SEJARAH KERETA API DI BANDUNG RAYA (2): Stasiun Padalarang
Pengoperasian Stasiun Padalarang berdampak besar pada pertumbuhan dan pengembangan wilayah Padalarang. Luasannya bertambah, jumlah penduduknya melonjak.
Atep Kurnia
Peminat literasi dan budaya Sunda
15 Agustus 2021
BandungBergerak.id - Saya lupa lagi kapan terakhir kali turun di Stasiun Padalarang. Barangkali telah berpuluh tahun silam, saat keluarga saya dan umumnya tetangga melakukan ritus berkunjung ke Padalarang sehabis Hari Raya Idul Fitri. Kalau hanya melewatinya, sering saya lakukan, terutama bila ditugaskan ikut menghadiri rapat di kantor Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) di Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat. Tentu saja dari atas kereta api yang saya tumpangi dari Stasiun Bandung menuju Gambir.
Terakhir kali saya melewati Stasiun Padalarang adalah sepulang ikut rapat di Cianjur, sebelum pandemi. Kali itu tidak menggunakan kereta api, melainkan kendaraan dinas. Bila tidak keliru ingat, saat itu kami memilih jalan alternatif demi menghindari kemacetan di jalan tol. Namun, kesannya jadi “ngapruk” ke jalan-jalan yang belum pernah dilewati, sehingga bagi saya pribadi terasa sedang bertualang. Dalam temaram dari cahaya lampu di luar, sekilas saya lihat lagi Stasiun Padalarang.
Demi mengenangkan lagi Stasiun Padalarang, sekaligus merunut riwayatnya dengan menempatkannya pada konteks kepentingan ekonomi dan pertahanan militer, saya menelusuri pustaka-pustaka lawas. Namun, sebelum memulai ke arah situ, saya menjejaki dulu cakupan wilayah administratif sebelum jalur kereta api Cianjur-Bandung, yang melalui Padalarang, dibuka untuk umum pada 1884.
Sumber acuannya Regerings-Almanak voor Nederlandsch-Indie 1883, Bijlage FF (eerste deel, 1882: 214). Dalam sumber pustaka yang selanjutnya akan saya singkat RA itu, Padalarang, bersama Gadobangkong, Leuwidadap, dan Leuwigajah, termasuk kecamatan (assistent wedana Iste of 2de klasse) di Kewedanaan Cilokotot, Distrik Cilokotot, Kabupaten Bandung, Afdeling Bandung, Keresidenan Priangan.
Sekarang, Stasiun Padalarang beralamat di Jalan Cihaliwung, Desa Kertamulya, Kecamatan Padalarang, Kabupaten Bandung Barat. Stasiun yang termasuk Daerah Operasi 2 Bandung ini memiliki ketinggian +695 meter di atas permukaan laut (dpl). Di sini ada dua cabang rel di bagian timur, yaitu jalur kiri menuju Sukabumi (Jalur Manggarai-Padalarang) dan jalur kanan menuju Purwakarta (Jalur Cikampek-Padalarang). Stasiun ini juga jadi tempat bongkar muat batu balast (heritage.kai.id).
Jalan Raya Pos ke Gudang Kopi Cikao
Padalarang sejak dulu punya posisi yang sangat strategis. Pada masa pemerintahan Daendels, daerah ini dipilih menjadi salah satu jalur Jalan Raya Pos karena dinilai sangat bagus, yaitu dari Batavia melalui Karawang dan Purwakarta, Mandalawangi dan Burangrang masuk ke Keresidenan Priangan, dari Padalarang (Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie, tweede deel, 1921: 450).
Oleh karena itu, di Padalarang ada pos pemberhentian kereta kuda. Di sana ada istal kuda, sebagaimana diberitakan De locomotief (20 Oktober 1870). Dalam koran tersebut diberitakan bahwa pada Selasa minggu pertama November 1870 akan diselenggarakan tender pembangunan istal untuk 16 kuda di pos Padalarang (poststation Tjipadalarang).
Empat tahun sebelumnya, demi memperlancar perjalanan ke Padalarang dibangun jalan baru dari Kota Bandung sepanjang 12 pal atau sekitar 18 kilometer dan dari Padalarang ke Cikao sepanjang 35 pal atau sekitar 52 kilometer (Staat der Wegen in 1864 Arsip Priangan, 5/6, ANRI, dalam Sobana A. Hardjasaputra, Perubahan Sosial Kota Bandung [1810-1906], 2002: 133). Dalam Bataviaasch handelsblad (12 Desember 1864), bahkan disebutkan tanggal persis selesainya jalan transportasi dari Padalarang ke Cikao itu, yaitu 26 September 1864.
Selain motif mempertahankan Jawa dari kemungkinan serangan dari luar, pembuatan Jalan Raya Pos memang didorong kepentingan pengangkutan hasil bumi. Apalagi pada masa Daendels, tanam paksa kopi dilipat-gandakan. Tidak terkecuali Priangan, sentra kopi sejak zaman VOC. Dalam konteks ini, Padalarang adalah jalan ke gudang penyimpanan kopi di Cikao, yang hingga 1883 masih masuk ke wilayah Kabupaten Bandung, yaitu Kecamatan Cikao, Kewedanaan Cianting, Distrik Gandasoli (RA 1883, Bijlage FF, eerste deel, 1882: 214).
Menurut F. De Haan (Priangan, Vol III, 1912), semua kopi dari Priangan dibawa ke gudang-gudang kopi yang ada di mulut sungai besar. Untuk orang Bandung, gudang kopinya di Cikao. Gudang ini sudah disebutkan keberadaannya oleh Van Imhoff sejak 1744. Menurut catatan 15 Oktober 1790, gudang milik orang Bandung berada di selatan Cikao, sementara bagian utaranya adalah gudang milik orang Karawang.
Setelah Reorganisasi Priangan 1871, di Kewedanaan Cilokotot terdapat empat lokasi perkebunan kina milik pengusaha swasta W. F. Hoogeveen dan C.H.O.M. Von Winning. Keempatnya adalah Soekawana I sejak 4 Agustus 1877, Soekawana II sejak 6 Januari 1879, Soekawana III dan Soekawana IV sejak 24 Februari 1881 (RA 1885, Bijlage IJ, eerste deel, 1885: 145). Di samping kina, tentu saja kopi tetap ditanam secara wajib oleh rakyat Priangan, termasuk Padalarang.
Baca Juga: SEJARAH KERETA API DI BANDUNG RAYA (1): Dari Padalarang hingga Nagreg
Ekskursi Para Naturalis
Padalarang juga sarat nilai ilmiah. Sejak paruh pertama abad ke-19, para naturalis mengagumi dan menyelidiki pegunungan batu kapur di sekitar Padalarang. Kegiatan ekskursi ke sekitar Padalarang antara lain dilakukan oleh Salomon Mueller (1804-1864) dan Pieter van Oort (1804-1834), F. W. Junghuhn (1809-1864), C.G.F.R von Hochstetter (1829-1884), dan Karl Martin (1851-1942). Saya membaca perjalanan mereka dari tulisan-tulisan Malik Ar Rahiem dalam laman situsnya, malikarrahiem.com.
Mueller dan van Oort berkunjung ke Bandung antara Januari-Maret 1833 untuk mengobservasi dan menggambarkan kondisi geografis, flora, dan fauna di Priangan. Dalam catatan perjalannya, Aanteekeningen Gehouden op eene Reize over een Gedeelte van het Einland Java (1833), ia antara lain menyatakan telah mengunjungi Situ Lembang, Sungai Cimahi, peninggalan Dipati Ukur, Gunung Padang, Kawah Putih, dan peninggalan Hindu di tepi Sungai Citarum. Termasuk berkunjung ke Distrik Cilokotot dan mendapati pegunungan batu kapur atau gamping yang berderet dari timur ke barat daya, yaitu Gunung Karang Panganten, Masigit, Hawu, dan Tanggulun.
Junghuhn mencatat perjalanannya ke sekitar Padalarang dalam Uitstapje naar de Bosschen van de Gebergten Malabar, Wayang, en Tilu op Java (1841) dan Reizen door Java voornamelijk door Het Oostelijk Gedeelte van dit Eiland (1850). Dalam salah satu catatan perjalanannya, ia menceritakan pengalamannya menyeberangi Sungai Cisokan dan Citarum dan mendaki Pegunungan Kapur Rajamandala. Ia juga menyebut-nyebut Gunung Kencana, Masigit, Karang, dan Gunung Hawu.
Von Hochstetter mengunjungi Bandung pada 1857, sebagai bagian dari rangkaian Ekspedisi Novara 1857-1859. Dalam catatan perjalannya, Reise der österreichischen Fregatte Novara um die Erde in den Jahren 1857, 1858, 1859 unter den befehlen des Commodore B. von Wüllerstorf-Urbair, ia menyatakan sempat menelusuri Sungai Citarum melewati Curug Jompong, Sungai Cilanang, Gunung Guha, dan Sanghyang Tikoro.
Demikian pula Martin yang mengikuti jejak Junghuhn, Von Hochstetter, dan Verbeek. Pada 1910, ia berkunjung ke Bandung untuk melihat sendiri lapisan kaya fosil dari spesimen-spesimen yang dikumpulkan Junghuhn dan Verbeek dan mencatatnya dalam Vorläufiger Bericht über Geologische Forschungen auf Java. Di situ juga dia mencatat tentang pegunungan batu gamping dalam perjalanan dari Padalarang ke Cisitu saat berhenti di Tagog Apu.
Keberadaan batu kapur di sekitar Padalarang memang sangat menarik. Menurut penelitian ahli kebumian, hal tersebut mencerminkan jejak-jejak keberadaan laut dangkal pada 27 juta tahun yang lalu (T. Bachtiar dan Dewi Syafriani, Bandung Purba: Panduan Wisata Bumi, 2014: 11, 17) sekaligus fenomena kegunungapian Gunung Sunda sejak 500 ribu tahun yang lalu dan pembentukan Situ Hyang atau Danau Bandung Purba (Bachtiar dan Syafriani, 2014: 6, 9). Kedua penulis juga mengetengahkan kembali tulisan L. Van der Pijl perihal keragaman hayati di sekitar Karang Panganten, De Kalkflora van Padalarang (1933).
Jalur ke Padalarang
Kini mari beralih kepada pembangunan jalur kereta api di daerah Padalarang, termasuk stasiunnya. Namun, sebelum itu, agaknya soal nama tempatnya masih mengganjal. Dalam berita-berita pembangunan jalur Cianjur-Bandung sejak pertengahan abad ke-19 hingga 1884, namanya disebut Tjipadalarang, tetapi dalam RA 1883 dan 1884 namanya disebut Padalarang. Dari situ, saya duga Tjipadalarang adalah nama lama, sebelum akhirnya awalan Tji-nya dihilangkan, sehingga tinggallah Padalarang.
Ketika Commissie tot de vervoermiddelen (Komisi Transportasi) didirikan untuk menyelidiki kemungkinan pembangunan jalur kereta api di Jawa, daerah Padalarang termasuk daerah yang diselidiki. Anggota komisi Th. J. Stieltjes antara 19 Februari hingga 11 April 1862 melintasi pesisir Semarang, Pekalongan, Tegal, Cirebon, Majalengka, Karangsambung, Sumedang, Bandung dan Cianjur. Khusus untuk di Jawa Barat, komisi menugaskan Mayor de Seyff untuk memeriksa dan memetakan jalan dari Bogor ke sepanjang Cianjur, Plered, dan Cikao, dari Plered ke Cipadalarang, dari Bogor ke Cibarusah dan Ciriu selama 1 September 1861 hingga 1 April 1862 (Nederlandsche staatscourant, 15 Juli 1862).
Dengan turunnya dekrit 6 Agustus 1863, de Seyff yang sudah naik pangkat menjadi letnan kolonel tetap mengepalai penyelidikan di Jawa Barat. Pelaksanaan leveling (waterpassinger) jalur kereta api diserahkan kepada adpirant-ingenieur Metzger, dibantu kadet militer. Antara September-Desember 1863, pelaksana leveling ke daerah Padalarang adalah opzigter Biijetto. Ia memulainya dari Sungai Cisokan, kemudian ke arah Padalarang dan Bandung (De Oostpost, 2 Februari 1864).
Setelah lama tersendat-sendat, seksi Cisokan-Padalarang baru selesai diukur dan dipetakan lagi pada 1880 (Agus Mulyana, Sejarah Kereta Api di Priangan, 2017: 80-83). Padahal pada saat yang bersamaan tengah berkecamuk wabah pes kerbau dan sapi. Dalam Java-bode (9 Juni 1880) antara lain diwartakan bahwa di Tjantilan (Distrik Rajamandala, Afdeling Bandung) ada seekor kerbau yang mati karena wabah. Lalu 400 kerbau pada jalur transportasi ke Cikao diperiksa dan beberapa di antaranya diduga terkena wabah.
Wabah tersebut dilaporkan pula R. A. A. Marta Nagara dalam memoarnya (Babad Raden Adipati Aria Marta Nagara, 1923: 27-28). Katanya kejadian tersebut bermula pada 1879 dari Ujung Kulon. Ia menulis, “Di sakoeliah Tanah Djawa koelon, Tji-rebon, Priangan, Karawang, Batawi, Banten kakeunaan baja gede katjida nja eta kadatangan sasalad moending djeung sapi” (Di seluruh tanah Jawa Barat, Cirebon, Priangan, Karawang, Jakarta, Banten terkena bahaya besar yaitu terdampak wabah kerbau dan sapi).
Saat tiba di Kandangwesi, Pirangan sebelah barat, datang aturan untuk membuat pagar pembatas, agar wabah tersebut tidak terus merembet. Oleh karena itu, kata Marta Nagara, “Mimiti eta pager ti moeara Tjikandang district Kandangwesi, mapaj ngaler ngetan ka Radjamandala, Sirap, Wanajasa, Dermajoe, toengtoengna di moeara Tjimanoek koeloneun kota Dermajoe. Eta pagér pandjangna 180 paal” (Pagar tersebut bermula dari muara Sungai Cikandang, Distrik Kandangwesi, lalu dibuat ke arah selatan ke Rajamandala, Sirap, Wanayasa, Indramayu, hingga berujung di muara Sungai Cimanuk, sebelah barat kota Indramayu. Pagar tersebut panjangnya mencapai 180 pal).
Namun, timbulnya wabah yang menyendat pengangkutan kopi dari Padalarang ke gudang kopi Cikao tidak mempengaruhi pembangunan jalur kereta api menuju Padalarang. Buktinya pekerjaannya terus berlanjut. Dalam De locomotief (28 Agustus 1883) diberitakan bahwa jalur Cianjur-Bandung ke Cisokan sudah selesai.
Pertama Kali Dilalui Kereta Api
Jalur Cianjur-Bandung diresmikan pada Jumat, 16 Mei 1884. Hari itu kereta perayaannya diberangkatkan dari Stasiun Bogor pada pukul 06.30. Ketika tiba di Padalarang, yang masih berupa halte kecil, kereta berhenti karena ada orang-orang yang menghiasi dulu kereta api dengan tumbuhan hijau dan bendera-bendera. Kereta tiba di Stasiun Bandung pada pukul 12.30 (Java-bode dan Bataviaasch Handelsblad, 16 Mei 1884).
Apakah saat persemian jalur, bangunan Stasiun Padalarang sudah selesai? Ternyata menurut Bataviaasch handelsblad (5 Juni 1884), bangunan untuk Stasiun Padalarang dan Cimahi baru selesai. Apa artinya? Saya duga, ketika jalur Cianjur-Bandung diresmikan, Stasiun Padalarang belumlah selesai, melainkan masih dalam tahap pembangunan.
Layanan umum pada jalur Cianjur-Bandung baru dibuka pada 17 Mei 1884, atau sehari setelah diresmikan. Dalam Bataviasch Handelsblad dan Java-bode (10 Mei 1884) disebutkan layanan akan dimulai pada 17 Mei 1884 dan berawal dari Cianjur pada pukul 06.30 dan 12.45. Dari Cianjur, kereta api akan melintas melalui Stasiun Padalarang pada pukul 08.31 dan 14.39. Bila dikaitkan dengan kenyataan bahwa baru pada awal Juni 1884, Stasiun Padalarang selesai dibangun, ini berarti orang-orang di sekitar Kecamatan Padalarang baru dapat menggunakan layanan kereta api pada Juni 1884.
Selama tujuh bulan layanan berjalanan, di sekitar Padalarang sempat terjadi kecelakaan kereta api. Tepatnya pada 13 Desember 1884. Dari berita-berita Bataviaasch Handelsblad dan Java-bode (15 Desember 1884) dan Java-bode (24 Desember 1884) diketahui bahwa pada malam tanggal 13 ke 14 Desember 1884, kereta api yang membawa tiang besi untuk telegraf dari Padalarang ke Cipatat tergelincir. Dari sembilan orang kuli di dalam kereta, tiga di antaranya meninggal dunia, sementara tiga lainnya luka-luka. Dua kuli yang loncat dari gerbong, satu di antaranya meninggal. Jenazah kuli dimakamkan di dekat Cipatat. Saya pikir, ini merupakan kecelakaan pertama yang terjadi pada jalur Cianjur-Bandung.
Berapa banyak orang naik kereta api ke Stasiun Padalarang selama semester pertama setelah jalur diresmikan? Menurut Verslag van den Dienst der Siaatsspoorwegen op Java over het Jaar 1884 (1885) (dalam Hardjasaputra, 2002: 214), jumlah penumpang yang berangkat dari Bandung menuju Padalarang pada 1884 sebanyak 5.226 orang, atau bila saya hitung rata-rata sejak Juni hingga Desember 1884 sebanyak 871 orang per bulannya.
Di sisi lain, dalam perkembangannya kemudian, bangunan Stasiun Padalarang mengalami perombakan. Dalam Spoorwegstations op Java (1993: 128) karya Michiel van Ballegoijen de Jong dan Kereta Api di Priangan Tempo Doeloe (2014: 45) karya Sudarsono Katam disebutkan bahwa stasiun tersebut mengalami perombakan pada 1902. Potret pembangunannya dari koleksi Tropen Museum diberi keterangan antara 1890-1910. Saya sendiri cenderung menganggap potret tersebut dibuat sekitar 1902 atau 1901.
Perombakan bangunan Stasiun Padalarang itu jelas dilatarbelakangi upaya peningkatan layanan kereta api ke dan dari Padalarang. Sejak 2 Mei 1906, Padalarang juga jadi tujuan akhir kereta api jurusan Purwakarta-Padalarang, sekaligus dilalui kereta jurusan Surabaya-Batavia melalui Karawang-Padalarang (Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie, vierde deel, 1921: 72-73).
Dengan meningkatnya layanan kereta api ke dan dari serta melalui Padalarang, S. A. Reitsma (Van Stockums travellers handbook for the Dutch East Indies, 1930: 179, 191-192) menyatakan, meski Stasiun Padalarang sangat kecil, tetapi mempunyai peran besar. Karena di sekitarnya ada pabrik kertas yang besar dan menjadi tempat digantikannya lokomotif gunung dengan lokomotif untuk jalur datar. Di stasiun ini pula, kereta api jurusan Cianjur-Bandung dan Batavia-Bandung bertemu. Reitsma bahkan mengatakan bahwa dengan pembukaan jalur Batavia-Cikampek-Purwakarta-Bandung pada 1906 menyebabkan pesatnya pertumbuhan ekonomi dan jumlah populasi di Bandung.
Tempat Memelihara Kuda Militer
Sejak 1902, di sekitar Padalarang berdiri pusat pemeliharaan kuda untuk pasukan kavaleri atau Remonte Depot. Riwayat pendiriannya dapat dibaca dari Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie, derde deel, (1921: 436, 594-595). Di situ disebutkan bahwa mulanya Remonte Depot didirikan di Purabaya, sebuah kampung di Distrik Jampang Tengah, Afdeling Sukabumi, pada 1888. Luasnya mencapai 646 bau. Kemudian pada 1902, pusat pemeliharaan dan pendidikan kuda militer tersebut dipindahkan ke Padalarang.
Antara 1888-1902, biasanya kalangan militer kolonial memelihara kuda asli Indonesia, terutama dari jenis sandelhout dan Makassar. Bahkan pasukan artileri menggunakan bagal sejak 1863. Saat Remonte Depot didirikan di Purabaya, di sana dipelihara kuda-kuda pribumi berumur 2 hingga 3 tahun, dan saat berumur 4-5 tahun digunakan sebagai hewan tunggangan pasukan kavaleri atau artileri gunung. Setelah dipindahkan ke Padalarang, terbit keputusan pemerintah nomor 7 tanggal 27 Agustus 1905 yang mengatur peningkatan ras kuda pribumi, kuda pembiak untuk dimasukkan ke Remonte Depot.
Selanjutnya pada 1908 dengan terbitnya dekrit dalam Staatsblad nomor 240, Remonte Depot dimasukkan ke dalam formasi tentara kolonial dan pada 1912 ditetapkan bahwa institusi tersebut harus dikepalai oleh perwira kavaleri tetapi ditempatkan di bawah Departemen Pertanian, dengan sebutan Stoeterij en remonte-depót te Padalarang.
Kepindahan pusat pemeliharaan kuda ke Padalarang juga menandai perubahan jenis kuda yang digunakan untuk kepentingan kavaleri. Pada 1902, Remonte Depot mulai mengusahakan jenis-jenis kuda dari luar negeri dan sejak 1905 pasukan artileri gunung menggunakan ras kuda dari luar negeri, untuk menggantikan ras kuda pribumi dan bagal. Pernah dicoba ras Arab pada 1906, tapi ternyata kuda tersebut dianggap jelek untuk kepentingan kavaleri sehingga pilihan jatuh kepada kuda Australia. Itu sebabnya pada 1907, pasukan kavaleri sepenuhnya menggunakan kuda Australia, sementara artileri lapangan mulai menggunakannya sejak 1909. Kuda pribumi kemudian hanya berfungsi sebagai pengangkut amunisi pada pasukan artileri dan hewan pengangkut ke stasiun kereta api.
Remonte Depot tetap bertahan hingga sekarang. Namanya menjadi Pusat Pendidikan Kavaleri (Pusdikkav) di Jalan Purabaya, Padalarang. Nama Purabaya tentu saja mengambil nama Remonte Depot pertama yang didirikan di Sukabumi.
Pabrik Kertas Padalarang
Sebagaimana yang dikatakan S. A. Reitsma, meski Padalarang adalah stasiun kecil, tetapi mempunyai peran besar, karena di sekitarnya ada pabrik kertas yang terbilang besar. Itulah N.V. Papierfabriek “Padalarang”.
Secara ringkas, sejarah pendirian pabrik kertas ini dapat dibaca dari karya Henk Voorn, Het papier in voormalig Nederlands Oost-lndie (1978) (dalam tulisan Russel Jones, “European and Asian papers in Malay manuscripts: A provisional assessment”, BKI 149 no. 3, 1993: 483). Menurut Voorn, pabrik kertas di Padalarang didirikan pada 22 Juli 1921 dan dibuka secara resmi oleh gubernur jenderal Hindia Belanda pada 4 Mei 1923. Menjelang Desember 1923, produksi kertas yang dihasilkan oleh N.V. Papierfabriek “Padalarang” sudah mencapai kapasitas penuh.
Secara rinci, perkembangan Pabrik Kertas Padalarang dapat diikuti dari koran-koran berbahasa Belanda. Rencana pendiriannya sudah muncul pada tahun 1920 (De locomotief, 25 November 1920). Dalam De Sumatra post (29 November 1920) disebutkan bahwa yang memiliki inisiatif pendirian pabrik tersebut adalah N.V. Papierfabriek “Gelderland” di Nijmegen, Belanda. Untuk mendirikan pabrik kertas pertama di Hindia Belanda tersebut, delegasi dari perusahaan mengadakan perjalanan ke Bandung dan mendapati bahwa yang cocok untuk tempat pendirian pabriknya adalah di Padalarang.
Menurut De Preanger-bode (16 Juni 1921), untuk operasional pabrik di Padalarang, Papierfabriek “Gelderland” bekerja sama dengan Firma Ruper and Colenbrander. Bahan yang digunakan membuat kertas di Padalarang adalah jerami padi. Uji cobanya sudah dilakukan di Belanda dan menghasilkan kertas putih yang jelas. Bila pelbagai potensi yang menjadi masalah sudah tertangani, pabrik tersebut akan dioperasikan penuh pada 1923. Pabrik tersebut akan mengadakan kontrak pengadaan kertas bagi Landsdrukkerij (percetakan milik pemerintah Hindia Belanda) dan Topografische inrichting (jawatan tofografi).
Akhirnya, memang N.V. Papierfabriek “Padalarang” diresmikan oleh gubernur jenderal Hindia Belanda pada 4 Mei 1923. Kedatangannya ke Padalarang sudah diberitakan De Preanger-bode (25 April 1923), sekaligus termasuk dalam rangkaian peresmian Radio Malabar pada 5 Mei 1923. Sebagaimana yang direncanakan, pada Jumat siang, 4 Mei 1923, gubernur jenderal berkunjung ke pabrik kertas Padalarang. Saat itu, sebuah kotak berisi kertas hasil produksi pabrik tersebut dibagikan kepada hadirin, sebagai tanda mata. Acara minum teh disambung mengunjungi pabrik hingga pukul 18.30. Gubernur jenderal ditemani residen Priangan, bupati Bandung, sekrertaris umum, dan para ajudan (De Nieuwe Vorstenlanden, 5 Mei 1923).
Selain kunjungan itu, yang menarik tentu saja tanggapan asisten wedana alias Camat Padalarang R. Ardiwilaga. Dalam suratnya yang dimuat dalam De Preanger-bode (5 September 1922), ia menyatakan bahwa pendirian pabrik kertas, pengoperasian rel ganda Padalarang-Bandung, dan pembangunan perumahan baru serta tempat tinggal orang-orang Eropa, menyebabkan perluasan Padalarang berlangsung secara kolosal (“kolossale uitbreiding van Padalarang”). Akibatnya, penduduk Padalarang jadi bertambah banyak, termasuk para kuli yang tinggalnya berpindah-pindah, sehingga diperlukan penambahan tenaga pengamanan.
Akhirnya, saya memang sepakat dengan Reitsma. Penambahan jalur kereta api, termasuk dari dan ke Padalarang, menyebabkan perubahan yang sangat signifikan.