• Kolom
  • SEJARAH KERETA API DI BANDUNG RAYA (4): Stasiun Cimahi

SEJARAH KERETA API DI BANDUNG RAYA (4): Stasiun Cimahi

Keberadaan Stasiun Cimahi, yang beroperasi sejak pertengahan tahun 1884, berdampak besar pada pertumbuhan kota. Terutama dalam bidang militer dan niaga.

Atep Kurnia

Peminat literasi dan budaya Sunda

Suasana Stasiun Cimahi yang terletak di Baros, Kecamatan Cimahi Tengah, Kota Cimahi, masih di tengah pandemi Covid-19, Senin (16/8/2021). Pembangunan dan pengembangan stasiun ini tidak lepas dari penetapan Cimahi sebagai pusat militer sejak akhir abad ke-19. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

29 Agustus 2021


BandungBergerak.id - Baru dua kali saya menyambangi Stasiun Cimahi. Sebelum Covid-19 ditetapkan sebagai pandemi di tanah air, tepatnya pada 12 Januari 2020, saya sempat menerima undangan rapat Forum Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Jawa Barat di sekretariat TBM Bina Swakarya yang beralamat di Blok Sakola, Desa Batujajar Timur, Kabupaten Bandung Barat.

Untuk bertandang ke Batujajar, saya memilih naik kereta api dari Cicalengka dan membuat janji dengan Hady Prastya, seorang kawan. Ia saya mohon untuk dapat menjemput di Stasiun Cimahi dan mengantar ke lokasi. Itulah kali pertama saya menginjakkan kaki di Stasiun Cimahi, setelah kerap kali hanya melihat dari atas kereta api, baik saat berangkat maupun pulang dari Jakarta.

Dengan berkendara motor yang dikemudikan Hady pada Minggu pagi itu, saya menikmati perjalanan pertama mengenal daerah Cimahi. Sepanjang perjalanan, saya terkesan dengan banyaknya bangunan militer. Bangunan-bangunan yang bercatat hijau tua dan muda. Dalam hati sempat bertanya-tanya, apakah perkembangan kota ini memang bertaut dengan militer sejak dulu kala?

Berbekal pertanyaan itu, dalam tulisan kali ini, saya hendak melihat perkembangan Kota Cimahi dengan berangkat dari keberadaan jalur kereta api di Bandung Raya, khususnya yang mewujud dalam bentuk stasiunnya. Karena pada saya sudah tersedia pustaka sejarah militer di tanah air, ingin juga saya menautkan perkembangan kota itu dengan penetapannya sebagai pusat militer sejak akhir abad ke-19.

Sebelum lebih jauh, mari kita lihat cakupan wilayah Cimahi sebelum dan sesudah adanya jalur kereta api. Merujuk laporan tahunan kolonial Regeerings Almanak voor Nederlandsch Indie 1884 (RA, tweede gedeelte, 1884), Cimahi belum disebut-sebut sebagai wilayah administratif. Pada tahun 1884, Cimahi setara dengan desa yang berada di Kecamatan Leuwigajah, Kewedanaan Cilokotot dan Distrik Cilokotot, Kabupaten Bandung.

Namun, dalam perkembangannya, sejak terbit Ordonansi No. 154, 1 April 1901, mengenai “Nadere verdeeling in vier onderdistricten van het district Tjilokotot”, mulai 1 Mei 1901, Cimahi diangkat menjadi salah satu onderdistrik atau kecamatan di lingkungan Distrik Cilokotot. Menurut aturan tersebut, Distrik Cilokotot yang semula terdiri atas Onderdistrik Gadobangkong, Padalarang, Leuwidadap, dan Leuwigajah berubah menjadi Cimahi, Batujajar, Padalarang, dan Cisarua. Sebagai tambahan, Cimahi langsung diperintah oleh wedana dibantu oleh asisten wedana atau camat (Staatsblad van Nederlandsch-Indie voor 1901).

Saya pikir, naiknya Cimahi menjadi kecamatan sangat terkait dengan statusnya sebagai pusat militer sejak beberapa tahun sebelum turunnya ordonansi. Bahkan kemudian, mulai 1914, nama Distrik Cilokot digantikan dengan nama Distrik Cimahi. Sebelumnya, dari penelusuran RA untuk tahun 1901 hingga 1913, nama Distrik Cilokotot diberi keterangan tambahan sebagai Cimahi, tetapi masih dalam tanda kurung. Namun sejak 1914, Cilokotot sebagai distrik dihapuskan dan diganti dengan Cimahi.

Kembali ke Stasiun Cimahi. Kini stasiun yang ada pada ketinggian +723 meter di atas permukaan air laut itu beralamat di Kelurahan Baros, Kecamatan Cimahi Tengah, Kota Cimahi. Stasiun yang termasuk kelas besar tipe C ini masuk dalam Daerah Operasi (Daop) II Bandung (id.wikipedia.org).

Suasana Stasiun Cimahi, yang mulanya berupa halte, antara tahun 1895-1907. Stasiun ini berdiri sejak Mei 1884, meski pengelolaannya baru diselenggarakan pada Juli 1884. (Sumber foto: KITLV 1405853)
Suasana Stasiun Cimahi, yang mulanya berupa halte, antara tahun 1895-1907. Stasiun ini berdiri sejak Mei 1884, meski pengelolaannya baru diselenggarakan pada Juli 1884. (Sumber foto: KITLV 1405853)

Halte Naik Kelas Menjadi Stasiun

Pada 8 Mei 1884, dari Bogor, kepala eksplotasi (de chef der exploitatie) jalur kereta api sebelah barat (weterlijnen) mengumumkan pembukaan secara resmi jalur kereta api Cianjur-Bandung yang direncanakan berlangsung pada 17 Mei 1884, disusul pembukaan jalur Bandung-Cicalengka. Dalam pengumuman yang dimuat antara lain dalam Bataviaasch Handelsblad (BH) dan Java-Bode (JB) edisi 10-12 Mei 1884 itu, Stasiun Cimahi sudah disebutkan, tetapi masih berstatus halte.

Dengan demikian, saya kira Stasiun Cimahi sudah ada sejak Mei 1884 itu, meski dalam pengelolaannya baru diselenggarakan kemudian, yakni pada Juli 1884 atau dua bulan setelah peresmian jalur Cianjur-Bandung atau dua bulan sebelum peresmian jalur Bandung-Cicalengka. Ini terbukti dari keputusan yang terbaca dalam JB edisi 12 Juli 1884 yang menyebutkan bahwa Halte Cimahi dikelola oleh seorang onderkomis kelas satu.

Para pegawai awal yang mengelola Halte Cimahi antara lain J. P. Goernat, komis kelas tiga yang dialihkan pada 1888 (JB dan Bataviaasch Nieuwsblad, BN, 12 April 1888). Orang pribumi juga sudah dilibatkan sejak awal, meski dengan jabatan rendah. Misalnya, Oedjoeng (Ujang?) yang menjadi kerani pribumi kelas satu (BN, 17 Agustus 1889; dan JB, 19 Agustus 1889), kerani stasiun kelas tiga Abdoel (De Locomotief, DL, 16 Desember 1890), dan kerani kelas tiga Kartosoediro (JB, 29 Juni 1894). Kepala Halte Cimahi hingga awal Maret 1902 tercatat bernama J. E. Swartz (De Preanger-bode, AID, 10 Maret 1902).

Kemudian, sejak 1 Maret 1903, Halte Cimahi naik kelas menjadi stasiun kelas tiga, sama dengan Cicalengka. Sementara Cikudapateuh, yang juga menjadi pusat militer kolonial, diangkat dari stopplaats menjadi halte (AID, 28 Februari 1903, dan BN, 2 Maret 1903). Berkaitan dengan status baru itu, maka gedungnya direncanakan dibangun kembali (AID, 19 Mei 1903). Konon bila bangunan baru selesai, kereta api ke Gombong yang biasanya diberangkatkan dari Bandung akan dialihkan ke Stasiun Cimahi (AID, 26 April 1904).

Pada awal Februari 1905 diberitakan bahwa stasiun baru Cimahi akan selesai bulan Maret 1905. Yang menarik, konon, WC pertama yang dipasang di stasiun kereta api Hindia Belanda ada di Stasiun Cimahi (Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indie, HNDNI, 2 Februari 1905). Benar seperti yang sudah diwartakan, Stasiun Cimahi yang baru diresmikan pada 16 Maret 1905. Meskipun tanpa disertai dengan pesta-pesta atau perayaan (AID, 16 Maret 1905).

Sembilan tahun selanjutnya, pada 1914, terlihat beberapa perkembangan menarik yang terkait Stasiun Cimahi. Pada 9 Maret 1914, satu tim telegrafi radio akan diberangkatkan ke Cilacap untuk mengikuti pelatihan untuk nantinya akan membangun koneksi ke Stasiun Cimahi (AID, 8 Maret 1914). Dua bulan kemudian jaringan telepon sudah sepenuhnya masuk ke Cimahi. Telepon yang lama di sekitar Groote Postweg, Alun-alun Cimahi, akan segera hilang. Sebagai gantinya, tiang-tiang kabel yang direntangkan dari situ dan kabel bawah tanah akan dipasang ke menara telepon baru di pusat militer Cimahi, dekat kantor pos (AID, 7 Mei 1914).

Dua perkembangan tersebut jelas mempengaruhi pola komunikasi di Cimahi dan barangkali mencerminkan kondisi umum komunikasi di Bandung saat itu. Namun, ternyata bukan hanya soal komunikasi yang meningkat, transportasi juga demikian. Dalam AID (2 Juni 1919) dikabarkan, sejak Juli 1919 akan dibuka otobus jurusan Stasiun Cimahi-Cisarua, dengan perhentian di Cipageran dan Paratag, tempat pesanggrahan, dan tujuan akhirnya alun-alun lama Cisarua (AID, 2 Juni 1919).

Satu lagi perkembangan yang menarik adalah stasiun radio. Stasiun tersebut pada 11 dan 12 Mei 1927 sudah dapat mengudara antara pukul 05.00 hingga 19.00. Pengeras suaranya terdengar jelas hingga jarak 15 meter. Namun lebih dari itu, suara dari Cimahi itu bahkan sudah terdengar di bagian radio Janssen dan Philips Eindhoven, Belanda. Konon stasiun radio tersebut dimaksudkan untuk penyiaran suara Menteri Koningsberger ke Hindia Belanda dan Hindia Barat (De Sumatra Post, 13 Mei 1927).

Baca Juga: SEJARAH KERETA API DI BANDUNG RAYA (3): Stasiun Gadobangkong
SEJARAH KERETA API DI BANDUNG RAYA (2): Stasiun Padalarang
SEJARAH KERETA API DI BANDUNG RAYA (1): Dari Padalarang hingga Nagreg

Perkebunan, Alamat Penjualan, dan Pecinan

Keberadaan Stasiun Cimahi memungkinkan perkebunan-perkebunan, terutama di sekitar Cisarua yang berdekatan dengan Lembang, untuk memasarkan hasil produksinya. Selain perkebunan, orang-orang yang berbisnis lainnya pun kerap menggunakan Stasiun Cimahi sebagai alamat dan acuannya.

Perkebunan milik Bruining menawarkan bibit Cirebon berwarna hitam serta sereh yang dapat dibayar di Stasiun Cimahi (AID, 24 April 1902). Hal yang sama dilakukan Van Amstel & Co., untuk penyediaan bulan Agustus 1903 (DL, 15 Mei 1903). Sementara H. Poolman, pemilik perkebunan bunga Bloemisterij Tjisaroewa, menyediakan bebungaan segar dari pegunungan di Stasiun Cimahi. Antara lain ia menjual bunga Crinum Powellii, Chrysanthemums, Margrieten, Oanzenbloemen, dan Richardia. Ia bersedia mengantarkan bunga-bunga dalam keranjang ke stasiun (AID, 29 Juli 1917 dan 29 Juni 1918).

Hasil bumi lainnya yang dapat dipesan dan dibeli di Stasiun Cimahi adalah kentang. Hasil tani ini berasal dari Cisarua, dan yang bertindak sebagai penyedianya adalah Landbouwonderneming Dirkshoeve (HNDNI, 21 Mei 1926 dan DL, 23 Juni 1927) danVeeteelt- en Landbouw-Onderneming Dairy Herd (HNDNI, 1 Agustus 1927 dan BN, 11 April 1928).

Hal-hal lainnya yang memanfaatkan Stasiun Cimahi sebagai alamat dan acuan bisnisnya adalah penjualan barang, pelayanan jasa dan pelelangan properti. Untuk penjualan barang terlihat dari pengumuman E. A. von Winning yang beralamat di Merdika Baroe, Bandung, tetapi menyediakan pula layanan di Stasiun Cimahi. Dalam AID (1 April 1901) disebutkan, ia menjual anggur merah impor hasil produksi Henri Byon dan bila membelinya di Stasiun Cimahi dikenakan biaya tambahan sebesar 0,5 gulden.

Untuk layanan jasa, misalnya, ada iklan penyewaan pavilun bagi perempuan, yang jaraknya sepuluh menit berkendara dari Stasiun Cimahi (AID, 18 Oktober 1902) dan paviliun di sekitar Stasiun Cimahi (AID, 17 Desember 1921). Sementara dokter bedah yang merangkap sebagai dokter untuk urusan perempuan O. J. Lumkeman membuka praktik di Paviliun A37, di seberang Stasiun Cimahi (AID, 15 Februari 1918).

Penjualan dan pelelangan properti juga kerap menggunakan patokan Stasiun Cimahi. Dalam HNDNI (13 Agustus 1904) diberitakan tentang orang yang akan menjual lahan pertanian seluas sekitar 20 bau, yang terletak 4 pal dari Stasiun Cimahi. Demikian pula pelelangan tanah dan gedung pada Sabtu, 19 Februari 1910, stasiun itu tetap dijadikan sebagai pedoman (AID, 11 Februari 1910).

Hal menarik lainnya yang berkaitan dengan bisnis di Cimahi adalah penetapan status pecinan bagi kalangan Tionghoa yang tinggal di onderdistrik tersebut. Keputusan ini tertuang dalam Staatsblad No. 313 “Bepaling dat te Tjimahi eene wijk voor Chineezen zal zijn” dan diterbitkan di Cipanas, Bogor, pada 17 Juli 1899. Di dalamnya antara lain disebutkan bahwa di Cimahi, yang termasuk Distrik Cilokotot, Kabupaten Bandung, akan ditentukan sebuah kompleks permukiman bagi kalangan Tionghoa (Staatsblad van Nederlandsch-Indie? voor 1899).

Lalu apa kaitannya dengan bisnis di Cimahi? Saat saya melakukan penelusuran dari RA antara tahun 1890 hingga 1902, saya mendapati nama Lim Saij yang mengusahakan penggilingan gabah dan singkong di daerah Cibabat. Mula-mula, antara 1890-1894 ia hanya mengusahakan penggilingan gabah, tetapi sejak 1895 bisnisnya bertambah dengan penggilingan singkong. Saya kira, kemunculan Lim Saij atau Lim Say sebagai pengusaha di Cibabat erat kaitannya dengan ditetapkannya Cimahi sebagai salah satu pecinan di Keresidenan Priangan.

Foto para prajurit militer kolonial (KNIL) di Cimahi, sekitar tahun 1900. (Sumber foto: KITLV 27245)
Foto para prajurit militer kolonial (KNIL) di Cimahi, sekitar tahun 1900. (Sumber foto: KITLV 27245)

Kota Baru Militer

Aspek lainnya yang sangat penting terkait Stasiun Cimahi tentu saja perkembangan militer di Hindia Belanda. Asal-usul mengenai kehadiran pusat militer di Cimahi itu antara lain dapat disimak dari tulisan yang dimuat dalam Militair Weekblad, jaargang 19, No. 16, 20 April 1899.

Dalam artikel tersebut diterangkan bahwa sejak 1881 sudah diterima wacana untuk memindahkan pasukan militer dari kota-kota pesisir yang kondisi kesehatannya buruk, ke daerah pegunungan di pedalaman. Sejak itu, kompleks militer kemudian dipindahkan ke Magelang (Keresidenan Kedu), Malang (Keresidenan Pasuruan), dan sejak 1894 mulai dibangun barak militer di Cimahi, 9 kilometer di sebelah barat Bandung. Pembangunan kompleks di Cimahi dimaksudkan sebagai tempat bermarkasnya dua setengah batalion infantri, pasukan artileri gunung, penjara militer, dan rumah sakit militer. Hingga April 1899, dilaporkan bangunan untuk satu dan setengah batalion infantri sudah rampung.

Lalu persisnya sejak kapan kompleks militer di Cimahi mulai dirintis? Soal ini sudah diutarakan oleh perwira zeni yang melakukan survei awal bahkan terlibat dalam pembangunan kompleks militer di Cimahi, yaitu Kapten J. C. H. Fischer. Dalam Tijdschrift Koninklijk Instituut van Ingenieurs. Afdeeling Nederlandsch-Indië 1898-1899, Fischer menulis makalah “Het Militaire Etablissement te Tjimahi”. Sayang sekali, saya tidak dapat menemukan tulisan lengkapnya, sehingga tidak dapat merujuk langsung.

Namun, saya beruntung mendapatkan buku Fischer yang berjudul Maatregelen tegen Malaria (1917). Dalam buku itu, ia merujuk kepada tulisan yang ditulisnya sendiri (1898-1899) mengenai awal pembangunan kompleks militer di Cimahi. Nah, dari situ saya mendapat keterangan bahwa dia datang pertama kali ke Cimahi pada April 1894. Ketika itu, dia mendapati keadaan lahan untuk bangunan militer kebanyakannya masih berupa persawahan yang tergenang air. Pembangunan kompleksnya, menurut Fischer, terjadi dalam rentang antara 1894-1898. Hingga April 1897, timnya juga membuat 50 sumur untuk keperluan air minum dan lain-lain. Pengangkatan Fischer sebagai anggota tim pembangun kompleks militer di Cimahi tercatat dalam DL edisi 21 Maret 1894.

Lalu bagaimana perkembangan pembangunannya? Dalam DL (24 Juli 1895) dan BH (29 Juli 1895) disebutkan pembangunan penjara militer berjalan lancar sehingga Maret atau April 1896, bangunan tersebut dapat diperkirakan sudah siap. Barak untuk setengah batalion di samping Halte Cimahi masih dibangun, bersebelahan dengan penjara dan barak perwira. Setelah itu, barulah akan digarap barak untuk batalion infantri ke-6 dan ke-16, pasukan artileri, dan korps zeni, dua barak perwira, dan rumah sakit.

Namun, di balik pembangunan yang massif itu, ada pihak yang merasa prihatin. Menurut De waarneming Directeur der Gouvernements kina-onderneming P. van Leersum (“Bericht omtrent de Gonvernements kina-onderneming oyer het 2e kwartaal 1895”, dalam Nederlandsch Tijdschrift voor Pharmacie, Chemie en Toxicologie, jrg 7, 1895: 333), pembangunan barak-barak di Cimahi menyedot tenaga kerja yang banyak sehingga berpengaruh terhadap performa hasil kina. Katanya, akibat panen kopi, proses pengolahan sawah dan pekerjaan untuk barak baru di Cimahi, kebutuhan pada para pekerja baik untuk perkebunan pemerintah maupun swasta tidak saja sangat jelek, melainkan buruh harian juga sangat berlebihan, sehingga mereka jadi mudah meninggalkan tempat kerja, karena lapangan kerja sangat terbuka.

Dengan tren pembangunan itu, tidak heran kemudian muncul istilah “kota baru” (een nieuw stad) untuk Cimahi. Dalam JB (4 September 1896) dan AID (21 September 1896), seorang penulis mengungkapkan Desa Cimahi dalam beberapa hari akan meningkat menjadi kota garnisun. Tentara Eropa akan sangat nyaman dibandingkan dengan tinggal di benteng Prins van Oranje, Semarang, yang sangat lembab dan menjadi sarang berbagai penyakit. Namun, di sisi lain, harus pula diimbangi pembangunan perumahan dan sekolah untuk mendidik anak-anak tentara. Awal September 1896 itu, sudah ada delapan anak di Cimahi yang seharusnya masuk sekolah dasar. Sementara kalau ke Bandung terlalu jauh. Bahkan pada 5 September 1896, akan datang lagi pasukan bangsa Ambon yang membawa serta anak-anaknya yang sudah cukup umur masuk sekolah.

Soal pengadaan kereta api lokal Cimahi-Bandung pun dipertanyakan. Kata penulis, apakah jawatan kereta api sudah menyediakan kereta lokal bolak-balik Bandung-Cimahi saat nanti tanggal 15 September garnisun ditempatkan di Cimahi? Katanya, bisa saja untuk dipungut karcis 5 sen dari pribumi, 10 sen dari kalangan Tionghoa, dan 25 sen dari orang Eropa. Dengan catatan, biaya pembangunan jalurnya nol, eksploitasi kereta lokalnya dapat dibilang sangat kecil, tetapi akan berdampak besar. Stasiunnya dapat diletakkan di tengah-tengah kompleks militer.

Keinginan tersebut memang terwujud. Karena terbukti hingga tahun 1900, ada dua kereta lokal yang melayani jalur Padalarang-Cimahi dan Bandung-Cimahi. Jalur Padalarang-Cimahi melalui Padalarang-Gadobangkong-Cimahi, untuk Bandung-Cimahi hanya antara dua stasiun itu (AID, 2 Agustus 1900). Pada 1914, pihak militer di Cimahi juga meminta kepada jawatan kereta api untuk mengadakan kereta malam Bandung-Cimahi dua kali seminggu. Utamanya bagi mereka yang menonton film yang diputar malam hari di Bandung, dapat kembali malam itu juga (AID, 30 Oktober 1914).

Pertautan kalangan militer di Cimahi dengan jawatan kereta api, khususnya dengan Stasiun Cimahi, tentu saja masih banyak. Untuk mengangkut tentara yang berdinas atau latihan di luar Cimahi, sebagai tempat yang dijadikan acuan bagi tentara yang pensiun dan memutuskan untuk melelang harta bendanya, juga sebagai tempat perpisahan atau pelepasan bagi tentara yang memasuki purnatugas. Semuanya berkaitan dan dilakukan di Stasiun Cimahi.

Meski baru dua kali menyambangi Stasiun Cimahi, dalam perjalanan ke dan dari Batujajar, saya merasa menjadi kaya informasi setelah menelusuri pelbagai pustaka. Saya merasa puas, sepuas menikmati berbagai hidangan ikan yang disajikan Kiki Ginanjar, pengelola TBM Bhina Swakarya, saat diselenggarakannya rapat Forum TBM Jawa Barat lebih dari setahun lalu itu. 

Editor: Redaksi

COMMENTS

//