• Kolom
  • SEJARAH KERETA API DI BANDUNG RAYA (9): Stasiun Bandung (2)

SEJARAH KERETA API DI BANDUNG RAYA (9): Stasiun Bandung (2)

Stasiun Bandung ada di pusaran kebijakan-kebijakan strategis pemerintah kolonial Hindia Belanda. Dari rencana pemindahan ibu kota hingga pembangunan pusat militer.

Atep Kurnia

Peminat literasi dan budaya Sunda

Warga melintas di depan pintu selatan Stasiun Bandung, Sabtu (28/8/2021). Stasiun yang terletak di Kebon Jeruk, Andir ini berperan penting dalam pengembangan ekonomi dan militer. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

3 Oktober 2021


BandungBergerak.idSelain dari foto-foto koleksi KITLV, saya melihat perubahan fisik Stasiun Bandung dari dua film koleksi EYE Film Instituut yang ditayangkan dalam YouTube, yakni Autotocht door Bandoeng (1913) yang dibuat J.C. Lamster dan Mooi Bandoeng (1927) yang dibikin Willy Mullens.

Dalam Autotocht door Bandoeng, Stasiun Bandung ditampilkan dari menit 2:58 hingga 3:29. Dengan menggunakan teknik “phantom ride” yaitu kamera ditempelkan di atas kendaraan, Lamster memperlihatkan bagian selatan Stasiun Bandung yang dipenuhi delman terparkir, beberapa mobil, dan orang-orang yang lalu-lalang. Sementara itu, bangunannya sendiri masih terlihat sederhana. Sebelah kanan dan kirinya memanjang peron dan di tengahnya bangunan agak tinggi  dengan pintu-pintu melengkung di ujung. Di pelataran ada tiang kecil terpancang, barangkali untuk mengerek bendera tiga warna Belanda.

Dalam Mooi Bandoeng yang dibuat setelah pusat jawatan kereta api dipindahkan ke Bandung, Stasiun Bandung muncul pada awal film berdurasi 16:68 menit itu. Pada detik 00:08, kamera bergerak dari kiri ke sebelah kanan stasiun. Di situ terlihat monumen lampu, delman lalu-lalang dan beberapa yang parkir, serta mobil berseliweran kian kemari. Banyak orang meriung di depan stasiun. Pada detik 00:16, secara close-up, terlihat otobus milik Hotel Homann terparkir di depan stasiun, tampaknya sedang menunggu penumpang yang baru turun di Stasiun Bandung.

Tentu saja dalam selang antara 1913 hingga 1927, seperti yang ditunjukkan kedua film bisu itu, banyak hal yang terjadi dengan fisik bangunan Stasiun Bandung dan tentu pula dengan urusan administrasi jawatan kereta api Hindia Belanda. Bahkan sebelum 1913, sudah dilakukan perbaikan bangunannya.

Perubahan keadaan fisik Stasiun Bandung dapat kita simak dari pemberitaan koran-koran sejak 1904. Dalam AID de Preanger-bode (AID, 10 Desember 1904) dikatakan pihak jawatan kereta api sedang sibuk membuat rancangan untuk memperluas emplasemen dan renovasi Stasiun Bandung. Proposalnya sudah diajukan kepada pemerintah kolonial. Konon, langkah itu dilakukan karena menyempitnya ruang staisun akibat peningkatan lalu-lintas kereta api ke Stasiun Bandung.

Lima tahun kemudian, Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie (HNDNI, 22 Maret 1909) mengabarkan renovasi Stasiun Bandung akhirnya dapat mewujud. Sebabnya, sama dengan alasan lima tahun sebelumnya, stasiun itu kekurangan ruang, terutama ketika dioperasikan peron tiket. Pribumi yang selalu datang terlalu awal belum dapat membeli karcis sehingga tidak dapat masuk ke peron, dan menyebabkan stasiun sesak oleh mereka berikut barang bawaannya. Renovasinya menyasar bagian kiri stasiun, yang diubah dari semula ruang tunggu kelas tiga menjadi kantor tiket dan perkakas untuk bagasi. Kios tiket ada di tengah-tengahnya. Renovasi itu seluruhnya menghabiskan biaya sebesar 15.000 gulden.

Barangkali itulah yang dilakukan oleh arsitek F. J. A. Cousin dan mewujud pada penampilan stasiun yang ditampilkan dalam Autotocht door Bandoeng dan bertahan hingga 1927, saat Mooi Bandoeng ditayangkan. Pada 1927 pula pihak jawatan kereta api berencana untuk merenovasi lagi Stasiun Bandung. Berita rencana pembangunannya dapat diikuti sejak Juni hingga Oktober 1927.

Menurut De Locomotief (DL), HNDNI, dan Bataviaasch Nieuwsblad (BN) edisi 10 Juni 1927, pada tahun itu akan dilakukan renovasi menyeluruh Stasiun Bandung, sehingga akan terlihat berpenampilan modern. Atap peron akan diperluas. Dari beberapa pustaka, saya jadi tahu, perancang bangunannya arsitek E. H de Roo. Bangunannya bergaya Art Deco dengan kaca jendela berwarna biru, seperti Stasiun Naarden-Bussum tahun 1925. Listriknya juga baru dari perusahaan Bergman.

Dua belas tahun berikutnya, Stasiun Bandung direnovasi lagi. HNDNI (15 Desember 1939) mengabarkan perluasan emplasemen Stasiun Bandung direncanakan selesai pada 1940. Pada 1939 sudah dilakukan pembangunan depot lokomotif yang baru dan perluasan emplasemen. Renovasi lainnya berupa penambahan jumlah peron yang tersambung dengan terowongan. Konon, rencana itu sudah dirancang, tinggal menunggu persetujuan. Pada pelaksanaannya terlihat tambahan atap beton sebagai perpanjangan atap besi.

Hotel di Sekitar Stasiun

Meningkatnya lalu-lintas kereta api dari dan ke Stasiun Bandung tentu dibaca sebagai peluang bisnis bagi kalangan usahawan yang bergerak di bidang penginapan. Mengenai kehadiran penginapan di sekitar Stasiun Bandung, saya sangat terkesan dengan karya Achdiat K. Mihardja, Atheis (1949), yang berlatar belakang tempat di Bandung pada tahun 1940-an, termasuk stasiunnya.

Gambaran Achdiat mengenai Stasiun Bandung terlihat pada bab ke-15. Di situ antara lain terbaca: “Stasiun Bandung sudah samar-samar diselimuti oleh senja, ketika kereta api dari Cibatu masuk. Matahari sedang mengundurkan diri, pelan-pelan dan hati-hati seperti pencuri yang hendak menghilang ke dalam gelap”. Namun, gambaran itu terjadi pada masa pendudukan Jepang. Sementara gambaran Kota Bandung tiga tahun sebelumnya tampak bermandikan cahaya. Saat senja, konon, “Di mana-mana bola-bola lampu sudah bernyala, riang terang seperti jambu-jambu api yang makin lama makin terang untuk berbaur pada akhirnya menjadi suatu lautan cahaya yang benderang. Orang-orang, mobil-mobil dan kendaraan-kendaraan lain bergerak-gerak, laksana ikan-ikan kecil yang bergerak-gerak di atas dasar.”

Selain gambaran Stasiun Bandung dan kotanya, Achdiat menyertakan tentang penginapan di sekitar stasiun. Ini terbaca pada kutipan berikut: “Demikianlah layaknya Kartini, ketika Anwar setengah membujuk setengah mendesak mengusulkan, supaya malam itu ia menginap saja di sebuah penginapan dekat stasiun, agar besok paginya Kartini bisa terus berangkat dengan kereta api yang paling pagi ke Padalarang.”

Soalnya, kapankah ada penginapan di sekitar Stasiun Bandung? Ternyata dari penelusuran pustaka, hotel pertama di sekitar stasiun sudah ada sekitar empat dasawarsa sebelum pendudukan Jepang. Itulah Spoorhotel PHOENIX. Menurut J.F. van Bemmelen dan G. B. Hooyer (Reisgids voor Nederlandsch-Indie, 1902), hotel kereta api itu mulai dioperasikan pada 1 November 1900. Hal tersebut sesuai dengan pemberitaan AID sejak edisi 1 November 1900 yang mengabarkan tentang “Fonkelnieuw Spoorhotel PHOENIX, Bandoeng”.

Keterangan rinci mengenai Hotel PHOENIX dapat dibaca dari AID edisi 7 November 1900. Di situ, kita jadi tahu bahwa saat itu di Bandung sudah ada tiga hotel yang bermutu. Namun, konon, ini tidak mengahalangi dibangunnya lagi yang keempat. Itulah yang dilakukan Van Sprew, dengan membangun Spoorhotel. Hotel tersebut dimaksudkan sebagai penginapan untuk memenuhi kebutuhan orang-orang kecil, dengan harga inap per hari sebesar 2.50 hingga 3.50 gulden per orang. Sementara bila berdua dikenai tarif sebesar 4, 5, dan 6 gulden per hari. Bangunannya berlokasi di sekitar Stasiun Bandung dan pengelolaannya di bawah anak perempuan Van Sprew.  

Oleh karena itu, dapat dimengerti bila dalam iklan-iklan selanjutnya dalam AID, PHOENIX dipimpin oleh direktris Nona H. Van Sprew (De Directie, Mejuffrouw H. VAN SPREW) (AID, 29 Mei 1901). Sementara ayahnya yang mendirikan hotel, G.A. Sprew, tampaknya bekerja untuk jawatan kereta api. Dia bekerja sebagai kepala bufet di Stasiun Bandung (Het Stationsbuffet te Bandoeng) (BN, 7 Desember 1900).

Bagaimana perkembangan hotel kereta api itu? Sejak 1904, hotel itu menyelenggarakan layanan angkutan ke Lembang pada hari Minggu. Ongkos yang dikutipnya 2 gulden untuk dewasa dan 1,5 gulden untuk anak-anak. Berangkat dari Kebonjukut pada pukul 07.00 dan dari Lembang pukul 16.00. Tampaknya, angkutan itu dimaksudkan sebagai angkutan wisata, karena yang ditawarkan adalah hidangan rijstaffel di Lembang seharga 1 gulden, perjalanan ke kawah Tangkuban Parahu, mata air panas, Cibogo, dan peternakan di Cisarua (AID, 10 Agustus 1904).

PHOENIX nampaknya melebarkan sayap bisnisnya ke Lembang, atau paling tidak punya kontak dengan pebisnis yang sama. Ini terbukti dengan iklan Gezondheidsetablissement BERGZICHT atau Hotel Sanatorium BERGZICHT di Lembang yang diusahakan Nyonya Van Der Waal. Hotelnya ada di ketinggian 4.200 kaki, bebas dari malaria (malariavrij), dan harganya terjangkau (AID, 18 Desember 1907 dan 22 April 1908).

Sejak 1 Januari 1913, PHOENIX menawarkan layanan antar susu sapi murni (zuivere koemelk) dengan harga 20 sen per botol (De Expres, 27 Desember 1912). Menurut De Expres edisi 7 Oktober 1913, hotel itu dikenal juga sebagai Hotel VOORNIX dan langsung dikelola oleh G.A. Van Sprew.

Potret gedung Departement van Oorlog di Bandung. Wacana kepindahannya dari Batavia ke Bandung sudah muncul sejak 1903. (Sumber: KITLV 11847)
Potret gedung Departement van Oorlog di Bandung. Wacana kepindahannya dari Batavia ke Bandung sudah muncul sejak 1903. (Sumber: KITLV 11847)

Kepindahan Pusat Militer ke Bandung

Nilai strategis Kota Bandung berikut Stasiun Bandung kian menemukan momentumnya dengan kepindahan Departement van Oorlog (DVO, departemen peperangan), Paleis Legercommandant (istana panglima tentara Hindia Belanda), dan batalyon-batalyon lainnya.

Secara ringkas, J. Paulus, D.G. Stibbe, dan S. De Graaff (Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie,  Vijfde Deel, 1927: 356) mengaitkannya dengan rencana pertahanan Pulau Jawa, yaitu dengan didirikannya barak-barak militer di Cimahi. Sementara Bandung sendiri menjadi rumah bagi 15e Bataljon Infanterie, 1e Depot Bataillon, subsistentenkader, peloton Ordonnansen, Depot der Cavalerie, Kaderschool, IIde Afdeeling motor-artillerie, staf Kust- en Stellingartillerie, direksi Materiëel dan Magazijn van Oorlog, Automobiel Compagnie dan Gewestelijk-Genie-eerstaanwezendschap.

Kapan itu semua dimulai? Wacana kepindahan DVO dari Batavia sudah mengemuka sejak 1903. Dalam HNDNI (3 Januari 1911) dan AID (14 Januari 1911) disebutkan bahwa kepindahan DVO ke Bandung sudah diputuskan dan rencananya akan dilakukan pada 1912. Kediaman panglima tentara di Hertogspark, Batavia, nantinya akan difungsikan sebagai tempat rapat Dewan Hindia. Namun, menurut AID (4 Juli 1911), kepindahan DVO ke Bandung itu ternyata sudah disebutkan dalam penganggaran 1903. Namun, saat itu tidak terlaksana karena terjadi krisis keuangan. Pada 1909, rencana tersebut diajukan lagi, dengan alasan STOVIA harus diperluas dan berbagai rencana pembangunan di Batavia sudah tidak dapat ditunda-tunda.

Setahun kemudian, tersiar kabar kepindahan DVO dan staf umum ditetapkan pada 1 Januari 1915 (HNDNI, 19 Januari 1912). Untuk mempersiapkan tempat tinggal panglima tentara, Letnan Satu Zeni R.L.A. Schoemaker dipercaya untuk membuat desainnya. Perkiraan ongkos pembangunannya sebesar 250.000 gulden (HNDNI, 3 Desember 1913). Pada minggu ketiga November 1914, kompeksnya masih dibangun pasukan zeni, dengan keterangan aula dalam tidak dibuat karena konon untuk menghemat anggaran (De Nieuwe Courant, 19 November 1914).

Apakah betul semua afdeling DVO dipindahkan ke Bandung pada 1915? Ternyata kepindahannya dilakukan secara bertahap. Pada 1915, sebagian DVO akan dialihkan ke Bandung, sebagian lainnya menyusul pada 1916 (De Sumatra Post, DSP, 5 Januari 1915).

Kabar selanjutnya, konon, sejak 1 Juni 1915, afdeling keempat DVO yaitu hoofdbureau der genie akan dipindahkan ke Bandung (HNDNI, 14 April 1915) dan bagian intendance serta DVO akan dipindahkan pada November 1915 (DSP, 12 Agustus 1915). Namun, panglima tentaranya sendiri menyatakan, bila perang dunia berakhir pada Agustus 1916, dia tidak akan pindah ke Bandung, melainkan akan mengundurkan diri. Sebaliknya, bila perang tetap berlangsung, ia akan tinggal di Bandung setelah DVO dipindahkan (AID, 16 Desember 1915).

Kenyataannya, kepindahan DVO ke Bandung tertunda lagi. Hingga pertengahan Februari 1916, pasukan zeni masih sibuk membangun kompleksnya (AID, 15 Februari 1916) dan hingga akhir Maret 1916, kompleks tempat tinggal panglima tentara juga masih dibangun (AID, 29 Maret 1916).

Dalam DSP (9 Februari 1916) dikatakan afdeling kedua DVO akan dipindahkan pada Oktober 1916, sementara panglima tentara dan staf umum pada Januari 1917. Pada 1 Juni 1916, afdeling ketiga artileri DVO akan dipindahkan ke Bandung (HNDNI, 18 Mei 1916). Tersiar juga bahwa panglima tentara dan kantor pusat staf umum akan pindah ke Bandung pada akhir September 1916. Sementara pada akhir Oktober divisi pertama dan awal Desember divisi kedua DVO akan menyusul (HNDNI, 5 Juli 1916).

Dalam HNDNI (27 September 1916) masih dikatakan panglima tentara Hindia akan berkunjung ke Bandung. Pembangunan untuk tempat tinggalnya yang telah menghabiskan dua tahun lebih ternyata belum sepenuhnya selesai, sehingga sang panglima akan kesulitan memilih tempat yang cocok untuk tinggal dalam kompleks tersebut. Demikian juga dengan para opsir staf umum, karena kompleks perumahan perwira masih dibangun. Apalagi Januari 1917, ada divisi infanteri yang akan pindah lagi ke Bandung.

Akhirnya Panglima Letnan Jenderal De Greve mulai menempati apa yang disebut redaksi HNDNI (23 Desember 1916) sebagai “Hotel van den Leger-Commandant te Bandoeng” atau hotel panglima tentara di Bandung pada Sabtu, 23 Desember 1916. HDNI melaporkan bahwa hari tersebut panglima tentara Hindia secara resmi tinggal di Bandung. Bangunan yang didesain oleh Kapten Zeni R.L.A. Schoemaker itu mencakup ruangan utamanya seluas 1200 meter.

Sang panglima menyelenggarakan resepsi untuk hari pertama tinggal di Bandung itu. Polisi sibuk mengatur lalu-lintas dan segala ihwal lainnya agar berjalan lancar. Pihak berwenang dan korps perwira dari Bandung, Cimahi, Batujajar, dan tempat lainnya berdatangan, sehingga menyebabkan mobil dan kereta kuda berdesakan dan menyebabkan ruang resepsi kesempitan. Setelah pidato, sajian musik dan nyanyian, resepsi tersebut berakhir pada tengah malam (BN, 26 Desember 1916).

Salah satu yang mempertemukan kepentingan antara DVO dengan Staatsspoor- en tramwegen (SS) adalah institusi yang disebut De Permanente Militaire Spoorweg-Commissie (PMSC) atau komisi kereta api militer permanen. Dengan membaca namanya saja, kita dapat memahami mengapa tentara memerlukan kereta api. Tentu saja demi keperluan mobilitas tentara dan keluarganya serta pengangkutan logistik, perlengkapan, dan perkakas perang.

Menurut Organisatie en indeeling van de Land- en Zeemacht in Nederlands Oost-Indie (1918: 61), institusi tersebut ada di bawah wewenang kepala staf umum DVO yang terdiri atas ketua dan anggota yang diambil dari hoofdinspecteur SS, kepala jawatan kereta api Jawa, opsir kepala atau kapten dari staf umum DVO, dan kapten atau letnan dari infanteri, kavaleri, artileri atau zeni, serta sekretaris. Menurut surat keputusan pemerintah nomor 44 tanggal 17 Juni 1916, sekretariat PMSC dimungkinkan dipegang oleh seorang kapten.

Potret kediaman panglima tentara Hindia Belanda di Bandung. (Sumber: KITLV 107347)
Potret kediaman panglima tentara Hindia Belanda di Bandung. (Sumber: KITLV 107347)

Departemen Perusahaan Negara Bedol Desa

Paulus, Stibbe, dan De Graaff (1927: 356) menyatakan pula adanya kompleks bangunan di barat laut Kota Bandung untuk Departement van Gouvernementsbedrijven (GB). Departemen perusahaan negara itu dipindahkan ke Bandung pada 1921 dan sebelum pindah ke kompleks yang sekarang kita kenal sebagai Gedung Sate, departemen itu berkantor di sebuah hotel yang sengaja dibeli. Di antara perusahaan negara yang disebutkan ketiga penulis itu, Post, Telegrafie en Telefonie (PTT) dan SS atau jawatan kereta api dan trem berada di bawah manajemen GB.

Agar gambarannya tambah luas luas, agaknya patut disampaikan barang sekilas sejarah pembentukan Departement van Gouvernementsbedrijven (GB). Menurut pemberitaan koran, wacana pembentukan GB sudah ada sejak 1906. Saat itu menteri tanah jajahan dan gubernur jenderal Hindia bersepakat untuk mendirikan GB (Soerabaijasch Handelsblad, 5 September 1906).            

Pada rapat tanggal 31 Mei 1907, rancangan pembentukan GB dibahas. Menteri Tanah Jajahan D. Fock ingin agar semua perusahaan negara disatukan di bawah GB, yaitu PTT, Mijnwezen (jawatan pertambangan), Zoutfabricage (pabrik garam), Landsdrukkerij (percetakan negara), dan SS (Deli Courant, 29 Juni 1907). Dalam BN (10 Oktober 1907) dan Sumatra-Bode (30 November 1907) disebutkan GB akan dioperasikan pada 1 Februari 1908 dan yang terpilih memimpinnya adalah N.J.E. Wenkenbach yang diangkat pemerintah melalui keputusan nomor 112 tanggal 26 September 1907.

Sesuai pasal kedua surat keputusan nomor 31 tanggal 27 Juli 1907, tentang lingkup Departement van Gouvernementsbedrijven (GB), maka sejak 15 Mei 1909, diputuskan SS yang semula ada di bawah manajemen Departement van BOW dipindahkan ke GB (HNDNI, 26 Mei 1909). Saat itu, kebanyakan perusahaan negara masih berkantor di Batavia. Lalu, sejak kapan GB bedol desa ke Bandung?

Bila memperhatikan pemberitaan sezaman, wacana kepindahannya sudah dibincangkan sejak 1917. Hal ini disebabkan menurut laporan 1912, bila kompleks GB didirikan di Weltvereden, akan sangat mahal dan tidak cocok untuk kantor-kantor perusahaan negara, serta akan menyebabkan ketidaknyamanan kepada seluruh Kota Batavia. Oleh karena itu, Bandung yang lebih sejuk dianggap lebih disukai (AID, 20 September 1917).

Bila dikaitkan dengan pernyataan Paulus, Stibbe, dan De Graaff (1927: 356) di atas, hotel yang dimaksud adalah Grand National Hotel. Lahannya yang berlokasi di Landraadweg dibeli oleh pengusaha dari Lembang J. F. Bothma dari Kerkhoven sebesar 25.000 gulden dan hotelnya direncanakan akan dioperasikan pada 1 Januari 1920 (HNDNI, 2 Agustus 1919 dan AID, 7 Agustus 1919). NV Grand National secara resmi didirikan pada Sabtu, 27 Desember 1919 (AID, 10 Desember 1919).

Ternyata pembangunan hotel itu tersendat-sendat, hingga akhirnya dibeli oleh Direktur GB P.A. Roelofsen pada 1920. Di balik keputusan itu, pihak GB beralasan bahwa pembelian tersebut dimaksudkan untuk kantor pusat SS di masa mendatang serta menjadi tempat tinggal sementara para pegawai SS. Alasan lainnya berkaitan dengan kepindahan GB ke Bandung, yang sebagian sudah dimulai dan memerlukan ruang untuk mengakomodasi para personilnya (AID, 16 Desember 1920 dan DL, 7 Desember 1920).

Namun, selain itu, ternyata Grand National Hotel difungsikan sebagai hotel yang dikelola oleh jawatan kereta api (S.S.Hotel Bandoeng). Hotel itu secara resmi dibuka pada 31 Desember 1920 (AID, 1 Januari 1921 dan BN, 3 Januari 1921). Dalam kedua koran itu dinyatakan hotel tersebut dijadikan kantor sementara GB di masa transisi sebelum kompleksnya jadi serta tempat tinggal sementara para pejabat GB yang belum punya sendiri di Bandung.

Dalam AID edisi 11 Februari 1921, diberitakan pada 27 Juli 1920 peletakan batu pertama pembangunan kompleks GB dilakukan oleh anak perempuan Wali Kota Bandung B. Coops dan Direktur GB P.A. Roelofsen. Sementara kepindahan GB secara aktual ke Bandung terjadi pada 1 Desember 1920. Roelofsen telah membeli Grand National Hotel untuk kantor dan akomodasi para pegawainya. Untuk mengakomodir pegawai GB, pemerintah Kota Bandung telah menyerahkan sejumlah rumah di Cihapit. Sementara daftar lembaga yang pindah ke Bandung masih jauh dari lengkap.

Baca Juga: SEJARAH KERETA API DI BANDUNG RAYA (8): Stasiun Bandung (1)
SEJARAH KERETA API DI BANDUNG RAYA (7): Stasiun Ciroyom
SEJARAH KERETA API DI BANDUNG RAYA (6): Stasiun Andir

Kepindahan Kantor Pusat Staatsspoor- en tramwegen (SS) 

Sejak pusat eksploitasi jalur barat dipindahkan dari Bogor ke Bandung pada 1898 dan seiring dengan pemindahan kewenangan pengelolaan Staatsspoor- en tramwegen (SS) dari BOW ke GB pada 1909, kantor pusat SS pun harus pindah ke Bandung, mengikuti jejak induknya pada 1920.

Wacana kepindahan Staatsspoor- en tramwegen (SS) ke Bandung sebenarnya sudah mengemuka pada 1916. Saat itu wacana peleburan eksploitasi jalur barat dan jalur timur sedang hangat-hangatnya. Peleburan tersebut bahkan sudah disepakati baik oleh gubernur jenderal maupun menteri tanah jajahan. Masalahnya hanyalah tinggal menentukan mau di mana kantor pusat SS ditempatkan: apakah akan di Batavia atau di Bandung. Bila pilihan jatuh ke Batavia, itu berarti kehilangan besar bagi Bandung sebab sejumlah penduduk akan pindah, termasuk kaum perempuan dan anak-anak, yang diperkirakan sebanyak 3000 orang. Orang sebesar itu harus pindah ke Batavia yang panas dan menghadapi risiko ketiadaan rumah, pemberhentian tenaga kerja, pelemahan karena kemungkinan sakit, dan lain-lainnya.

Hal tersebut mengandung arti, semua biro Staatsspoor- en tramwegen (SS) akan dipusatkan di Batavia, tempat kantor pusat dan afdeling kedua berada, termasuk afdeling pertama, ketiga, dan keempat, beserta bengkel kerja dan gudang SS harus ikut pindah. Itu sebabnya kemudian ada petisi yang disampaikan oleh para pegawai SS di Bandung (AID, 31 Maret 1916). Barangkali petisi tersebut berhasil, sehingga semua biro yang ada di Bandung tidak pindah ke Batavia. Bahkan, alih-alih, kantor pusat dan biro-biro lainnya pindah ke Bandung sejak 1923.

Sebagian tandanya dapat disimak dari AID edisi 12 Juni 1922. Di situ diberitakan, pada minggu kedua Juni 1922, pemerintah Kota Bandung mengizinkan lanjutan penyelesaian kantor dan perumahan bagi GB. Sebagian bangunannya bahkan telah siap dan kantor-kantor GB dari Batavia akan dipindahkan secara bertahap. Kantor pusat SS yang akan dipindahkan pertama, kemudian kantor lainnya, seperti PTT dan lain-lain.

Menurut kabar HNDNI (13 April 1923), pada Juni 1923, bagian penting SS sudah harus dipindahkan ke Bandung, yaitu kantor inspektur kepala atau direktur SS, sekretariat, urusan restorasi dan divisi perhotelan. Soalnya, tinggal menunggu selesainya pembangunan kompleks perumahan untuk para pegawainya di Bandung.

Kemudian menurut AID (10 Agustus 1923), pada Januari 1923, Afdelingen Opname en Aanleg di bawah pengawasan Algemeene Bouwdienst yang dikepalai Prof. Haarman sudah dipusatkan di Cikudapateuh. Bagian kedua, Tramwegen voor Java en de Buitenbezittingen, di bawah pimpinan Sloos, dipindahkan pada April dan Mei 1923. Bagian ketiga dan terakhir, yaitu Spoorwegen op Java, yang dipimpin Van Weelderen, akan dipindahkan pada Oktober 1923. Sementara HISP dan sekretariat dipindahkan pada 1 Agustus 1923. Pemindahan pusat SS ke Bandung secara menyeluruh diperkirakan pada Januari 1924.

Kompleks perumahan untuk para pegawai Staatsspoor- en tramwegen (SS) tersebut dikerjakan oleh pemerintah Kota Bandung di sekitar Boengsoeplan dan di seberang Ambachtschool (sekolah pertukangan). Hingga awal Juli 1923, pembangunannya masih berlangsung. Semuanya berjumlah 350 rumah, yang terbagi di dua tempat itu (AID, 5 Juli 1923). 

Tangkapan layar film dokumenter Autotocht door Bandoeng (1913). Terlihat banyak delman terparkir di halaman depan Stasiun Bandung. (Sumber:  kanal YouTube EYE Film Instituut Nederland)
Tangkapan layar film dokumenter Autotocht door Bandoeng (1913). Terlihat banyak delman terparkir di halaman depan Stasiun Bandung. (Sumber: kanal YouTube EYE Film Instituut Nederland)

Pesta 50 Tahun Jawatan Kereta Api

Dua tahun setelah memulai kepindahan kantor pusat ke Bandung, jawatan kereta api merayakan hari jadi kereta api yang ke-50 pada 5-7 April 1925. Peristiwa bersejarah tersebut diabadikan dalam buku tipis bertajuk Herdenking van het Vijftigjarig bestaan der Staatsspoor- en Tramwegen in N.-I. 1875-6 April-1925 (1925).

Untuk tanggal 5 April 1925, acara diisi dengan pesta rakyat pribumi, dengan pementasan wayang golek, ogel, tayuban, dan lain-lain. Ada juga layar tancap antara pukul 09.00 hingga 11.00. Tengah malamnya diselenggarakan pesta kembang api di sudut antara Papandajanlaan dengan Oosteinde.

Keesokan harinya, 6 April 1925, ada pertandingan sepak bola pribumi antara pukul 08.00 hingga 10.00, dilanjutkan resepsi resmi antara pukul 10.30 hingga 12.30 di kantor pusat SS, di Kebon Karet, Landraadweg. Antara pukul 17.30 hingga 19.30 ada prosesi dengan rute dari Hoofdbureau SS – Residentsweg – Maarschalkslaan – Soeniaradjaweg – Pasar Baroe – Groote Postweg – Aloon-Aloon – Bragaweg – Oude Hospitaalweg – Sumatrastraat – Javastraat – Borneostraat – Menadostraat – Sumatrastraat – Niasstraat – Javastraat – Pieterspark – Landraadweg – Kebon Djoekoetweg – Residentsweg – Hoofdbureau SS. Pada pukul 20.30 diselenggarakan pementasan di aula Societeit Concordia dan diakhiri dengan dansa. Demikian pula, pada pada malam 7 April 1925, pementasan di Concordia diulang lagi.

Dalam resepsi resmi, disampaikan sambutan-sambutan oleh Direktur GB P.A. Roelofsen, Wali Kota Bandung B. Coops, Residen Priangan A.J.H.E. Eyken, Bupati Bandung Raden Adipati Aria Wiranatakoesoema, ketua Bestuurderscommissie der particuliere spoor- en tramwegmaatschappijen dan ketua Comité van het Bestuur der NISM Wouter Gooi, Hoofdambtenaar SS S.A. Reitsma, referendaris di kantor pusat SS dan ketua Federatie van Vakvereenigingen A.E.G.J. Kingma, ketua Spoorbond T.H.W. Rooijackers, ketua Handelsvereeniging L.W. van Suchtelen, kepala Dienst van Toezicht op de Spoor- en Tramwegen F.E. van Hennekeler, dan terakhir Hoofdinspecteur SS W.F. Staargaard.

Salah satu yang penting dari perhelatan tersebut adalah pembuatan dan peresmian tugu lampu di pekarangan sebelah selatan Stasiun Bandung, yang sekarang tempatnya bisa jadi digantikan dengan lokomotif pajangan. Menurut B. Coops dalam sambutannya pada 6 April 1925, monumen tersebut merupakan persembahan dari pemerintahan Kota Bandung yang ketika itu juga menyediakan aliran listrik setara 1.000 lilin secara gratis dari GEBEO. Ia berharap tugu tersebut menjadi simbol bukan hanya layanan yang telah dilakukan SS di masa lalu, tetapi hendaknya juga menjadi simbol layanan di masa depan.

Namun, ternyata yang diserahkan oleh Coops pada 6 April 1925 itu baru rancangannya dulu yang dibuat oleh De Roo, karena pemerintah Kota Bandung saat itu baru dalam tahap persiapan pembangunannya. Penyerahan fisiknya sendiri baru dilakukan oleh pemerintah Kota Bandung pada 6 Juni 1926.

Selain itu, ada juga rekaman penting lainnya dari peristiwa bersejarah itu. Rekaman penting itu adalah penerbitan buku Gedenkboek der Staatsspoor en Tramwegen in Nederlandsch-Indie, 1875-1925 yang dikerjakan oleh S.A. Reitsma antara tahun 1924 hingga awal 1925. Buku tersebut kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu oleh R.M. Haria W. Soemarta menjadi Boekoe Peringatan dari Staatsspoor en Tramwegen di Hindia Belanda, 1875-1925.

Menurut berita DL (17 Januari 1925), naskah buku peringatan itu sudah selesai disusun dan tinggal diserahkan kepada Topografischen Dienst untuk dicetak dan diberi sentuhan artistik. Vinyet dan gambar-gambarnya dibuat oleh Dirk Rühl. Bukunya akan disebarkan kepada para pegawai kelas satu pada 6 April 1925. Gubernur Jenderal D. Fock tertarik untuk menaruh fotonya di halaman pertama.

Dalam DL (24 Februari 1925), diwartakan 4.000 orang pegawai SS akan mendapatkan buku tersebut. Pegawai kelas lebih rendah akan mendapatkan edisi Melayu. Secara total, buku tersebut akan dicetak sebanyak 14.000 eksemplar, mengingat personil SS berjumlah 40.000 dan ada rencana untuk menyebarkannya jyga ke Belanda dan luar negeri.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//