SEJARAH KERETA API DI BANDUNG RAYA (10): Stasiun Cikudapateuh
Stasiun Cikudapateuh mulanya dibangun untuk memberi kemudahan akses bagi penumpang 'pribumi'. Penting bagi perkembangan perkeretapian, perekonomian, dan militer.
Atep Kurnia
Peminat literasi dan budaya Sunda
10 Oktober 2021
BandungBergerak.id - Sejak berlakunya kebijakan bekerja dari rumah dan kantor pada Maret 2021, saya mulai menjadikan Stasiun Cikupadateuh sebagai tempat kepulangan ke Cicalengka. Ya, bila dapat giliran bekerja di kantor di sekitar Gasibu, saya biasanya berangkat pagi-pagi dari Stasiun Cicalengka, dengan tujuan Stasiun Kiaracondong. Dari situ, saya jalan kaki ke jalan raya di sebelah barat, untuk selanjutnya naik angkot jurusan Cicaheum-Ciwastra yang berwarna coklat.
Pulangnya, dari depan kantor saya biasanya menggunakan jasa ojek daring ke Stasiun Cikudapateuh, karena naik angkot lagi ke Kiaracondong akan sangat banyak memakan waktu. Apalagi jam bubaran kantor, rentan terjebak kemacetan. Itulah sebabnya saya rasa lebih cepat bila memilih Cikudapateuh untuk kembali ke Cicalengka.
Stasiun kecil yang setiap sore saya sambangi kala kerja di Kota Bandung itu, menurut data dari id.wikipedia.org, terletak di perbatasan antara Kelurahan Samoja di selatan dengan Kacapiring di utara. Tepatnya di Jalan Kembang Sepatu, Kelurahan Samoja, Kecamatan Batununggal, Kota Bandung. Stasiun di ketinggian +691 meter di atas permukaan laut dan termasuk Daerah Operasi (DAOP) II Bandung ini hanya melayani penumpang kereta api lokal, yaitu Cicalengka-Padalarang dan kereta Cibatuan.
Dilihat dari berbagai pemberitaan di masa lalu, ternyata stasiun kecil ini memiliki peran strategis dalam perkembangan perkeretaapian, perekonomian, bahkan dari sisi pertahanan militer. Di sekitar stasiun ini sempat ada atau bahkan masih ada hingga sekarang, gudang amunisi, gudang obat-obatan, barak batalyon artileri, gudang jawatan kereta api, pabrik proyektil, dan simpangan rel kereta api menuju Ciwidey.
Stopplaats, Halte, dan Jalur Ciwidey
Gagasan didirikannya Stasiun Cikudapateuh dapat ditelusuri dari sepucuk surat yang dikirim pembaca berinisial B dan dimuat dalam AID De Preanger-bode edisi 4 Oktober 1897. Pada awal suratnya, B menanggapi jadwal kereta yang baru (nieuwe dienstregeling), yaitu yang diterbitkan pada 15 Oktober 1897, terutama berkaitan dengan pendirian beberapa stopplaats yang baru. Di balik pendirian tersebut, menurut B ada kepentingan jawatan kereta api Hindia Belanda untuk memfasilitasi transportasi para penumpang pribumi.
Menurut B, tahun 1896, stopplaats yang baru antara lain adalah Cimindi, Cibodas, dan Ciledug. Namun, yang ia soroti justru Stopplaats Kiaracondong, yang menurut penelusuran pustaka sudah ada sejak 1893. B menilai Stopplaats Kiaracondong kurang bermanfaat, sebab hanya sedikit pribumi yang berhenti di situ. Di antara pukul 06.00 hingga 15.00, hanya sedikit saja pribumi yang hanya mencapai Gedebage.Oleh karena itu, ia menyarankan agar didirikan stopplaats baru di tempat yang banyak penduduknya. Ia mencontohkan Desa Kajaksanhilir, Lengkong, Ciateul, dan Cikawao. Lebih khususnya B menunjukkan Kaca-kaca Wetan yang banyak dihuni penduduk pribumi, demi kepentingan pribumi yang lalu-lalang di antara jalan Bandung-Sumedang. Dengan dipertahankan atau dihapusnya Stopplaats Kiaracondong, maka menurut B harus didirikan stopplaats di sekitar Kaca-kaca Wetan, yang dapat diberi nama Stopplaats Bandung Wetan, Cikudapateuh, atau Cihapit.
Bila menilik yang kemudian terjadi, jawatan kereta api lebih memilih nama Cikudapateuh. Namun, sejak kapan Stasiun Cikudapateuh didirikan? Saya baru mendapatkan datanya dari tahun 1900, dalam konteks jadwal kereta lokal Bandung-Cicalengka. Dalam AID (2 Agustus 1900) disebutkan secara berturut-turut stasiun-stasiunnya sebagai berikut: Bandung-Cikudapateuh-Kiaracondong-Gedebage-Ciendog-Rancaekek-Haurpugur-Cicalengka. Dari data itu, saya menangkap kesan Stopplaats Cikudapateuh bisa jadi sudah ada sebelum tahun 1900. Bila dikaitkan dengan keterangan B, barangkali Stopplaats Cikudapateuh didirikan antara 1898 hingga 1900.
Dalam perkembangannya, sejak awal 1904, Stopplaats Cikudapateuh dinaikkan statusnya menjadi halte (AID, 28 Februari 1903). Dalam berita yang sama dikatakan Halte Cicalengka sejak 1 Maret 19003 dinaikkan statusnya menjadi stasiun kelas tiga dan sejak awal 1904 Halte Cimahi juga dinaikkan menjadi stasiun kelas tiga. Selanjutnya, di sekitar Stopplaats Cikudapateuh didirikan bangunan kecil untuk ruang tunggu para penumpang kereta api, tetapi konon seiring waktu terasa kekecilan, sehingga kerap kali para penumpang harus kehujanan atau tersengat matahari (AID, 11 Desember 1907).
Bertahun-tahun kemudian, antara 1919-1924, terjadi pembangunan dan peresmian jalur kereta api dari Bandung menuju Ciwidey. Rincian rencana hingga peresmian jalur tersebut dapat disimak dari berita-berita yang disiarkan AID. Misalnya, pada edisi 20 Januari 1919 dikatakan rute Pangalengan dan Ciwidey masih dalam pengkajian.
Bulan Mei 1920, Stopplaats Citeureup akan dioperasikan. Sementara sejak Mei 1919, pembangunan jalur Bandung-Banjaran-Kopo yang menghabiskan biaya sekitar 1,5 juta gulden juga sudah mulai dikerjakan (De Locomotief, DL, 29 Januari 1920). Dalam AID (12 Februari 1921) dikatakan bahwa pada 12 Februari 1921, jalur kereta api Bandung-Banjaran-Soreang dan Rancaekek-Tanjungsari secara resmi dibuka. Sementara jalur Soreang-Ciwidey dibuka secara resmi pada 17 Juni 1924 (De Indische Courant, 13 Juni 1924), padahal semula direncanakan akan diresmikan pada 15 Juni 1924 (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, HNDNI, 13 Juni 1924).
Meski dipusatkan di antara Stasiun Cikudapateuh dan Stasiun Kiaracondong, yaitu di Stasiun Cibangkonglor yang kini posisinya dekat Trans Studio Bandung, pembangunan jalur Bandung-Ciwidey tetap berkaitan dengan daerah Cikudapateuh. Salah satunya berkaitan dengan kepentingan ekonomi, yaitu Pasar Kosambi. Dalam AID (5 Juli 1924), diwartakan bahwa direktur jawatan kereta api memerintahkan agar jalur Bandung-Ciwidey disambungkan dengan jalur utama. Sebab banyak pengunjung pasar dari Bandung selatan yang berhenti di Stasiun Dayeuhkolot dan dari sana naik sado. Bila jalurnya tersambung, pengunjung akan dengan mudah mencapai pasar dari stasiun, termasuk ke Pasar Kosambi dan umumnya Cikudapateuh.
Pusat-pusat Militer
Steven Anne Reitsma dan W.H. Hoogland (Gids van Bandoeng en Midden-Priangan, 1927) menyinggung kehadiran beberapa pusat militer di sekitar Stasiun Cikudapateuh. Mereka berdua antara lain menyatakan bahwa sekitar Karees merupakan kompleks permukiman modern orang Eropa (de modern gebouw de Europeesche wijk). Di situ ada stasiun kecil (Cibangkong Lor) untuk menuju Ciwidey. Posisinya ada di sebelah kiri. Di seberang rel atau kembali ke Jalan Raya Pos di sepanjang Pasar Kosambi dan Halte Cikudapateuh, ada area militer. Di sana ada barak-barak, Pyrotechnische Werkplaatsen (PW), gudang departemen peperangan (de Magazijnen van Oorlog), klub militer, dan lapangan olah raga.
Dari berbagai pusat militer tersebut, yang pertama-tama hadir di Cikudapateuh adalah gudang militer atau gudang amunisi. Dari pemberitaan media lama, rencana pendiriannya sudah berlangsung sejak 1901. Dalam DL (15 Februari 1901) diwartakan Letnan Satu Zeni H. Van Tongeren ditugaskan untuk membangun gudang amunisi (een munitie-magazijn) di Bandung. Anggaran yang disediakan untuk membangunnya sebesar 74.375 gulden (AID, 18 Februari 1901). Dalam DL (9 Agustus 1902) dikatakan gudang tersebut dinyatakan sudah beroperasi, dan rencananya akan ditambah dua penggilingan tepung dan gudang pusat obat (centraal magazijn voor geneesmiddelen).
Hingga awal 1903, HNDNI (5 Januari 1903) melaporkan di arah Stasiun Cikudapateuh ada tiga gudang besar yang dilingkari tembok setinggi 3 meter, yaitu gudang amunisi yang baru digunakan. Dua gudang tersebut berisi 6,5 juta peluru nomor satu, dan dua gudang lainnya berisi peluru nomor dua dan tiga. Selain itu, ada juga hanggar tambahan untuk menyimpan sekitar 100.000 proyektil berbagai ukuran.
Tiga tahun kemudian, koran yang sama menyebutkan bahwa Desa Cikudapateuh di timur laut Kota Bandung itu sudah menjelma menjadi kompleks enam bangunan militer (6en complex van militaire gebouwen). Selain gudang amunisi, sejak Juli 1906 di sana akan beroperasi gudang kesehatan (magazijn van den geneeskundigen dienst). Gudang administrasi untuk gudang seragam pun sudah selesai. Keenam gudang itu tersambung dengan rel kereta api (HNDNI, 28 Juli 1906).
Lebih dari itu, sebagaimana yang tercatat dalam Regeerings Almanak voor Nederlandsch Indie voor 1905 (deel 1, 1905: 534-540), sejak 1905 pasukan artileri ke-19 juga pindah ke Cikudapateuh (19de compagnie artillerie te Soemedang en Tjikoeda-Pateuh). Sebagai dukungan untuk artileri tersebut, sejak 1907 muncul rencana pemindahan Artillerie Constructie Winkel (ACW) dan PW dari Surabaya ke Cikudapateuh. Bahkan pengukuran dan pembuatan gambar bangunannya sudah dilakukan pada 1906. Namun, untuk pindah semuanya dibutuhkan waktu dua tahun (HNDNI, 28 Juli 1906, dan DL, 16 Februari 1907).
Batalion ke-15 (vijftiende bataljon) juga ternyata dipindahkan ke Cikudapateuh. Menurut HNDNI (23 Oktober 1909), pembangunan barak untuk setengah dari Batalion ke-15 yang akan dipindahkan pada Oktober telah dimulai beberapa waktu lalu. Namun, karena berbagai kendala, ada kemungkinan kepindahan tersebut tertunda hingga bulan April 1910.
Kepindahan Pyrotechnische Werkplaatsen (PW) ke Cikudapateuh baru terjadi pada 1910. Dalam DL (11 Desember 1909) masih dikatakan bahwa kepindahan PW dari Surabaya akan membawa pula beberapa lusin penduduk baru ke Bandung. Sementara rumah untuk mereka belumlah tersedia, paling tidak rumah sewaan dengan harga di bawah 60-80 gulden per bulan. Juga sebentar lagi akan ditambah setengah pasukan batalyon ke-15 beserta para perwira dan dokter militer. Sementara dalam berita HNDNI (22 Januari 1910) disebutkan kepindahan PW ke Cikudapateuh kemungkinan baru dapat dilakukan pada Februari 1910, yang dimulai dengan memindahkan terlebih dulu barang-barang inventaris. PW dituntut sudah beroperasi penuh di Cikudapateuh pada awal Juli 1910.
Detasemen pasukan kereta (treincompagnie) juga dipindahkan dari Meester Cornelis ke Cikudapateuh dan Cimahi. Detasemen untuk Bandung terdiri atas tiga kereta kuda, 27 kuda kereta, dan 2 kuda tunggang. Pasukan yang dipindahkan itu ditampung di barak Batalyon ke-15 dan rencananya akan dibangun istal-istal kuda dan kereta kuda di sebelah timur barak Cikudapateuh (AID, 9 Juni 1912).
Demikianlah awal mula keberadaan pusat-pusat militer di Cikudapateuh, sebagaimana yang digambarkan oleh Reitsma dan Hoogland di atas. Hal ini dapat menerangkan pula mengenai keberadaan pusat militer yang saat ini masih bertahan di sekitar Cikudapateuh, seperti Pusat Kesenjataan Kavaleri (Pussenkav) dan Batalyon Kavaleri 4/Kijang Cakti (Yon Kav 4/Tank).
Baca Juga: SEJARAH KERETA API DI BANDUNG RAYA (9): Stasiun Bandung (2)
SEJARAH KERETA API DI BANDUNG RAYA (8): Stasiun Bandung (1)
SEJARAH KERETA API DI BANDUNG RAYA (7): Stasiun Ciroyom
Gudang Besar Jawatan Kereta Api
Situs colonialarchitecture.eu dan collectie.wereldculturen.nl menyajikan foto-foto pembanguanan gudang jawatan kereta api (het magazijn van de Staatsspoorwegen, Tjikoedapateuh) di Cikudapateuh. Dalam kedua situs itu tersaji foto-foto pembangunannya sejak tahap fondasi hingga bangunannya berdiri. Sementara titimangsanya menunjukkan tahun 1926.
Gudang kereta api di Bandung sebenarnya sudah ada sejak lama sebelum kepindahan ke Cikudapateuh. Menurut berbagai laporan koran, gudang tersebut sudah ada paling tidak sejak 1908 (AID, 25 Juni 1908 dan 7 Juli 1908). Bahkan dikatakan, karena Bandung sebagai pusat eksploitasi jalur barat, di sini ada gudang besar (groote magazijnen) milik jawatan kereta api, seperti halnya yang ada di Madiun untuk gudang kereta api pusat eksploitasi jalur timur (AID, 11 Januari 1913). Baru pada 1914 ada gagasan untuk memindahkan gudang kereta api dari Bandung ke Cikudapateuh. Karena dirasa gudang tersebut kekecilan. Rencana pemindahannya akan dilakukan pada 1915 setelah jawatan kereta api membeli lahannya di Cikudapateuh. Sementara gudang yang ada sebelumnya akan dipindahkan ke bengkel kereta api (AID, 28 Mei 1914).
Apakah rencana tersebut terwujud? Bila menilik foto-foto dalam kedua situs di atas, tampaknya antara 1915 hingga 1925 masih belum terjadi pembangunan gudang besar di Cikudapateuh. Alih-alih saya mendapatkan keterangan bahwa untuk sementara Dienst van Opname en Aanleg atau Dinas Perizinan dan Konstruksi pindah ke belakang Halte Cikudapateuh (De Indische Courant, 16 Oktober 1926). Hal itu merupakan dampak dari dipindahkannya kantor pusat jawatan kereta api (het hoofdbureau der Staatsspoor- en tramwegen) dari Batavia ke Bandung antara 1923-1924. Barangkali kepindahan dinas inilah yang menjadi momentum didirikannya gudang besar di Cikudapateuh.
Itu sebabnya dalam situs colonialarchitecture.eu disertakan titimangsa yang menunjukkan tahun 1926. Keterangan dan waktu-waktunya antara lain disebutkan demikian: “1926, 1 juni. betonloods c. Verdieping”, “1926, 15 dec. overzicht vanuit westen”, dan “IJzerloods B tijdens de aanleg van het magazijn van de Staatsspoorwegen, Tjikoedapateuh, Bandoeng” yang diberi titimangsa 15 Desember 1926. Ini saya pikir mengandung arti gudang besar di Cikudapateuh itu baru mulai dibangun sejak 1926.
Bila merujuk ke keterangan dalam DL (12 Oktober 1927) bahkan pembangunannya masih berlangsung hingga menjelang akhir 1927. Dalam koran tersebut diberitakan los gudang jawatan kereta api di Cikudapateuh yang tengah dibangun itu runtuh. Seorang pekerja pribumi tertimpa dan meninggal, sementara dua orang lainnya terluka parah.
Alhasil, gudang besar di Cikudapateuh dapat dikatakan baru selesai pada 1928. Dan memang ada buktinya. Salah satu foto dalam situs colonialarchitecture.eu dan collectie.wereldculturen.nl bertajuk “Magazijn van de Staatsspoorwegen, Tjikoedapateuh, Bandoeng, met de gasfabriek op de achtergrond” atau gudang jawatan kereta api di Cikudapateuh, Bandung, bersama dengan pabrik gas yang ada di latar belakangnya. Foto itu disertai keterangan, “1928. inkyk vanaf H langs loods I, K,D,B.”
Perumahan untuk Pegawai Kereta Api
Di atas, Steven Anne Reitsma dan Hoogland (1927) bilang di sekitar Karees ada kompleks pemukiman modern orang Eropa. Bila melihat hasil penelusuran pustaka, kompleks yang ditujukan bagi para pegawai jawatan kereta api tersebut sudah ada di Cikudapateuh sejak 1913. Tahun itu kompleksnya selesai dibangun tetapi konon tidak begitu diminati oleh para pegawai.
Dalam tulisan bertajuk “S. S. Woningen” atau perumahan jawatan kereta api (dalam de Expres edisi 2 Desember 1913), E. Rijken membuat tanggapan atas pemberitaan dalam AID. Koran AID memberitakan bahwa antusiasme di kalangan para pegawai jawatan kereta api untuk pindah ke rumah baru di Cikudapateuh ternyata tidak besar. Sebagian di antaranya takut terhadap penyakit karena rumahnya terlalu baru. Sementara sebagian lainnya mengganggap lokasinya jauh sekali dari kantor. Ada pula yang tidak mau soal perumahannya diatur oleh jawatan kereta api.
Sebaliknya, Rijken bilang dia melihat pada hari Minggu, banyak laki-laki dan istrinya melihat-lihat perumahan di Cikudapateuh, seraya memuji-muji keadaannya. Dia juga menangkis ketakutan terhadap penyakit itu dengan perbandingan pada para penghuni di sekitar barak baru di Cikudapateuh. Untuk urusan jauh dari kantor, Rijken mengajukan kereta api sebagai solusinya.
Lalu, kapan Kompleks Karees dibangun? Ternyata pembangunannya seiring sejalan dengan berbagai pembangunan perumahan lainnya yang dilakukan pemerintahan Kota Bandung pada tahun 1917. Pemerintah Kota Bandung mengeluarkan 10 persil lahan di Jalan Riau, dekat Jalan Raya Pos untuk dibangun. Di kota lama, kian banyak rumah gedung dibangun, terutama di bagian selatan, yaitu di daerah Lengkong. Selain itu, pembangunan perumahan sedang dilakukan di pinggiran kota, yaitu di Lembangweg, Karees, Oost Einde, dan lain-lain (AID, 22 November 1917).
Sebagian kompleks yang dibangun di Karees ditujukan sebagai perumahan para pegawai jawatan kereta api (S.S.-woningen op Karees). Dalam AID edisi 21 Maret 1918 disebut-sebut satu blok perumahan pegawai kereta api akan segera tersedia, yaitu di selatan untuk kelas dua dan sisanya untuk kelas tiga. Namun, konon, untuk ukuran rumah dinas, rumah di Karees tersebut nampak bagus, meskipun tidak dibangun berdasarkan tipe yang sama seperti kompleks para pegawai kereta api di Cikudapateuh (de S.S.-wijk op Tjikoedapateuh).
Bagaimana gambaran selanjutnya dari Kompleks Karees itu? Saya antara lain menyimaknya dari pemberitaan Bataviaasch Nieuwsblad (BN, 21 Desember 1921). Menurut koresponden yang menulis untuk koran di Batavia itu, bila pengunjung berangkat dari Kaca-kaca Wetan ke arah timur, mereka akan tiba di lingkungan villa Karees yang ada di sepanjang Papandajanlaan (“de bekende villabuurt Kareës langs de Papandajanlaan”). Di kanan-kiri jalan lebar itu mula-mula ada kampung dan hutan, barulah nantinya tiba di tempat huni. Hutan di sebelah kanan, sebagian ada danau kecil yang bernama Sindang Sore, yang airnya berasal dari mata air, dan mencakup area seluas 3 hektare.
Selama pembangunan di Karees itu, menurut kontributor BN, pada 1919 dan 7 Februari 1921 Insinyur Kepala H. De Vogel dari Dinas Pekerjaan Umum Kota Bandung menilai pihak jawatan kereta api mengapresiasi bahwa lahan di Sindang Sore dibiarkan lebih dulu sesuai dengan rencana mereka. Tentu saja rencana tersebut berkaitan dengan akan dibukanya jalur kereta api Bandung-Kopo yang nantinya bahkan berlanjut hingga Ciwidey.