SEJARAH KERETA API DI BANDUNG RAYA (8): Stasiun Bandung (1)
Pembukaan jalur kereta api Cianjur-Bandung pada 17 Mei 1884 disambut pesta meriah. Stasiun Bandung jadi pusat transportasi kereta api jalur barat 10 tahun kemudian.
Atep Kurnia
Peminat literasi dan budaya Sunda
27 September 2021
BandungBergerak.id - Tidak terhitung sudah berapa banyak saya datang dan pergi ke dan dari Stasiun Bandung. Namun, dalam kehidupan saya, barangkali periode paling kerap menyambangi stasiun ini adalah saat mulai tergila-gila berbelanja buku dan pustaka lainnya, yakni antara tahun 1998 hingga 2006. Pada periode tersebut saya bekerja di pabrik tekstil dan sudah punya pendapatan. Dapat dibilang bila sedang dapat giliran kerja malam, kerap kali saya pergi ke lapak-lapak buku yang diakses dari Stasiun Bandung.
Tempat perhentian yang paling sering saya kunjungi ini termasuk salah satu paling awal punya status stasiun, selain Stasiun Cicalengka. Sejak diresmikannya jalur kereta api Cianjur-Bandung pada Mei 1884 dan Bandung-Cicalengka pada September 1884, stasiun-stasiun lain yang terbentang dari Padalarang hingga Rancaekek masih berstatus sebagai halte.
Saya pikir, pasti ada yang istimewa di balik penetapannya sebagai stasiun. Dengan kata lain, ada alasan-alasan yang mendasari pemilihan tempat tersebut sebagai stasiun kereta api. Oleh karena itu, pertama-tama, dalam tulisan kali ini, saya hendak menelusuri kedudukan Bandung sebagai pusat dari Kabupaten Bandung dan ibu kota Keresidenan Priangan, serta menjadi pusat-pusat wilayah administratif lainnya.
Setelah menelusuri status Kota Bandung sebagai pusat berbagai wilayah administratif, saya akan melanjutkan uraiannya pada pesta pembukaan jalur kereta api Cianjur-Bandung, layanan kereta api dari dan ke Bandung sejak dibukanya jalur Cianjur-Bandung hingga paling tidak tahun 1930-an, dan kepindahan pusat eksploitasi kereta api jalur barat. Sementara hal-hal lainnya, akan saya bahas pada bagian kedua tulisan mengenai Stasiun Bandung ini.
Dari Karapyak hingga Ibu Kota Priangan
Riwayat kepindahan ibu kota Kabupaten Bandung dari daerah Karapyak, Dayeuhkolot, ke sekitar Alun-alun Bandung sekarang dapat kita simak dari hasil penelitian Sobana Hardjasaputra (Perubahan Sosial Kota Bandung, 1810-1906, 2002).
Menurut Sobana, gagasannya bermula dari Bupati Bandung R. A. Wiranatakusumah II yang menilai Karapyak kurang baik sebagai pusat pemerintahan karena berada di selatan daerah Bandung, padahal bagian besar Kabupaten Bandung ada di utara Karapyak. Sebab lainnya, daerah sekitar Karapyak masih hutan belantara dan banyak tempat yang masih berupa ranca (payau) dan situ (danau) kecil. Juga bila musim hujan, ibu kota lama itu kerap jadi sasaran banjir akibat luapan air Sungai Citarum. Setelah melakukan pencarian, bupati itu menemukan tempat di hutan tepi barat Sungai Cikapundung, yang ada di sebelah selatan Sungai Cibadak.
Selain gagasan R. A. Wiranatakusumah II, H. W. Daendels yang diangkat menjadi gubernur jenderal Hindia Belanda pada 18 Januari 1807 berencana membangun jalan raya dari Anyer hingga Panarukan, sepanjang sekitar 800 mil (kurang lebih 1.000 kilometer). Tujuannya demi kelancaran hubungan pemerintah pusat dengan daerah melalui surat (pos) dan kepentingan gerak militer demi mempertahankan Pulau Jawa dari serangan Inggris yang bermarkas di India. Sebelum pelaksanaan pembangunannya, Daendels sempat mengadakan perjalanan dan menemukan tidak cocoknya membuat jalan raya ke daerah Karapyak. Akhirnya turunlah keputusan Daendels tanggal 5 Mei 1808, dengan perintah membangun jalan raya itu, tetapi pada umumnya memperlebar jalan yang telah ada sebelumnya.
Untuk melaksanakan pembangunan tersebut, sejak 1809 R. A. Wiranatakusumah II pindah ke daerah Bandung utara, yang sudah memiliki beberapa permukiman, yaitu Kampung Cikapundung Kolot, Kampung Cikalintu (kini Cipaganti), Kampung Balubur Hilir, dan Kampung Bogor. Mula-mula bupati Bandung dan rakyat yang menyertainya tinggal Kampung Cikalintu, lalu pindah ke Balubur Hilir.
Setelah jembatan yang melintasi Sungai Cikapundung (jembatan di Jalan Asia Afrika dekat gedung PLN) selesai, Daendels mengontrolnya bersama bupati Bandung hingga ke sekitar titik 0 kilometer jalan raya pos di daerah Bandung. Saat itulah Daendels menancapkan tongkatnya dan menyatakan agar pusat kota dibangun di tempat itu.
Sebagai tindak lanjutnya, pada 25 Mei 1810, gubernur jenderal itu mengeluarkan surat perintah mengenai “Verplaatsing van de hoofd-negorijen in de regentschappen Bandoeng en Prakanmoentjang” atau pemindahan ibu kota Kabupaten Bandung dan Parakanmuncang. Untuk Bandung, lokasinya harus dipindahkan ke Cikapundung, sementara Parakanmuncang ke Andawadak (Tanjungsari). Peresmian ibu kota baru tersebut terjadi 25 September 1810, sesuai dengan surat keputusan Daendels.
Dua tahun kemudian, pada 1812, terjadi reorganisasi Kabupaten Bandung. Jumlah distriknya bertambah satu dari 18 menjadi 19 distrik. Dalam perubahan itu, Distrik Kota yang disebut pula Nagara dihapus, dan diganti oleh Distrik Balubur. Namun, pada 1849, Kota Bandung kembali berfungsi sebagai ibu kota distrik, yaitu Distrik Kota, menggantikan Distrik Balubur. Sejak 1862, Kabupaten dibagi dua menjadi Afdeling Bandung Utara dengan ibu kota Kota Bandung dan Afdeling Bandung Selatan beribu kota di Cicalengka.
Selanjutnya, Residen Priangan C. P. C. Steinmetz (1851-1855) di Cianjur menggagas kepindahan ibu kota Priangan ke Bandung dengan beberapa pertimbangan, di antaranya suhu udaranya lebih segar bagi orang Eropa, letaknya strategis karena berada di tengah Priangan, jumlah penduduknya lebih banyak dari Cianjur, kaya kopi dan padi, serta kehidupan ekonominya cukup berkembang dan prospektif.
Ketetapan kepindahan tersebut tertuang dalam keputusan tanggal 28 Juni 1856 dan 11 Oktober 1856 No. 84. Namun, pelaksanaanya baru terjadi pada masa Residen J. W. J. C. van der Moore (1858-1874), dipicu oleh meletusnya Gunung Gede pada pertengahan tahun 1864. Akhirnya, gubernur jenderal menetapkan Kota Bandung sebagai ibu kota Priangan melalui keputusan tanggal 7 Agustus 1864 No. 18.
Demikianlah antara 1810 hingga 1864, Kota Bandung memiliki empat fungsi administratif, yaitu ibu kota kabupaten, ibu kota distrik, ibu kota afdeling, dan ibu kota Keresidenan Priangan. Bahkan konon, menurut Sobana, sejak pertengahan abad ke-19 Kota Bandung direncanakan menjadi ibu kota Hindia Belanda. Dengan demikian, sepanjang abad ke-19, Kota Bandung secara bertahap beroleh kedudukan penting bukan hanya di Pulau Jawa, melainkan di seantero Hindia Belanda.
Lalu, bagaimana dengan kedudukan tempat didirikannya Stasiun Bandung menjelang diresmikannya jalur kereta api Cianjur-Bandung? Ketika membaca Regeerings-Almanak voor Nederlandsch-Indie 1882 (RA, deel 1, Bijlage IJ, 1882: 148-149), saya pikir calon stasiun itu terletak di Kecamatan Cirateun, Kewedanaan Nagri, Distrik Ujungberung-kulon. Namun pada saat jalurnya diresmikannya, karena ada perubahan Kewedanaan Nagri, maka Stasiun Bandung berada di wilayah administratif Kecamatan Bandung, Kewedanaan Bandung, Distrik Ujungberung-kulon (RA, deel 1, Bijlage FF, 1884: 218-219).
Baca Juga: SEJARAH KERETA API DI BANDUNG RAYA (7): Stasiun Ciroyom
SEJARAH KERETA API DI BANDUNG RAYA (6): Stasiun Andir
SEJARAH KERETA API DI BANDUNG RAYA (5): Stasiun Cimindi
Pesta Pembukaan Jalur
Sebagaimana yang sudah saya tulis sebelumnya, pada 17 Mei 1884 jalur kereta api Cianjur-Bandung secara resmi dibuka. Bila memperhatikan rekaman-rekaman sezaman, ternyata persemian tersebut dibarengi pesta pembukaan jalurnya. Warta-warta persemiannya antara lain dapat diikuti dari Bataviaasch Handelsblad (BH) dan Java-bode (JB) sejak edisi 12 hingga 23 Mei 1884.
Pada edisi 12 Mei 1884 diberitakan De Inspecteur-Generaal der staatspoorwegen (inspektur umum jawatan kereta api) dengan titimangsa Bogor, 8 Mei 1884, mengumumkan bahwa pada 16 Mei 1884 akan tersedia kereta perayaan bagi para tamu, yang berangkat dari Bogor pada pukul 06.30 dan tiba di Bandung sekitar pukul 13.00. Di Stasiun Bandung yang telah dihiasi, panitia pesta akan menyambut para tamu. Malamnya akan diselenggarakan prosesi ribuan orang yang menyalakan obor dan listrik, dari stasiun ke pacuan kuda di Tegallega, dengan diiringi musik. Kemudian pada 17 Mei 1884 akan diselenggarakan makan malam besar.
Sehari kemudian, sekretaris panitia pesta (feestcommissie) W. Twiss mengumumkan bahwa pesta pembukaan jalur Cianjur-Bandung itu akan dilaksanakan di Bandung antara 16 hingga 18 Mei 1884. Sementara kepala eksploitasi jalur barat mengumumkan bahwa kereta perayaan yang berangkat dari Bogor tidak dipungut bayaran, terdiri atas para insinyur yang terlibat pembangunan dan orang-orang yang berminat. Keretanya akan berangkat dari Bogor pada pukul 06.30, tiba di Sukabumi pukul 08.40, di Cianjur pukul 10.00, dan Bandung pukul 12.10.
Pada tanggal 13 Mei 1884 juga diberitakan bahwa dari Bogor telah disebarkan banyak undangan kepada pihak-pihak berwenang baik tinggi mapun rendah, tetapi gubernur jenderal tidak akan menghadiri pesta tersebut. Orang-orang sangat sibuk mempersiapkan pestanya semeriah mungkin, sementara panitia juga mengumpulkan kontribusi uang dari warga. Lalu pada edisi 15 Mei 1884, ditegaskan bahwa gubernur jenderal tidak akan hadir pada pembukaan jalur baru ke Bandung besok hari. Dengan adanya perayaan itu pula, surat-surat pengangkatan di lingkungan jawatan kereta api sementara dihentikan, demikian juga dengan pemindahan atau penempatan para pegawai.
Pada 16 Mei 1884 dari Bandung dilaporkan bahwa kereta pesta dari Bogor tiba di Stasiun Bandung pada pukul 12.30. Stasiun dihiasi dengan semarak, dan tabuhan musik terdengar dari kereta. Ketua panitia pesta Romunde memberikan sambutan hangat. Pesta pembukaan tersebut diperingati dengan membuka botol sampanye dan menikmatinya, seraya musik berbunyi. Bagi para pegawai pribumi, dipersiapkan kenduri besar yang dihadiri bupati Bandung dan penghulu besar. Seantero Bandung berpakaian meriah, bendera berkibar di mana-mana. Keesokan harinya diberitakan prosesi kemarin malam berlangsung semarak dan sangat sukses, permainan rakyat dipertontonkan sesuai dengan rencana, pesta kembang api dan penyingkapan didukung cuaca yang bagus, orang yang berkerumun pun tidak terhitung, saking banyaknya.
Laporan lengkap perjalanan kereta api dari Bogor dan peresmian tersebut dapat dibaca dalam BH dan JB edisi 19 Mei 1884. Beberapa fakta tambahan dari laporan lengkap tersebut antara lain: adanya rumah-rumah penduduk dan warung yang baru didirikan di sepanjang kedua sisi rel kereta api, rumah-rumah kepala stasiun dan halte yang baru dibangun di lingkungan sekitar perhentian kereta api tersebut, dari Cianjur rangkaian kereta api ditarik dengan dua lokomotif karena harus melewati pegunungan, pestanya dilangsungkan di Societeit Concordia, dan ada miniatur jembatan Citarum yang dibikin oleh opzichter Duister. Yang sangat menarik, pesta kembang api ternyata dilangsungkan di Alun-alun Bandung. Penyelenggaranya adalah Gors dengan jadwal yang terbagi dua.
Yang Datang dan Pergi
Setelah diresmikan pada 16 Mei 1884, layanan kereta api jalur Cianjur-Bandung mulai dibuka keesokan harinya, 17 Mei 1884, sementara jalur Bandung-Cicalengka menyusul kemudian. Berita pembukaan layanan tersebut sudah diumumkan dalam BH dan JB sejak edisi 10 Mei 1884.
Untuk layanan Cianjur-Bandung, kereta api bermula dari Cianjur pukul 06.30 dan 12.45, melalui Halte Cipadalarang (pada pukul 08.31 dan 14.39), Halte Cimahi (08.45 dan 14.51), Stasiun Bandung (08.59 dan 15.04), Halte Gedebage (09.24 dan 15.27), Halte Rancaekek (09.39 dan 15.40), dan Stasiun Cicalengka (09.55 dan 15.55). Sementara itu untuk layanan Bandung-Cicalengka, kereta api bermula dari Cicalengka pukul 08.53 dan 14.18, Rancaekek (09.09 dan 14.36), Gedebage (09.22 dan 14.51), dan Bandung (09.38 dan 15.08).
Menurut Verslag van den Dienst der Siaatsspoorwegen op Java over het jaar 1884 (1885) (dalam Hardjasaputra, 2002: 214), jumlah penumpang yang berangkat dari Bandung selama tahun 1884 sebanyak 303 orang di kelas satu, 1.256 orang di kelas dua, dan 30.426 orang di kelas tiga, dengan jumlah total sebanyak 31.985 orang. Sementara yang turun di Bandung sebanyak 2.265 orang di kelas satu, 5.097 orang di kelas dua, dan 29.358 orang di kelas tiga, atau totalnya sebanyak 36.720 orang. Sementara itu, barang yang terdiri atas bagasi dan kiriman dari Stasiun Bandung seberat 9.297.948 kilogram dan ke Bandung seberat 146.974,55 kilogram.
Dari jumlah penumpang sebanyak itu, dapat dikatakan bahwa setiap harinya ratusan orang pribumi menumpang kereta api kelas tiga dari dan ke Bandung. Sebagian besar dari mereka datang ke Bandung dengan membawa barang dagangan dalam jumlah besar berupa hasil pertanian, bahan bangunan, dan lain-lain. Sementara tempat tujuan dan jumlah orangnya tersebar sebagai berikut: Cimahi (7.904 orang), Padalarang (5.226 orang), Tagogapu (869 orang), Cipatat (499 orang), Cianjur (5.253 orang), Sukabumi (754 orang), Bogor (3.199 orang), Gedebage (1.393 orang), Rancaekek (1.230 orang), Cicalengka (4.636 orang), dan ke daerah lain (1.022 orang).
Dalam perkembangannya kemudian, ada layanan jurusan Garut-Bogor dan Bandung-Garut (Staatsspoorwegen op Java, Westerlijnen. Tijdtafels van den loop der Treinen, 10 Juli 1889), ditambah Bandung-Cibatu (Tijdtafels van den loop der Treinen, 1 Augustus 1891), Bandung-Cimahi (AID De Preanger-bode, 13 dan 15 Februari 1899), Bandung-Padalarang (Van Dorp's Officieele Reisgids voor Spoor- en Tramwegen op Java, 1900), Bandung-Cikampek (Officieele reisgids der spoor- en tramwegen, en Aansluitende Aütomobieldiensten op Java en Madoera. Uitgave van 1 Mei 1926), Bandung-Sukabumi, dan Kiaracondong-Padalarang (Officieele reisgids der spoor- en tramwegen, en Aansluitende Aütomobieldiensten op Java en Madoera. Elfde Uitgave geldig van 1 Mei 1931 tot en met 31 October 1931 dan van 1 Mei 19315 tot en met 31 October 1935).
Dengan demikian, dapat dikatakan hingga tahun 1930-an, Stasiun Bandung melayani banyak jurusan, baik yang berangkat ke arah barat maupun ke arah timur, baik yang melayani jurusan luar kota maupun yang berskala lokal.
Kepindahan Kantor Pusat Jalur Barat
Salah satu perkembangan signifikan lain terkait posisi strategis Stasiun Bandung adalah kepindahan kantor atau biro kepala eksploitasi jalur barat (Chef der Exploitatie van de Westerlijnen) dari Bogor sejak 1 Agustus 1898. Informasi pertama yang menyatakan kepindahan kantor dari Bogor itu saya temukan dalam De Locomotief edisi 29 Juli 1898. Di situ antara lain dinyatakan direktur BOW pada tanggal 13 Juli 1898 memutuskan bahwa tempat kedudukan kepala eksploitasi jalur barat, kepala afdeling keempat jawatan kereta api, sekretaris-akuntan, komis-pemegang kas, dan kepala kontrol jalur barat akan dipindahkan dari Bogor ke Bandung, yang efektif berlaku sejak 1 Agustus 1898.
Kepala eksploitasi jalur barat sendiri, yaitu S. Schaafsma, baru mengumumkan kepindahan tersebut sejak 5 Agustus 1898 melalui koran AID, Soerabaijasch Handelsblad, dan De Locomotief. Schaafsma mengumumkan bahwa biro kepala eksploitasi jalur barat dan kepala afdeling keempat dari jalur tersebut baru saja dipindahkan ke Bandung. Dengan demikian, kata Schaafsma, sejak saat ini surat-menyurat ditujukan ke Bandung.
AID edisi 5 Agustus 1898 juga memuat berita proses kepindahan kantor tersebut. Konon, sekarang pihak jawatan kereta api menggunakan sejumlah gerbong untuk memindahkan arsip-arsip dan barang-barang mebel dari bekas kantor pusat jalur barat di Bogor ke Bandung.
Dengan berita kepindahan ini, saya pikir saya dapat mengoreksi Sobana Hardjasaputra yang di sepanjang karyanya, Perubahan Sosial Kota Bandung, 1810-1906 (2002), secara konsisten menyebutkan bahwa Kota Bandung berfungsi sebagai pusat transportasi kereta api jalur barat sejak pertengahan tahun 1884 (2002: 1, 8, 205-211). Padahal, tentu saja pertengahan 1884 adalah masa diresmikannya jalur Cianjur-Bandung, namun penetapannya sebagai pusat jalur barat baru terjadi 14 tahun kemudian, yaitu 1 Agustus 1898.