari kebutuhan untuk memfasilitasi transportasi para penumpang pribumi. Ia menyebutkan didirikannya stopplaats Cimindi, Cibodas, Ciledug, dan Kiaracondong.

Surat pembaca tersebut dipertegas redaksi AID (11 Oktober 1897). Pihak redaksi menyebutkan bahwa berdasarkan pengumuman dari pihak jawatan kereta api, terhitung sejak 15 Oktober 1897 berdiri stopplaats- stopplaats baru, yaitu Cimindi, Cibodas, dan Ciledug. Dari pernyataan penulis surat pembaca dan redaksi AID, saya lebih memilih tanggal 15 Oktober 1897 sebagai awal beroperasinya Stasiun Cimindi, yang saat itu statusnya masih berupa stopplaats.

Setahun kemudian, untuk jadwal kereta api sejak 10 November 1898, kepala eksploitasi jalur barat S. Schaafsma menetapkan Cimindi sebagai  stasiun perhentian bagi kereta api Cianjur-Bandung (AID, 28 Oktober 1898 dan  Bataviaasch Nieuwsblad, BN, 31 Oktober 1898). Dalam AID (2, 4, dan 7 November 1898), Schaafma menyatakan lagi bahwa sejak 10 November 1898, kecuali kereta api nomor lima, semua kereta campuran dan kereta barang antara Bandung-Cimahi berhenti di Cimindi.

Demikian pula yang diputuskan sejak 20 Februari 1899, Cimindi bersama dengan Andir dijadikan sebagai stasiun perhentian layanan kereta api jurusan Bandung-Cimahi (AID, 13 dan 15 Februari 1899). Dengan demikian, untuk layanan kereta api lokal Bandung-Cimahi mencakup empat stasiun yaitu Bandung, Andir, Cimindi, dan Cimahi sebagai tujuan akhir (AID, 4 Juli 1899, 14 Agustus 1899, dan 20 November 1899). Ini ditambah dengan kereta malam Bandung-Cimahi pada hari Minggu selama dua bulan sejak 2 April 1899 (AID, 24 dan 29 Maret 1899).

Pada awal 1899, ada juga perkembangan menarik yang berkaitan dengan Stasiun Cimindi. Perkembangan tersebut berkaitan dengan proposal yang diajukan H. J. Stroband untuk menjajaki pembuatan jalur trem di Bandung Raya, yang meliputi Cipadalarang ke Bandung, melalui Batujajar, Kopo, Banjaran, Citeureup, Ujungberung ke arah Stasiun Cimindi. Namun, awal April 1899, gagasan tersebut ditampik pemerintah (De Locomotief, DL, 5 April 1899).

Karena berstatus stopplaats, Stasiun Cimindi dapat dibilang bersifat sementara. Karena itulah sejak 1 Januari 1900, misalnya, kepala jalur barat memutuskan menghentikan dulu layanan pembelian tiket, menerima dan mengangkut bagasi dan barang-barang lainnya (AID, 21 Desember 1899). Namun, Stasiun Cimindi dibuka lagi untuk memberikan layanan dari situ. Ini antara lain dapat disimak dari keputusan kepala jalur barat S. Schaafsma bahwa sejak 1 Maret 1901, kereta api nomor 5 jurusan Cimahi akan berhenti lagi di Andir dan Cimindi (AID, 21 Februari 1901).

Oleh kepala eksploitasi yang baru, M. Van Winsen, stopplaats Cimindi, bersama Lebong dan Rangas, dinaikkan statusnya menjadi halte terhitung sejak 1 Februari 1902 dan diperkuat lagi dua minggu selanjutnya, 15 Februari 1902 (HNDNI, 16 Januari 1902; AID, 14 Janauri 1902; DL, 13 Februari 1902).

Dari berbagai panduan perjalanan kereta api seperti Van Dorp's officieele Reisgids voor Spoor- en Tramwegen op Java (1900) dan Officieele Reisgids der Spoor- en Tramwegen (edisi 1926, 1931, dan 1935), antara 1900 hingga 1935, Stasiun Cimindi menjadi tempat berhenti bagi layanan kereta api jurusan Bandung-Padalarang, Cikampek-Bandung, Padalarang-Cikudapateuh, Sukabumi-Bandung, dan Padalarang-Kiaracondong.

Baca Juga: SEJARAH KERETA API DI BANDUNG RAYA (4): Stasiun Cimahi
SEJARAH KERETA API DI BANDUNG RAYA (3): Stasiun Gadobangkong
SEJARAH KERETA API DI BANDUNG RAYA (2): Stasiun Padalarang

Dari Kantor Telegraf hingga Stasiun Radio

Selain ditetapkan sebagai halte, sejak 1902, banyak hal lain yang berkaitan dengan Stasiun Cimindi. Di antaranya penetapannya sebagai kantor pos dan telegraf, penunjukan kepala stasiun pribumi, serta pelebaran emplasemen. 

Stasiun Cimindi bersama Stasiun Lebeng di Keresidenan Banyumas ditetapkan sebagai kantor pos dan telegraf yang dikelola jawatan kereta api sejak 1 Februari 1902. Kantornya dibuka dari pukul 07.00 hingga 19.00 untuk telegraf dan perhentian paket pos titipan (AID, 24 Januari 1902). Konon, tiang-tiang telegraf yang terentang dari Cimindi ke Galangan terbuat dari kayu pohon randu dan menimbulkan kesan akan segera roboh (AID, 16 Januari 1904).

Hingga November 1906, banyak stasiun di Bandung Raya yang dijadikan sebagai kantor pos dan telegraf oleh jawatan kereta api. Selain Cimindi, ada Stasiun Padalarang, Cimahi, Bandung, Gedebage, Cicalengka, dan Nagreg (AID, 29 November 1906).

Salah satu yang menarik bagi saya adalah mendapati informasi bahwa paling tidak sejak tahun 1908, pribumi sudah diangkat sebagai kepala halte. Termasuk halte Cimindi. Dalam AID (25 April 1908) diumumkan kepindahan kepala halte Cimahi bernama Anapie ke halte Bendul. Sementara dari halte Bendul M. Wikaradimedja dipindahkan ke Cimindi untuk menjabat sebagai kepala halte yang baru.

Selanjutnya, berkaitan dengan pelebaran emplasemen. Gagasannya sendiri muncul tahun 1914. Penyebabnya adalah berbagai penundaan dan keterlambatan berangkat dan datangnya kereta api. Kasusnya banyak ditemui di Stasiun Padalarang dan Cimindi. Oleh karena itu, yang dilakukan jawatan kereta api adalah memperlebar emplasemen Padalarang sepanjang 500 meter dari arah Bogor dan rel pertama di Cimindi diperluas hingga 200 meter ke arah Bandung (AID, 8 Mei 1914).

Perluasan emplasemen juga dilakukan di Stasiun Cimahi dan Cimindi pada akhir tahun 1930-an. Menurut F. Boomstra (“Het nieuwe Locomotief-depot te Bandoeng” dalam Spoor- en tramwegen, No.15, 1940), perluasan emplasemen di kedua stasiun tersebut dilandasi oleh kaperluan atas meningkatnya lalu lintas kereta api (di Bandung Raya).

Seperti H. J. Stroband pada 1899, Maintz & Co. pada 1917 mengajukan konsesi untuk eksploitasi trem listrik dari Cimahi melalui Cimindi dan Bandung ke Cikudapateuh. Perusahaan tersebut mengajukan permohoanan kepada direktur jawatan perusahaan pemerintah (gouvernementsbedrijven) (AID, 31 Maret 1917).

Angkutan mobil dari stasiun juga jadi urusan jawatan kereta api. Sejak 10 Januari 1922 dibuka angkutan mobil jurusan Stasiun Cimahi-Stasiun Bandung-Ujungberung, bolak-balik. Trayek tiga rit dalam sehari ini menjadikan Stasiun Cimindi sebagai salah satu perhentian antara Stasiun Bandung dan Cimahi (AID, 12 Januari 1922). Masih berkaitan dengan mobil, ternyata hingga 1928 marak juga taksi baik mobil sewaan maupun taksi gelap, termasuk dari Stasiun Cimahi dan Cimindi (Rapport en Voorstellen van de Commissie Motorverkeer, Deel II, Bijlagen, 1928: 11-12).

Setahun kemudian, rel ganda antara Padalarang-Cimindi dibuka pada Agustus 1923 (BN, 23 Juni 1923). Dalam AID (15 Juli 1924) disebut-sebut rel ganda Cimindi-Bandung-Kiaracondong sebagai bagian dari rangkaian rel ganda Padalarang-Kiaracondong berkaitan erat dengan berbagai pekerjaan di dalam dan sekitar Bandung. Konon menurut Rencana Van Eelde, Stasiun Bandung hanya difungsikan untuk penumpang, langsir kereta di Kiaracondong, dan distribusi barang di Stasiun Ciroyom.  

Sebagai dukungan untuk penerangan, GEBEO atau PLN Kota Bandung zaman Belanda memasang kabel dari Bandung ke sepanjang Groote Postweg menuju Cimahi pada 1923. Dengan jalan ini, kampung-kampung di sekitar Andir dan Cimindi dapat diterangi listrik (Gemeenschappelijk Electriciteits Bedrijf Bandoeng en Omstreken [GEBEO] Ter Gelegenheid van het 10-Jarig Bestaan, 1929: 11).

Pada zaman Belanda pula, di Cimindi berdiri stasiun radio. Ini merupakan bagian dari rangkaian pendirian stasion radio di Bandung oleh PTT. Setelah Stasiun Radio Malabar, ada Stasiun Radio Cililin dan Cimindi, Stasiun Penerima Rancaekek, ditambah pusat bisnis, studio dan laboratorium radio di Bandung (Haagsche Courant, 26 Oktober 1928).

A. J. H. Van Leeuwen (“Tien jaren Radio Indie-Holland” dalam De Ingenieur No. 1, Januari 1934) menyentil tantangan penyiaran suara radio dari Hindia ke Belanda. Contohnya angin yang sedikit ribut di Hindia dapat menyebabkan gelombang berubah, sehingga di Belanda mengalami kendala untuk menerimanya. Misalnya goyangan kawat antena Stasiun Radio Cimindi yang berada di antara dua pohon kelapa.

Rumah mantan Residen Banyumas C. E. G. Ottenhoff di Cimindi, Bandung, yang ia tinggali setelah pensiun, tampak sebagai latar foto. Selain Ottenhoff, ada beberapa pejabat lain yang menjadikan Cimindi sebagai kawasan peristirahatan di masa pensiun. (Sumber foto: KITLV 31006)
Rumah mantan Residen Banyumas C. E. G. Ottenhoff di Cimindi, Bandung, yang ia tinggali setelah pensiun, tampak sebagai latar foto. Selain Ottenhoff, ada beberapa pejabat lain yang menjadikan Cimindi sebagai kawasan peristirahatan di masa pensiun. (Sumber foto: KITLV 31006)

Berbagai Usaha dan Daerah Penyangga Militer

Sepanjang yang saya telusuri, di daerah Cimindi pun didapati beberapa perusahaan yang memanfaatkan stasiun sebagai acuan. Demikian pula, bagi yang hendak melelang tanah dan rumah, sering menjadikannya sebagai patokan. Ada pula kecenderungan daerah Cimindi dijadikan sebagai tempat beristirahat bagi pensiunan. Namun, daerah ini pun menunjukkan karakternya sebagai penyangga militer karena berada di antara Cimahi dan Bandung.

Perusahaan yang berdomisili di Cimindi antara lain ada Landbouw- en Veeteelt-Onderneming TJIBODAS. Antara 1901 hingga 1907, saya mendapati perusahaan dimiliki Ch. Witbols Feugen dan bergerak di bidang pertanian dan peternakan ini sering memasang iklan dalam AID. Ada pula A.R.R. Brugman yang tinggal di Cimahi dan A.F.A. Blumer yang berdomisili di Cimindi mendirikan Bauwen Handel Maatschappij Brugman dan berkantor di Cimahi (AID, 2 Mei 1918).

Di antara perusahaan dari Cimindi, di antaranya ada yang memamerkan hasil produksinya pada pekan raya tahunan di Bandung (Jaarbeurs). Steen- en pannen bakkerij TJI OEDJOENG yang dimiliki oleh F. Buning memamerkan batu-bata dari bengkel kerjanya di Cimindi pada Jaarbeurs kedua (“De Tweede Nederl.-Indische: Jaarbeurs te Bandoeng” dalam Indisch Bouwkundig Tijdschrift No. 19, 15 Oktober 1921). Lalu, dalam pameran kerajinan pribumi saat Jaarbeurs 1930, kain produksi dari Cimindi ditampilkan, bersama antara lain barang-barang dari tembaga produksi Sumedang (De Koerier, 28 Juni 1930).

Selanjutnya, orang yang menjual barang-barang dengan menjadikan Stasiun Cimindi sebagai patokan antara lain ada agen R. R. Baaij yang menjual lahan pada 1904, M. Van Delden yang jauh-jauh dari Sukabumi memasarkan barangnya pada 1907, agen Bruining & Co. menjual rumah pada 1911 (AID, 10 Juni 1911), J. van Blommestein menjual koleksi anggrek (AID, 17 September 1913), N.V. Java Bibit Mij. Tjimahi menjual rumah di Cimindi (AID, 11 Mei 1914), dan H. Richter yang menjual koleksi senapan dan hasil perburuan (BN, 26 November 1925)

Kecenderungan Cimindi sebagai tempat peristirahatan saya dapati dari potret rumah mantan Residen Banyumas C. E. G. Ottenhoff. Foto koleksi KITLV berkode 31006 itu diberi keterangan “Woning van de gepensioneerde resident C.G. Ottenhoff te Tjimindi nabij Bandoeng” atau rumah pensiunan residen C.G. Ottenhoff di Cimindi, Bandung, sekitar tahun 1905. Sementara di dalam potret adalah anak perempuan Ottenhoff bersama Letnan P. Schaafsma, sedang mengendarai kereta kuda.

Agaknya setelah pensiun sebagai residen, Ottenhoff memilih tinggal di Cimindi hingga meninggal pada 1 April 1904 (AID, 2 April 1904). Lima minggu setelah meninggal, sebagian harta kekayaannya, antara lain berupa beberapa ekor kuda dari berbagai ras, dilelang oleh J.R. de Vries (AID, 27 April 1904). Sementara peninggalan tanah miliknya seluas 118.810 meter persegi yang setara dengan 16 bangunan dilelang oleh notaris dan juru lelang P. Vellema di Bandung pada 12 November 1904 (AID, 29 Oktober 1904).

Hampir sama dengan Ottenhoff adalah Th. F.J. Vogelpoel, pemilik Maison Vogelpoel di Jalan Braga. Setelah usahanya mengalami kemunduran, ia dan keluarganya memilih tinggal di Cimindi dengan mendirikan vila yang dinamakan Sans-souci. Vogelpoel meninggal pada 6 Januari 1920. Dalam AID (6 Januari 1920) disebutkan bahwa ia meninggal dunia di rumah sakit militer Cimahi dan hanya tinggal sebentar di vilanya yang baru didirikan di Cimindi. Sama seperti Ottenhoff, peninggalan Vogelpoel sebagian-sebagian dilelang keluarganya. Misalnya koleksi anjing (AID, 24 Januari 1920) dan barang-barang rumah tangga (AID, 7 Februari 1920).

Karena berada di antara Bandung dan Cimahi, Cimindi dan stasiunnya kerap memperlihatkan interaksi antara kalangan militer dengan sesamanya atau dengan orang sipil. Contohnya lumayan banyak. Perkelahian antara seorang serdadu dari Cimahi dengan kusir sado (AID, 26 Oktober 1903), perkelahian dua prajurit Eropa dari Cimahi, gara-gara perempuan pada 28 Januari 1904 (AID, 29 Januari 1904), lingkungan Cimindi dianggap tidak aman gara-gara para prajurit pribumi yang melakukan desersi (AID, 23 Januari 1903). Satu lagi, dalam AID edisi 4 September 1910, diberitakan tentang seorang tentara pribumi yang desersi dan kabur menggunakan kereta terakhir ke arah Stopplaats Andir. Namun, lalu ia ditemukan terbujur kaku di stasiun. Mayatnya dikembalikan ke tempat asalnya: Cimindi.

Kolam renang di Rustoord Tjimindi yang terus-menerus diiklankan dalam Mooi Bandoeng antara 1937-1937. (Sumber foto: KITLV 121707)
Kolam renang di Rustoord Tjimindi yang terus-menerus diiklankan dalam Mooi Bandoeng antara 1937-1937. (Sumber foto: KITLV 121707)

Hotel Rustoord Tjimindi dan Kebun Binatang Bandung

Ihwal lainnya yang menarik adalah mengenai hotel yang dikelola jawatan kereta api di Cimindi berikut fakta bahwa hotel yang nampaknya beralih kepemilikan ke pihak swasta itu menjadi salah satu cikal bakal kebun binatang Bandung.

Soal jawatan kereta mengusahakan hotel atau penginapan mula-mula saya baca dari Sumatra-Bode (11 Juni 1923). Di situ disebutkan bahwa hotel milik jawatan kereta api di Bandung, Grand National Hotel, akan dihancurkan pada Juli 1923, karena akan dijadikan kompleks perkantoran. Tapi sebuah hotel milik jawatan kereta api akan dibuka di Cimindi dan dikelola Stolk, manajer Grand National Hotel. AID edisi 10 April 1923 malah sudah lebih dulu mengiklankan keunggulan hotel di Cimindi itu, yaitu kolam renangnya yang bisa dipakai berenang pada hari Minggu.

Informasi lebih jauh mengenai hotel milik jawatan kereta api terbaca dalam AID (14 Desember 1923). Ternyata hotelnya terbilang banyak. Ada satu di Weltevreden (Batavia) dan dua di Bogor, yang akan diusahakan pihak swasta. Demikian pula hotel di Cirebon sudah dibiarkan. Tinggal Hotel Berglust di Cimahi, yang akan dikontrak beberapa tahun lagi. Wisma di Padalarang sudah ditutup dan bisa disewakan kepada Pabrik Kertas Padalarang dan kompleks di Cimindi dijadikan tempat liburan, yang dilengkapi kolam renang serta lapangan tenis. Pengelolanya Stolk Sr.

Hotel di Cimindi itu disebut Rustoord Tjimindi. Hotel ini tercatat sebagai salah satu hotel yang ada di sekitar Bandung dalam Handboek voor Automobilisten en Motorwielrijders (1927) dan Van Stockums's Travellers' Handbook for the Dutch East Indies (1930) karya S. A. Reitsma. Menurut Reitsma, “Rustoord Tjimindi” memiliki 24 kamar. Harga sewanya bervariasi, antara 10-12 gulden kalau menginapnya berdua, dan ada potongan harga bila menginap lebih dari semalam.

Nama Rustoord juga disebut-sebut dalam Mooi Bandoeng tahun 1933 (edisi No. 1, Juli, dan No. 6, Desember). Demikian pula kolam renang yang menjadi keunggulan Rustoord terus-menerus diiklankan dalam Mooi Bandoeng antara 1937-1937, berbarengan dengan kolam renang ‘t Centrum di Billitonstraat 10, Tjihampelas di Lembangweg, Isola, Grand Hotel Lembang, Dago; Hotel Berglust, di Cimahi, Hotel Tangkoeban Prahoe di Lembang, dan Hotel Tjitere serta Tjileuntja di Pangalengan.

Perhimpunan Bandoeng Vooruit yang menerbitkan Mooi Bandoeng itu pula yang akhirnya membeli koleksi binatang yang dimiliki dan dikelola oleh pemilik Rustoord, yakni Ch. Swart. Sebelumnya, Swart membeli binatang-binatang itu dari putra mendiang Th. F. J. Vogelpoel, yang bernama E. W. P. Vogelpoel, seorang peminat dan pemburu binatang.

Gagasan penjualannya bermula pada 1930. Koleksi binatang yang telah dikumpulkan Vogelpoel di Dago itu sudah tidak mampu dikelolanya lagi karena jumlahnya kian banyak, ditambah keadaan malaise. Untuk menanganinya, semula muncul gagasan untuk mendirikan Vereeniging Bandoengsche Dierentuin atau Perhimpunan Kebun Binatang Bandung (DL, 30 September 1930). Namun, tampaknya tidak terwujud, sehingga Vogelpoel memilih menjualnya.

Mula-mula yang menawarnya adalah Schoenmaker, pengelola kebun binatang di Surabaya, tetapi tidak jadi, sehingga akhirnya sebagian besar dipindahkan ke kebun yang ada di Rustoord alias dibeli Ch. Swart (De Koerier, 28 November 1931 dan Algemeen Handelsblad voor Nederlandsch-Indie, AHNI, 30 November 1931). Dengan demikian, dalam waktu yang relatif tidak lama, Cimindi memiliki kebun binatang. Karena 60 binatang yang antara lain terdiri atas singa, gajah, dan berbagai harimau ditawarkan lagi oleh Swart seharga 2.000 gulden (DL, 17 September 1932).

Sultan Yogyakarta diisukan tertarik dan ditawari untuk membeli koleksi binatang milik Swart (AHNI, 29 September 1932). Namun, ternyata menurut pengakuan sultan, ia tidak menerima tawaran (AHNI, 30 September 1932). Akhirnya, pada awal 1933, Bandoeng Vooruit membeli koleksi Swart dan menambahnya hingga berjumlah sekitar 100 ekor, sehingga terbentuklah Bandoeng Zoologisch Park alias kebun binatang Bandung (Bredasche Courant, 3 Januari 1933 dan Mooi Bandoeng, No. 9, Maret 1935).

Dengan menghimpun informasi di atas, saya merasa berhasil melewati tantangan selama proses pencariannya dan perasaannya barangkali hampir sama dengan apa terjadi bila dulu saya sempat memainkan permainan dingdong saat diajak ke tempat permainan di Cimindi.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//